PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Akhir-akhir
ini marak perkembangan gerakan “keagamaan” yang disebut sebagai gerakan Salafi.
Sering mereka mengklaim bahwa mereka hadir bermaksud menghidupkan kembali
ajaran ulama salaf untuk menyelamatkan umat dari amukan dan badai fitnah yang
melanda dunia Islam hari ini. Acapkali gerakan ini menegaskan bahwa kelompok
yang selain mereka tidak ada jaminan memberikan alternatif (baca:
keselamatan).Tidak jarang juga mereka mengklaim bahwa golongan yang selamat
yang dinubuatkan oleh Nabi Saw adalah golongan mereka. Tentu saja, konsekuensi
dari klaim ini adalah menafikan kelompok yang lain. Artinya bahwa kelompok
mereka yang benar selainnya adalah sesat (itsbat asy-syai yunafi maa adahu).
Kalau kita mau berkaca pada sejarah, gerakan ini sebenarnya bukan gerakan baru
atau telah sejak lama ada. Mereka bermetamorfosis dari gerakan pemurnian ajaran
Islam Wahabi yang dikerangka konsep pemikirannya oleh Ibn Taimiyah yang
kemudian dibesarkan oleh muridnya Muhammad bin Abdul Wahab.
Gerakan aliran Wahabiyah sendiri
yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab berkembang setelah mendapat
perlindungan dari dinasti Su’ud yang berkuasa di Arab Saudi saat ini dan bahkan
dijadikan sebagai doktrin resmi di negara tersebut
Pertemuan aliran ini dengan
kekuasaan (politik) menjadi sangat menarik mengingat bagaimana aliran ini bisa
bertahan dari dulu hingga sekarang. Dan untuk memahami hal tersebut, maka perlu
diuraikan bagaimana latar belakang kemunculan aliran ini, siapa tokoh
pendirinya, dan bagaimana doktrin-doktrinnya.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis
mencoba untuk menjawab pertanyaan yang menjadi rumsan masalah dalam makalah ini
yaitu:
1.
Bagaimana latar belakang
kemunculan aliran Wahabiyah?
2.
Siapa tokoh pendiri aliran Wahabiyah?
3.
Bagaimana pemikiran-pemikiran
aliran wahabiyah
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui bagaimana latar
belakang kemunculan aliran wahabiyah
2.
untuk mengetahui tokoh-tokoh
aliran Wahabiyah
3.
Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran
dari aliran Wahabiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sekilas Latar Belakang Kemunculan Aliran Wahabiyah
Wahabiyah
muncul di gurun Arab sebagai reaksi terhadap sikap pengkultusan dalam mencari
keberkatan dari orang-orang tertentu serta mendekatkan diri kepada Allah
melalui ziarah ke kuburan mereka, di samping terhadap bid’ah yang telah
mendominasi berbagai tempat ke agamaan dan aktifitas duniawi, Wahabiyah datang
untuk melawan semua bentuk penyimpangan dan bisa dikatakan menghidupkan kembali
mazhab Ibnu Taimiyah, yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1787 M.)[1]
Nama aliran Wahabiyah
dipertalikan dengan pendirinya yaitu Muhammad bin Abdul wahab (1115-1201
H/1703-1787 M) dan diberikan oleh lawan aliran tersebut semasa hidup pendirinya,
yang kemudian dipakai juga oleh penulis-penulis Eropa, nama yang dipakai oleh
golongan wahabiah sendiri ialah golongan muwahhidun (Unitarian).
Metodenya mengikuti jejak nabi Muhammad S.A.W dan mereka menganggap dirinya
Ahli Sunnah yang mengikuti pikiran Imam Ahmad bin Hambal yang ditafsirkan oleh
Ibnu Taimiyah[2]
Lahirnya paham atau aliran Wahabiyah juga tidak terlepas dari realitas kegamaan pada zaman itu. Penduduk negeri Najd sebelum adanya dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab keadaannya menyedihkan. Keadaan yang apabila seorang mukmin menyaksikannya tidak akan ridlha selama-lamanya. Syirik (persekutuan) terhadap Allah tumbuh dengan suburnya, baik syirik besar maupun syirik kecil. Sampai-sampai kubah, pepohonan, bebatuan, gua dan orang-orang yang dianggap sebagai wali pun disembah sebagaimana layaknya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Penduduk Najd kala itu telah terpesona dengan kehidupan dunia dan syahwat. Sehingga pintu-pintu kesyirikan terbuka lebar untuk mereka. Marja' (sandaran) mereka kepada ahli sihir dan para dukun, sehingga negeri Najd terkenal akan hal itu. Bahkan Makkah, Madinah dan Yaman menjadi basis kemusyrikan kala itu.
Di Hijaz, ia
melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabi (ahlul bait), serta
kuburan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, hal yang sesungguhnya tidak
boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah semata [3]
B.
Tokoh Pendiri Aliran Wahabiyah
a.
Biografi Muhammad bin Abdul
Wahab
Muhamad Abdul Wahab adalah pembangun gerakan Wahabiyah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup ditengah-tengah keluarga yang dikenal denan nama keluarga Musyarraf (Ali Musyarraf), dimana Ali Musyarraf ini cabang atau bagian dari Kabilah Tamim yang terkenal. Sedangkan Musyarraf adalah kakek beliau ke-9 menurut riwayat yang rajih. Dengan demikian nasab beliau adalah Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf
Syeikh Muhammad bin
Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najd),
lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi
sekarang. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya
adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan abangnya adalah seorang qadhi
(mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan
segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.
Sebagaimana
lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab sejak masih
kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama, yang diajar sendiri oleh
ayahnya, Syeikh Abdul Wahhab. Berkat bimbingan kedua orangtuanya, ditambah
dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab
berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum ia berusia sepuluh tahun. Setelah
itu, beliau diserahkan oleh orangtuanya kepada para ulama setempat sebelum
akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar ke luar daerah
Setelah mencapai
usia dewasa, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk
bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima -
mengerjakan haji di Baitullah. Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji,
ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad tetap tinggal di Mekah selama
beberapa waktu dan menimba ilmu di sana.
Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama disana. Di Madinah,
ia berguru pada dua orang ulama besar yaitu Syeikh
Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad
Hayah al-Sindi.
. Ia banyak
melakukan perlawatan dan sebagian hidupnya dilakukan untuk berpindah-pinda dari
satu nergri kenegri lain. Empat tahun diBashrah, lima
tahun di Baghdad, satu tahun di Kurdistan, dua
tahun di Hamazan, kemudian pergi ke Isfahan.
Kemudian lagi pergi ke Qumm dan Kairo, sebagai pengajar ajaran Ahmad bin
Hambal. [4]
Setelah
melakukan beberapa perlawatan, ia kemudian pulang kenegeri kelahirannya, dan
beberapa bulan ia merenungkan dan melakukan orientasi, untuk kemudian
mengajarkan paham-pahamnya, seperti yang dicantumkan dalam bukunya, at-tauhid
(tebalnya 88 halaman, cet Makkah) meskipun tidak sedikit orang yang
menentangnya, antara lain dari keluarganya sendiri, namun ia mendapat pengikut
yang banyak, bahkan banyak yang dari luar Uyainah. [5]
Muhammad bin `Abdul Wahab telah
menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya
diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi
sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdul
Wahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206
H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan
di Dar’iyah (Najd)
b.
Perjalanan Da’wah Muhammad
bin Abdul Wahab
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab memulai dakwahnya di Basrah, tempat
di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya
di sana kurang
bersinar, karena menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama
setempat.
Di antara pendukung
dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama
yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat tekanan dan
ancaman dari sebagian ulama yang dituduhnya sesat. Akhirnya beliau meninggalkan
Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk menyebarkan ilmu dan
pengalamannya.
Setelah beberapa
lama, beliau lalu kembali ke al-Ahsa menemui gurunya Syeikh
Abdullah bin `Abd Latif al-Ahsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian
tertentu yang selama ini belum sempat dipelajarinya. Di sana beliau bermukim untuk beberapa waktu,
dan kemudian ia kembali ke kampung asalnya Uyainah.
Muhammad bin Abdul
Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah
diperintah oleh seorang Amir
(penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir
Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji
akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.
Suatu ketika,
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk
menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab
adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah
yang kedua. Membuat bangunan di atas kubur menurut pendapatnya dapat menjurus
kepada kemusyrikan.
Pergerakan Syeikh
Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam
yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk
mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat
Islam setempat.
Berita tentang
pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah maupun di
luar Uyainah. Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad bin 'Abd
al-Wahhab mendakwahkan pendapatnya, dan pemerintah 'Uyainah menyokongnya, maka
kemudian pemerintah al-Ahsa’ memberikan peringatan dan ancaman kepada
pemerintah 'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir ‘Uyainah.
Ia kemudian memanggil Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan
yang diberikan oleh Amir al-Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam posisi serba salah
saat itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan syeikh tapi di sisi lain
ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir al-Ahsa’. Akhirnya, setelah terjadi
perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di capailah suatu keputusan:
Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan mengungsi ke daerah lain.
Kemudian Muhamad
bin Abd Wahab pindah ke sebuah negeri namanya Dar’iyah. Raja Dar’iyah itu
bernama Muhamad bin Sa’ud. Maka berjumpalah di Dar’iyah Muhamad bin Abdul Wahab
dan Muhamad bin Sa’ud. Yang saling perlu memerlukan. Muhamad bin Abdul Wahab
memerlukan pertolongan seorang Penguasa yang dapat melindungi da’wahnya, karena
ia tidak tahan dikejar-kejar dan diburu-buru oleh penguasa-penguasa negeri yang
didiaminya. Sedang Muhamad bin Saud sebagai Penguasa di Ra’iyah memerlukan pula
seorang ulama yang dapat mengisi rakyatnya dengan pelajaran-pelajaran agama
yang mampu memperkukuhkan kearajaannya. Dan sejak itu bersatulah aliran Wahabi dengan
kekuasaan Sa’udi’ atau al-Sa’ud’ atau
Ibni Sa’ud.
C.
Pemikiran Aliran
Wahabiyah
Akidah-akidah
yang pokok dari dari aliran wahabiyah pada hakekatnya tidak berbeda dengan apa
yang telah dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah yang dikenal denga golongan salaf. Perbedan
yang ada hanya ada dalam cara melaksanakan dan menafsirkan beberapa
persoalan tertentu. Pemikiran dari aliran ini dsimpulkan dalam dua bidang,
yaitu bidang Tauhid (pengesaan) dan bidang bid’ah.
Dalam bidang
ketauhidan mereka berpendirian sebagai berikut:
1.
Penyembahan kepada selain Allah
adalah salah dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
2.
Orang yang mencari apapun Tuhan
dengan mengunjungi kuburan orang-orang sholeh, termasuk golongan salah.
3.
Termasuk dalam perbuatan musyrik
memberikan perngantar kata dalam shalat terhadap nama nabi-nabi atau wali atau
malaikat (seperti Sayidina Muhammad)
4.
Termasuk kufur memberikan suatu
ilmu yang tidak didasarkan atas al-Quran dan Sunnah, atau ilmu yang bersumber
kepada akal pikiran semata-mata.
5.
Termasuk kufur dan Ilhad juga
mengingkari Qadar dalam semua perbuatan dan penafsiran Qur’an dengan jalan
ta’wil
6.
Dilarang memakai buah tasbih dan
dalam mengucapkan nama Tuhan dan doa-doa (wirid ) cukup dengan menghitung
keratin jari
7.
Sumber syariah dalam Islam dalam
soal halal dan haram hanya Qur’an semata-mata dan sumbr lain sesudahnya ialah
Sunnah Rasul
8.
Pintu ijtihad tetap terbuka dan
siapa pun juga boleh melakukan ijtihad asal sudah memenuhi syaratnya.
Hal-hal yang dipandang
bid’ah oleh mereka harus diberantas antara lain: berkumpul bersama-sama dalam
maulidan, orang wanita mengiringi jenazah, mengadakan halaqah (pertemuan)
zikir, bahkan mereka merampas buku-buku yang berisi tawassulan, seperti Dalailul
Khairat dan sebagainya. Mereka tidak cukup sampai disitu bahkan kebiasaan
sehari-hari juga dikategorikan dalam bid’at, seperti rokok minum kopi, memakai
pakaian sutra bagi laki-laki, bergambar (foto) mencelup (memacari) jenggot,
memakai cincin dan lain-lainya yang termasuk dalam soal –soal yang kecil dan
yang tidak mengandung atau mendatangkan paham keberhalaan.
Berikut lebih jauh mengenai
tindakan-tindakan dari aliran Wahabiah yang merupakan implementasi dari
pemikiran mereka, yaitu: [6]
v mereka tidak cukup hanya dengan menerapkan
ibadah sebagaimana yang diterapkan oleh Islam di dalam al-Qurana dan Sunnah
menurut pandangan Ibnu Taimiyah mereka menghendaki supaya tradisi pun tidak
boleh keluar dari lingkup Islam, kaum muslimin harus mengikuti apa yang
ditetapkan Islam. Oleh karean itu mereka mengharamkan rokok secara keras, akibatnya
orang-ornag awam dari golongan ini menganggap perokok seperti orang orang
musyrik. Mereka menyerupai khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar.
v Pada mulanya mereka mengharamkan kopi dan apa
saja yang semisalnya atas diri mereka sendiri, tetapi kelihatannya sesudah itu
mereka mengahalalkannya.
v Mereka tidak merasa cukup dengan berdakwah.
Mereka mempergunakan senjata untuk memerangi para penentang dengan anggapan
bahwa mereka memerangi bid’ah yang merupakan kemungkaran yang wajib diperangi.
Berpegang pada amal ma’aruf nahi mungkar
v Setiap kali menduduki desa atau kota kelompok ini menghancurkan dan memusnahkan kuburan.
Tak terkecuali kuburan para sahabat dan meratakan dengan tanah, hngga
sampai sekarang hanya dberitanda yang menunjukkan kuburan itu, ketika
mereka kembali berkuasa di Hijaz.
v Wahabiyah memperhatikan dan melarang hal-hal
kecil yang mengandung keberhalaan maupun sesuatu yang membawa kepada
keberhalaan, seperti fotografi, hal inidapat kita dapatkan dalam fatwa-fatwa
mereka dan risalah yang ditulis oleh ulama mereka. Sementara itu para penguasa
dari wahabiyah tidak ambil peduli terhadap pendapat mereka mengenai hal itu dan
secara mecolok memasang gambar dan lukisan itu pada dinding rumah mereka.
v Mereka memperluas pengertian bid’ah secara ganjil,
sehingga mereka berpendapat bahwa memasang kain penutup pada raudah merupakan
bid’ah.oleh karena itu mereka melarang mengganti kain itu dengan kain yang
baru, sehingga kain itu mirip dengan gombal yang usang dan kotor
dipandang mata. Dan mereka juga berpendapat bahwa orang mengucapkan Sayyidina
Muhammad adalah bid’ah, mereka berlebih-lebihan dalam mengartikan bid’ah.
v Sebenarnya mereka telah merealisasikan
pendangan Ibnu Taimiyah dan bersikap keras dalam memperjuangkannya. Padahal
Ibnu Taimiyah sendiri ketika membicarakan mazhab orang-orang yang menyebut diri
mereka sebagai kaum salaf
v Patut dicatat bahwa ulama wahabiyah
berkeyakinan bahwa pendapat mereka benar dan sama sekali tidak mungkin salah,
sementara pendapat selain mereka salah dan tidak mungkin benar. Bahkan mereka
beranggapan bahwa membangun kuburan dan menggelilinginya adalah dekat dengan
keberhalaan. Dalam hal ini mereka memerangi khawarij yand mengkafirkan
penentang mereka dan memeranginya.
Umumnya kaum intelektual dan ulama Ahlusunah – penganut 4
mazhab yaitu Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali– menganggap kaum Wahhabi,
termasuk pendirinya, sebagai orang-orang yang berpikir sangat linier, literer
sambil menolak metafora (Majaz],
sangat denotatif dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis. Mereka menganggap
mazhab selainnya (Wahabi) sebagai sesat dan menyesatkan dengan berpatokan pada
hadis: “Kullu bid’ah dhalaalah wa kullu dhalaalah fî n-naar”. (semua bid’ah
atau inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka). Kata “bid’ah” yang
mereka tuduhkan hanyalah kata pelembut, untuk ‘kafir’, dan menganggap berziarah
ke kubur termasuk kubur Nabi, tawassul, baca qunut, talqin, tahlil,
istighatsah, berzikir berjamaah, membaca maulid diba’ ataupun burdah yang
berupa puji-pujian pada Nabi yang biasa dilakukan kaum Muslimin adalah sebagai
bid’ah, dan pelakunya akan masuk neraka, alias kafir. Dari sinilah akhirnya
kaum Wahaby yang mengaku sebagai pengikut Salafy ini layak diberi gelar
“Kelompok Takfir” (jama’ah takfiriyah), kelompok yang suka mengkafirkan
golongan lain yang tidak sepakat dengan ajarannya.[7]
D.
Hubungan
Aliran Wahabiyah dengan Kerajaan Saudi Arabia
[8]
Hubungan ini diwali pada waktu
“terdamparnya” Muhammad bin Abdul Wahab di Dar’iyah setelah terusir dari
beberapa daerah yang menolak ajaran-ajarannya. Dar’iyah adalah sebuah oase ibu
kota keamiran Muhammad bin Sa'ud, masih di Najd Tahun 1744 Muhammad bin Su'ud, amir
setempat dan Muhammad bin Abdul Wahhab saling membaiat untuk mendirikan negara
teokratik dan mazhabnya dinyatakan mazhab resmi Ibnu Su'ud sebagai amîr dan
Muhammad bin Abdul Wahhab jadi qadhi. Ibnu Su'ud mengawini salah seorang putri
Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penaklukan dan pembantaian pun
dilakukan, terutama terhadap kabilah-kabilah dan kelompok yang menolak mazhab
mereka, hingga terbentuklah sebuah emirat lalu diubah menjadi monarki dengan
nama keluarga, Saudi Arabia,
sejak tahun 1932 sampai sekarang.
Pada bulan April tahun 1801, mereka
membantai kaum Syi'ah di Karbala. Seorang penulis Wahhabi menulis: Pengikut
Ibnu Su'ud mengepung dan kemudian menyerbu kota itu. Mereka membunuh hampir
semua orang yang ada di pasar dan rumah-rumah. Harta rampasan (ghanimah) tak
terhitung. Mereka hanya datang pagi dan pergi tengah hari, mengambil semua
milik mereka. Hampir dua ribu orang dibunuh di Karbala
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, penulis
dapat menarik kesimpulan bahwa
Adalah suatu hal yang tak dapat dipungkiri lagi bahwa sesungguhnya pergerakan kaum Wahabiyah, atau lebih tepat dikenal dengan kaum Muwahhidun yang digerakan di padang pasir Nejd pada abad ke-12H/18M, merupakan suatu pergerakan reformis Islam yang bertujuan membersihkan dan menjaga Islam dari berbagai bentuk kesesatan. Namun seiring dengan persentuhannya dengan politik, aliran juga tidak terlepas dari kekuasaan di mana aliran ini dijadikan alat justifikasi untuk melanggengkan kekuasaan. Hubungan erat antara aliran ini dengan penguasa bisa dilihat sampai sekarang di Arab Saudi. Dan sejalan dengan itu, aliran ini juga semakin memperkokoh kedudukannya dengan mengklaim sebagai aliran yang satu-satunya benar dan tidak segan-segan mengkafirkan aliran yang pemikirannya tidak sejalan dengan mereka.
Adalah suatu hal yang tak dapat dipungkiri lagi bahwa sesungguhnya pergerakan kaum Wahabiyah, atau lebih tepat dikenal dengan kaum Muwahhidun yang digerakan di padang pasir Nejd pada abad ke-12H/18M, merupakan suatu pergerakan reformis Islam yang bertujuan membersihkan dan menjaga Islam dari berbagai bentuk kesesatan. Namun seiring dengan persentuhannya dengan politik, aliran juga tidak terlepas dari kekuasaan di mana aliran ini dijadikan alat justifikasi untuk melanggengkan kekuasaan. Hubungan erat antara aliran ini dengan penguasa bisa dilihat sampai sekarang di Arab Saudi. Dan sejalan dengan itu, aliran ini juga semakin memperkokoh kedudukannya dengan mengklaim sebagai aliran yang satu-satunya benar dan tidak segan-segan mengkafirkan aliran yang pemikirannya tidak sejalan dengan mereka.
B. Saran
Dari pemaparan masalah di atas, penulis
merekomendasikan perlunya pemahaman tentang aliran-aliran yang muncul di
tengah-tengah umat Islam agar tidak terjebak ke dalam doktrin-doktrin yang
bertentangan dengan Islam itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Zahrah, Imam Muhammad, Aliran Politik
dan Aqidah dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House, Cet. I, 1996, hal .
250
A. Hanafi, Pengantar Theology
Islam, Jakarta:
Jayamurni, Cet. II, 1974
http//www. Almanhaj.or. id. Content, Syekh
Muhammad Jamil bin Zainu, Pengertian Wahabi dan Siapa Muhammad bin Abdul
Wahab, diakses tanggal 03 Januari
2011, jam 14:25
http://salafyindonesia.wordpress.com.
Content, Dari Ibnu Abdul Wahab hingga Kerajaan
Arab Saudi, diakses tanggal 03
Januari 2011, jam 15:10
[7] http://salafyindonesia.wordpress.com/2007/02/14/dari-ibnu-abdul-wahab-hingga
kerajaan-arab-saudi/., diakses
tanggal 03 Januari 2011, jam 15:10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar