Rabu, 10 April 2013

Aliran Wahabiyah


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Akhir-akhir ini marak perkembangan gerakan “keagamaan” yang disebut sebagai gerakan Salafi. Sering mereka mengklaim bahwa mereka hadir bermaksud menghidupkan kembali ajaran ulama salaf untuk menyelamatkan umat dari amukan dan badai fitnah yang melanda dunia Islam hari ini. Acapkali gerakan ini menegaskan bahwa kelompok yang selain mereka tidak ada jaminan memberikan alternatif (baca: keselamatan).Tidak jarang juga mereka mengklaim bahwa golongan yang selamat yang dinubuatkan oleh Nabi Saw adalah golongan mereka. Tentu saja, konsekuensi dari klaim ini adalah menafikan kelompok yang lain. Artinya bahwa kelompok mereka yang benar selainnya adalah sesat (itsbat asy-syai yunafi maa adahu). Kalau kita mau berkaca pada sejarah, gerakan ini sebenarnya bukan gerakan baru atau telah sejak lama ada. Mereka bermetamorfosis dari gerakan pemurnian ajaran Islam Wahabi yang dikerangka konsep pemikirannya oleh Ibn Taimiyah yang kemudian dibesarkan oleh muridnya Muhammad bin Abdul Wahab.
            Gerakan aliran Wahabiyah sendiri yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab berkembang setelah mendapat perlindungan dari dinasti Su’ud yang berkuasa di Arab Saudi saat ini dan bahkan dijadikan sebagai doktrin resmi di negara tersebut
            Pertemuan aliran ini dengan kekuasaan (politik) menjadi sangat menarik mengingat bagaimana aliran ini bisa bertahan dari dulu hingga sekarang. Dan untuk memahami hal tersebut, maka perlu diuraikan bagaimana latar belakang kemunculan aliran ini, siapa tokoh pendirinya, dan bagaimana doktrin-doktrinnya.   
             
B.           Rumusan Masalah
            Dari latar belakang di atas, penulis mencoba untuk menjawab pertanyaan yang menjadi rumsan masalah dalam makalah ini yaitu:
1.      Bagaimana latar belakang kemunculan aliran Wahabiyah?
2.      Siapa tokoh pendiri aliran Wahabiyah?
3.      Bagaimana pemikiran-pemikiran aliran wahabiyah

C.    Tujuan Penulisan
            Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui bagaimana latar belakang kemunculan aliran wahabiyah
2.      untuk mengetahui tokoh-tokoh aliran Wahabiyah
3.      Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran dari aliran Wahabiyah




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sekilas Latar Belakang Kemunculan Aliran Wahabiyah
            Wahabiyah muncul di gurun Arab sebagai reaksi terhadap sikap pengkultusan dalam mencari keberkatan dari orang-orang tertentu  serta mendekatkan diri kepada Allah melalui ziarah ke kuburan mereka, di samping terhadap bid’ah yang telah mendominasi berbagai tempat ke agamaan dan aktifitas duniawi, Wahabiyah datang untuk melawan semua bentuk penyimpangan dan bisa dikatakan menghidupkan kembali mazhab Ibnu Taimiyah, yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1787 M.)[1]
            Nama aliran Wahabiyah dipertalikan dengan  pendirinya yaitu Muhammad bin Abdul wahab (1115-1201 H/1703-1787 M) dan diberikan oleh lawan aliran tersebut semasa hidup pendirinya, yang kemudian dipakai juga oleh penulis-penulis Eropa, nama yang dipakai oleh golongan wahabiah sendiri ialah golongan muwahhidun (Unitarian). Metodenya mengikuti jejak nabi Muhammad S.A.W dan mereka menganggap dirinya Ahli Sunnah yang mengikuti pikiran Imam Ahmad bin Hambal yang ditafsirkan oleh Ibnu Taimiyah[2]
               Lahirnya paham atau aliran Wahabiyah juga tidak terlepas dari realitas kegamaan pada zaman itu. Penduduk negeri Najd sebelum adanya dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab keadaannya menyedihkan. Keadaan yang apabila seorang mukmin menyaksikannya tidak akan ridlha selama-lamanya. Syirik (persekutuan) terhadap Allah tumbuh dengan suburnya, baik syirik besar maupun syirik kecil. Sampai-sampai kubah, pepohonan, bebatuan, gua dan orang-orang yang dianggap sebagai wali pun disembah sebagaimana layaknya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Penduduk Najd kala itu telah terpesona dengan kehidupan dunia dan syahwat. Sehingga pintu-pintu kesyirikan terbuka lebar untuk mereka. Marja' (sandaran) mereka kepada ahli sihir dan para dukun, sehingga negeri Najd terkenal akan hal itu. Bahkan Makkah, Madinah dan Yaman menjadi basis kemusyrikan kala itu. 
            Di Hijaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabi (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah semata [3]

B.     Tokoh Pendiri Aliran Wahabiyah
a.      Biografi Muhammad bin Abdul Wahab
            Muhamad Abdul Wahab adalah pembangun gerakan Wahabiyah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup ditengah-tengah keluarga yang dikenal denan nama keluarga Musyarraf (Ali Musyarraf), dimana Ali Musyarraf ini cabang atau bagian dari Kabilah Tamim yang terkenal. Sedangkan Musyarraf adalah kakek beliau ke-9 menurut riwayat yang rajih. Dengan demikian nasab beliau adalah Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf
            Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan abangnya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.
            Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama, yang diajar sendiri oleh ayahnya, Syeikh Abdul Wahhab. Berkat bimbingan kedua orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum ia berusia sepuluh tahun. Setelah itu, beliau diserahkan oleh orangtuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar ke luar daerah
            Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima - mengerjakan haji di Baitullah. Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama disana. Di Madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.
            . Ia banyak melakukan perlawatan dan sebagian hidupnya dilakukan untuk berpindah-pinda dari satu nergri kenegri lain. Empat tahun diBashrah, lima tahun di Baghdad, satu tahun di Kurdistan, dua tahun di Hamazan, kemudian pergi ke Isfahan. Kemudian lagi pergi ke Qumm dan Kairo, sebagai pengajar ajaran Ahmad bin Hambal. [4]
            Setelah melakukan beberapa perlawatan, ia kemudian pulang kenegeri kelahirannya, dan beberapa bulan ia merenungkan dan melakukan orientasi, untuk kemudian mengajarkan paham-pahamnya, seperti yang dicantumkan dalam bukunya, at-tauhid (tebalnya 88 halaman, cet Makkah) meskipun tidak sedikit orang yang menentangnya, antara lain dari keluarganya sendiri, namun ia mendapat pengikut yang banyak, bahkan banyak yang dari luar Uyainah. [5]
            Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdul Wahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd)

b.      Perjalanan Da’wah Muhammad bin Abdul Wahab
            Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang bersinar, karena menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat.
            Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebagian ulama yang dituduhnya sesat. Akhirnya beliau meninggalkan Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk menyebarkan ilmu dan pengalamannya.
            Setelah beberapa lama, beliau lalu kembali ke al-Ahsa menemui gurunya Syeikh Abdullah bin `Abd Latif al-Ahsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang selama ini belum sempat dipelajarinya. Di sana beliau bermukim untuk beberapa waktu, dan kemudian ia kembali ke kampung asalnya Uyainah.
            Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.
            Suatu ketika, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat bangunan di atas kubur menurut pendapatnya dapat menjurus kepada kemusyrikan.
            Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat.
            Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah maupun di luar Uyainah. Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad bin 'Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapatnya, dan pemerintah 'Uyainah menyokongnya, maka kemudian pemerintah al-Ahsa’ memberikan peringatan dan ancaman kepada pemerintah 'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir ‘Uyainah. Ia kemudian memanggil Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan yang diberikan oleh Amir al-Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam posisi serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan syeikh tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir al-Ahsa’. Akhirnya, setelah terjadi perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di capailah suatu keputusan: Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan mengungsi ke daerah lain.
            Kemudian Muhamad bin Abd Wahab pindah ke sebuah negeri namanya Dar’iyah. Raja Dar’iyah itu bernama Muhamad bin Sa’ud. Maka berjumpalah di Dar’iyah Muhamad bin Abdul Wahab dan Muhamad bin Sa’ud. Yang saling perlu memerlukan. Muhamad bin Abdul Wahab memerlukan pertolongan seorang Penguasa yang dapat melindungi da’wahnya, karena ia tidak tahan dikejar-kejar dan diburu-buru oleh penguasa-penguasa negeri yang didiaminya. Sedang Muhamad bin Saud sebagai Penguasa di Ra’iyah memerlukan pula seorang ulama yang dapat mengisi rakyatnya dengan pelajaran-pelajaran agama yang mampu memperkukuhkan kearajaannya. Dan sejak itu bersatulah aliran Wahabi dengan kekuasaan Sa’udi’ atau al-Sa’ud’ atau  Ibni Sa’ud.


C.    Pemikiran Aliran Wahabiyah
            Akidah-akidah yang pokok dari dari aliran wahabiyah pada hakekatnya tidak berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah yang dikenal denga golongan salaf. Perbedan yang ada hanya ada dalam cara melaksanakan dan  menafsirkan beberapa persoalan tertentu. Pemikiran dari aliran ini dsimpulkan dalam dua bidang, yaitu bidang Tauhid (pengesaan) dan bidang bid’ah.
            Dalam bidang ketauhidan mereka berpendirian sebagai berikut:
1.      Penyembahan kepada selain Allah adalah salah dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
2.      Orang yang mencari apapun Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang sholeh, termasuk golongan salah.
3.      Termasuk dalam perbuatan musyrik memberikan perngantar kata dalam shalat terhadap nama nabi-nabi atau wali atau malaikat (seperti Sayidina Muhammad)
4.      Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas al-Quran dan Sunnah, atau ilmu yang bersumber kepada akal pikiran semata-mata.
5.      Termasuk kufur dan Ilhad juga mengingkari Qadar dalam semua perbuatan dan penafsiran Qur’an dengan jalan ta’wil
6.      Dilarang memakai buah tasbih dan dalam mengucapkan nama Tuhan dan doa-doa (wirid ) cukup dengan menghitung keratin jari
7.      Sumber syariah dalam Islam dalam soal halal dan haram hanya Qur’an semata-mata dan sumbr lain sesudahnya ialah Sunnah Rasul
8.      Pintu ijtihad tetap terbuka dan siapa pun juga boleh melakukan ijtihad asal sudah memenuhi syaratnya.
            Hal-hal yang dipandang bid’ah oleh mereka harus diberantas antara lain: berkumpul bersama-sama dalam maulidan, orang wanita mengiringi jenazah, mengadakan halaqah (pertemuan) zikir, bahkan mereka merampas buku-buku yang  berisi tawassulan, seperti Dalailul Khairat dan sebagainya. Mereka tidak cukup sampai disitu bahkan kebiasaan sehari-hari juga dikategorikan dalam bid’at, seperti rokok minum kopi, memakai pakaian sutra bagi laki-laki, bergambar (foto) mencelup (memacari) jenggot, memakai cincin dan lain-lainya yang termasuk dalam soal –soal yang kecil dan yang  tidak mengandung atau mendatangkan paham keberhalaan.
            Berikut lebih jauh mengenai tindakan-tindakan dari aliran Wahabiah yang merupakan implementasi dari pemikiran mereka, yaitu: [6]
v  mereka tidak cukup hanya dengan menerapkan ibadah sebagaimana yang diterapkan oleh Islam di dalam al-Qurana dan Sunnah menurut pandangan Ibnu Taimiyah mereka menghendaki supaya tradisi pun tidak boleh keluar dari lingkup Islam, kaum muslimin harus mengikuti apa yang ditetapkan Islam. Oleh karean itu mereka mengharamkan rokok secara keras, akibatnya orang-ornag awam dari golongan ini menganggap perokok seperti orang orang musyrik. Mereka menyerupai khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar.
v  Pada mulanya mereka mengharamkan kopi dan apa saja yang semisalnya atas diri mereka sendiri, tetapi kelihatannya sesudah itu mereka mengahalalkannya.
v  Mereka tidak merasa cukup dengan berdakwah. Mereka mempergunakan senjata untuk memerangi para penentang dengan anggapan bahwa mereka memerangi bid’ah yang merupakan kemungkaran yang wajib diperangi. Berpegang  pada amal ma’aruf nahi mungkar
v  Setiap kali menduduki desa atau kota kelompok ini menghancurkan dan memusnahkan kuburan. Tak terkecuali kuburan para sahabat dan  meratakan dengan tanah, hngga sampai sekarang hanya dberitanda yang menunjukkan kuburan itu,  ketika mereka kembali berkuasa di Hijaz.
v  Wahabiyah memperhatikan dan melarang hal-hal kecil yang mengandung keberhalaan maupun sesuatu yang membawa kepada keberhalaan, seperti fotografi, hal inidapat kita dapatkan dalam fatwa-fatwa mereka dan risalah yang ditulis oleh ulama mereka. Sementara itu para penguasa dari wahabiyah tidak ambil peduli terhadap pendapat mereka mengenai hal itu dan secara mecolok memasang gambar dan lukisan itu pada dinding rumah mereka.
v  Mereka memperluas pengertian bid’ah secara ganjil, sehingga mereka berpendapat bahwa memasang kain penutup pada raudah merupakan bid’ah.oleh karena itu mereka melarang mengganti kain itu dengan kain yang baru, sehingga kain itu mirip dengan gombal yang usang dan kotor  dipandang mata. Dan mereka juga berpendapat bahwa orang mengucapkan Sayyidina Muhammad adalah bid’ah, mereka berlebih-lebihan dalam mengartikan bid’ah.
v  Sebenarnya mereka telah merealisasikan pendangan Ibnu Taimiyah dan bersikap keras dalam memperjuangkannya. Padahal Ibnu Taimiyah sendiri ketika membicarakan mazhab orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai kaum salaf
v  Patut dicatat bahwa ulama wahabiyah berkeyakinan bahwa pendapat mereka benar dan sama sekali tidak mungkin salah, sementara pendapat selain mereka salah dan tidak mungkin benar. Bahkan mereka beranggapan bahwa membangun kuburan dan menggelilinginya adalah dekat dengan keberhalaan. Dalam hal ini mereka memerangi khawarij yand mengkafirkan penentang mereka dan memeranginya.
            Umumnya kaum intelektual dan ulama Ahlusunah – penganut 4 mazhab yaitu Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali– menganggap kaum Wahhabi, termasuk pendirinya, sebagai orang-orang yang berpikir sangat linier, literer sambil menolak metafora (Majaz], sangat denotatif dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis. Mereka menganggap mazhab selainnya (Wahabi) sebagai sesat dan menyesatkan dengan berpatokan pada hadis: “Kullu bid’ah dhalaalah wa kullu dhalaalah fî n-naar”. (semua bid’ah atau inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka). Kata “bid’ah” yang mereka tuduhkan hanyalah kata pelembut, untuk ‘kafir’, dan menganggap berziarah ke kubur termasuk kubur Nabi, tawassul, baca qunut, talqin, tahlil, istighatsah, berzikir berjamaah, membaca maulid diba’ ataupun burdah yang berupa puji-pujian pada Nabi yang biasa dilakukan kaum Muslimin adalah sebagai bid’ah, dan pelakunya akan masuk neraka, alias kafir. Dari sinilah akhirnya kaum Wahaby yang mengaku sebagai pengikut Salafy ini layak diberi gelar “Kelompok Takfir” (jama’ah takfiriyah), kelompok yang suka mengkafirkan golongan lain yang tidak sepakat dengan ajarannya.[7]

D.    Hubungan Aliran Wahabiyah dengan Kerajaan Saudi Arabia
            Dr. Abdullah Mohammad Sindi[8], di dalam sebuah artikelnya yang berjudul : Britain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud menyajikan tinjauan ulang tentang sejarah Wahabisme, peran Pemerintah Inggeris di dalam perkembangannya, dan hubungannya dengan peran keluarga kerajaan Saudi. “Salah satu sekte Islam yang paling kaku dan paling reaksioner saat ini adalah Wahabi,” demikian tulis Dr. Abdullah Mohammad Sindi dalam pembukaan artikelnya tersebut. Dan kita tahu bahwa Wahabi adalah ajaran resmi Kerajaaan Saudi Arabia, tambahnya.
            Wahabisme dan keluarga Kerajaan Saudi telah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sejak kelahiran keduanya. Wahabisme-lah yang telah menciptakan kerajaan Saudi, dan sebaliknya keluarga Saud membalas jasa itu dengan menyebarkan paham Wahabi ke seluruh penjuru dunia. One could not have existed without the other – Sesuatu tidak dapat terwujud tanpa bantuan sesuatu yang lainnya.

Wahhabisme memberi legitimasi bagi Istana Saud, dan Istana Saud memberi perlindungan dan mempromosikan Wahabisme ke seluruh penjuru dunia. Keduanya tak terpisahkan, karena keduanya saling mendukung satu dengan yang lain dan kelangsungan hidup keduanya bergantung padanya.
            Hubungan ini diwali pada waktu “terdamparnya” Muhammad bin Abdul Wahab di Dar’iyah setelah terusir dari beberapa daerah yang menolak ajaran-ajarannya. Dar’iyah adalah sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa'ud, masih di Najd Tahun 1744 Muhammad bin Su'ud, amir setempat dan Muhammad bin Abdul Wahhab saling membaiat untuk mendirikan negara teokratik dan mazhabnya dinyatakan mazhab resmi Ibnu Su'ud sebagai amîr dan Muhammad bin Abdul Wahhab jadi qadhi. Ibnu Su'ud mengawini salah seorang putri Muhammad bin Abdul Wahhab.
            Penaklukan dan pembantaian pun dilakukan, terutama terhadap kabilah-kabilah dan kelompok yang menolak mazhab mereka, hingga terbentuklah sebuah emirat lalu diubah menjadi monarki dengan nama keluarga, Saudi Arabia, sejak tahun 1932 sampai sekarang.
            Pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syi'ah di Karbala. Seorang penulis Wahhabi menulis: Pengikut Ibnu Su'ud mengepung dan kemudian menyerbu kota itu. Mereka membunuh hampir semua orang yang ada di pasar dan rumah-rumah. Harta rampasan (ghanimah) tak terhitung. Mereka hanya datang pagi dan pergi tengah hari, mengambil semua milik mereka. Hampir dua ribu orang dibunuh di Karbala





PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Dari pembahasan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
Adalah suatu hal yang tak dapat dipungkiri lagi bahwa sesungguhnya pergerakan kaum Wahabiyah, atau lebih tepat dikenal dengan kaum Muwahhidun yang digerakan di padang pasir Nejd pada abad ke-12H/18M, merupakan suatu pergerakan reformis Islam yang bertujuan membersihkan dan menjaga Islam dari berbagai bentuk kesesatan. Namun seiring dengan persentuhannya dengan politik, aliran juga tidak terlepas dari kekuasaan di mana aliran ini dijadikan alat justifikasi untuk melanggengkan kekuasaan. Hubungan erat antara aliran ini dengan penguasa bisa dilihat sampai sekarang di Arab Saudi. Dan sejalan dengan itu, aliran ini juga semakin memperkokoh kedudukannya dengan mengklaim sebagai aliran yang satu-satunya benar dan tidak segan-segan mengkafirkan aliran yang pemikirannya tidak sejalan dengan mereka. 

B. Saran
 Dari pemaparan masalah di atas, penulis merekomendasikan perlunya pemahaman tentang aliran-aliran yang muncul di tengah-tengah umat Islam agar tidak terjebak ke dalam doktrin-doktrin yang bertentangan dengan Islam itu sendiri.









DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Imam Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Jakarta:    Logos Publishing House, Cet. I, 1996, hal . 250
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam,  Jakarta: Jayamurni, Cet. II, 1974
http//www. Almanhaj.or. id. Content, Syekh Muhammad Jamil bin Zainu, Pengertian Wahabi dan Siapa Muhammad bin Abdul Wahab, diakses tanggal 03 Januari 2011, jam 14:25
http://salafyindonesia.wordpress.com. Content, Dari Ibnu Abdul Wahab hingga     Kerajaan Arab Saudi, diakses tanggal 03 Januari 2011, jam 15:10 








            [1]       Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House, Cet. I, 1996, hal . 250
                [2]       A. Hanafi, .Pengantar Theology Islam,  Jakarta: Jayamurni, Cet. II, 1974, hal. 153
                [3]       http//www. Almanhaj.or. id. Content. Syekh Muhammad Jamil bin Zainu, Pengertian Wahabi dan Siapa Muhammad bin Abdul Wahab, diakses tanggal 03 Januari 2011, jam 14:25
                [4]       A. Hanafi, Op.Cit., hal. 154     
                [5]       Ibid.
                [6]       Imam Muhammad Abu Zahrah, Op.Cit., hal . 251-253    
                [7]       http://salafyindonesia.wordpress.com/2007/02/14/dari-ibnu-abdul-wahab-hingga kerajaan-arab-saudi/., diakses tanggal 03 Januari 2011, jam 15:10 
            [8]     Dr. Abdullah Mohammad Sindi adalah seorang profesor Hubungan Internasional (professor of International Relations) berkebangsaan campuran Saudi-Amerika. Dia memperoleh titel BA dan MA nya di California State University, Sacramento, dan titel Ph.D. nya di the University of Southern California. Dia juga seorang profesor di King Abdulaziz University di Jeddah, Saudi Arabia. Dia juga mengajar di beberapa universitas dan college Amerika termasuk di : the University of California di Irvine, Cal Poly Pomona, Cerritos College, and Fullerton College. Dia penulis banyak artikel dalam bahasa Arab maupun bahasa Inggeris. Bukunya antara lain : The Arabs and the West: The Contributions and the Inflictions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar