Tugas Mandiri
Dosen Pembimbing
Ilmu Kalam IV Rina Rehayati, M.Ag
PEMIKIRAN KALAM
(SYEIKH ABDURRAHMAN SHIDDIQ AL-BANJARI)
DISUSUN OLEH
Abdul Rahman
Sayuti
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
ucapkan kepada Allah swt yang telah memberikan nikmat kepada penulis baik
nikmat jasmani maaupun nikmat rohani sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ilmu kalam IV ini. Kemudian ucapan terima kasih tidak lupa penulis
ucapkan kepada rekan-rekan yang telah membantu memotivasi dalam pembuatan
makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kemudian ucapan
terima kasih juga penulis ucapkan kepada dosen pembimbing ilmu kalam IV yaitu Ibu Rina Rehayati, M.Ag,
yang telah membimbing dalam mata kuliah ilmu kalam IV ini. Penulis berharap dengan adanya makalah
ini akan menambah pemahaman kita tentang
pemikiran Syiekh Abdurrahman Shiddiq, sehinggga pembaca tidak hanya sekedar
mendengar apa yang orang sampaikan, tetapi juga mengetahui pokok-pokok pemikirannya
sesuai dengan beberapa referensi yang penulis dapatkan.
penulis menyadari
bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaaan, untuk itu kritik dan saran
yang bersifat membangun akan penulis terima guna kesempurnaan makalah ini untuk
kedepannya.
Penulis
23 Oktober 2011
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR………………………..………………..………………………..…i
DAFTAR ISI………………………….……………………………..……………………ii
BAB I PENDAHULUAN……........................………………………………………… iii
BAB II PEMBAHASAN…...…………………………………………………………….iv
BAB III PENUTUP……………………….……………...………………………………..v
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sebuah pemikiran yang telah
mejadi rujukan setiap intelek tentu pemikiran yang mempunyai nilai yang tinggi
serta dapat memberi pengaruh didalam dunia intelektual. Berpijak dari situ, maka
tokoh yang akan penulis bahas ini adalah seorang tokoh yang berasal dari
Indonesia. Maka, kita sebagai umat islam dan sekaligus warga Negara Indonesia
turut bangga dalam lahirnya beberapa orang tokoh yang telah memberikan
sumbangan pemikiran yang akan memberikan pengaruh ke dunia intelektual di masa
sekarang dan yang akan datang. Salah satu tokoh yang penulis maksud yaitu yang
menjadi objek kajian penulis. Beliau adalah Syeikh Abdurrahman Shiddiq
Al-Banjari. sesuai dengan sebuatan Al-Banjari, tentu kita akan dapat menerka
bahwa dari mana beliau ini berasal dan dilahirkan.
Berbicara dunia pemikiran islam
tentu telah sejak dahulu para mutakallimin telah banyak membahas dan
memperbincangkan setiap masalah yang timbul di dalam setiap pemikiran manusia.
Oleh karena itu, akan lebih sempurna jika kita mengetahui bagaimana suasana
pemikiran yang ada setelah pemikir-pemikir terdahulu dan tentunya pemikir yang
sekarang atau setelah pendahulu akan memeberikan koreksi dan penyempurnaan
terhadap setiap pemikiran yang telah diberikan oleh para mutakallimin terdahulu
dan kita harapkan dari situ akan mendapat titik tengah dari setiap permasalahan
yang diajukan.
Dalam pembahasan kali ini,
penulis membahas pemikiran kalam Syeikh Abdurrahman Shiddiq yang tentunya akan
berkaitan dengan pemikir kalam ulung yaitu Jabariah dan Qadariah. Disinilah
Syeikh Abdurrahman Shiddiq memberikan komentar dan solusi dari pemikiran beliau
terhadap mutakallimin seperti aliran Jabariah dan Qadariah yang beliau muat
didalam karangan beliau tentunya.
B. Pokok Permasalahan
1. bagaimana pemikiran kalam Syeikh Abdurrahman
Shiddiq..?
2. apakah Syeik Abdurrahman Shiddiq mengikuti
pemikiran Jabariah atau Qadariah..?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMIKIRAN KALAM
(ABDURRAHMAN SHIDDIQ
Al-BANJARI)
A.
Riwayat Hidup
a. Kelahiran
Syekh
Abdurrahman Siddiq al-Banjari (selanjutnya disebut Abdurrahman Siddiq)
dilahirkan di Kampung Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan pada tahun 1857
M pada masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman
al-Mu’tamidillah (1825-1857 M),[6] dengan nama Abdurrahman. Kemudian saat
menuntut ilmu di Mekkah, oleh salah seorang gurunya memberi tambahan “Siddiq”
pada namanya, sehingga menjadi Abdurrahman Siddiq.[1]
Nama
ayahnya adalah H. Muhammad Afif bin Mahmud bin H. Jamaluddin, sedangkan nama
ibunya adalah Shafura binti H. Muhammad Arsyad (Pagatan). Silsilah dari pihak
ayahnya, bertemu pada Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dari istrinya yang bernama
Gowat (Go Hwat Nio) seorang keturunan Cina. Dari istrinya ini Syekh Muhammad
Arsyad memiliki enam orang anak, di antaranya adalah Khalifah Haji Zainuddin.
Haji Zainuddin kawin dengan Ambas melahirkan tujuh orang anak, satu di
antaranya bernama Sari. Sari bersuamikan Mahmud dan melahirkan tujuh orang
anak, satu di antaranya adalah Haji Muhammad Afif, orangtua dari Abdurrahman
Siddiq.[2]
Silsilah
keluarga dari pihak ibu juga bertemu pada Syeikh Muhammad Arsyad dari istrinya
yang bernama Bajut.[3]
Bajut melahirkan anak yang bernama Syarifah. Syarifah bersuamikan Usman dan
melahirkan Muhammad As’ad yang kawin dengan Hamidah dan melahirkan 12 orang
anak. Salah satu di antara anak Muhammad As’ad dan Hamidah bernama Muhammad
Arsyad. Muhammad Arsyad beristrikan Ummu Salamah dan melahirkan tujuh orang
anak, satu di antaranya bernama Shafura dan Shafura inilah ibu dari Abdurrahman
Siddiq.
b.Zuriatnya
Abdurrahman
Siddiq merupakan zuriat kelima dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1770-1812
M), yang urutannya adalah Abdurrahman Siddiq bin Shafura binti Mufti H. M.
Arsyad bin Mufti H. Muhammad As’ad bin Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad.
Kemudian apabila dilihat dari pihak neneknya, Ummu Salmah, Abdurrahman Siddiq
merupakan generasi keempat dari Syekh Muhammad Arsyad, yakni Abdurrahman Siddiq
bin Shafura bin Ummu Salamah binti Pangeran Mufti H. Ahmad bin Syekh Muhammad
Arsyad sal-Banjari.[4]
Selain
punya zuriat ke atas yang bertemu pada Syekh Muhammad Arsyad, Abdurrahman
Siddiq juga banyak melahirkan zuriat ke bawah melalui istri-istri yang pernah
dinikahinya, yang berjumlah sembilan orang dan anak berjumlah 35 orang.[5]
c.Pendidikannya
Abdurrahman
Siddiq sewaktu kecilnya tidak sempat lama diasuh oleh ibunya, sebab di usia
baru tiga bulan ibunya Shafura meninggal dunia. Selanjutnya beliau diasuh oleh
saudara perempuan almarhum yang bernama Sa’idah, yang dalam masa pengasuhan ini
dia tetap dipelihara kakek dan neneknya. Menjelang usia satu tahun, kakeknya
yang bernama Mufti H. Muhammad Arsyad bin Mufti H. Muhammad As’ad meninggal
dunia. Sejak saat itu hingga dewasa Abdurrahman tinggal dan diasuh oleh
neneknya yang bernama Ummu Salamah.
Ummu
Salamah adalah seorang perempuan yang berilmu agama dan taat beribadah. Dalam
pemeliharaannya inilah Abdurrahman Siddiq diajari membaca Alquran dan setelah
menjelang dewasa disuruh belajar kepada guru-guru agama yang ada di Kampung
Dalam Pagar.[6]
Sewaktu
belajar agama di Dalam Pagar ini, Abdurrahman Siddiq sempat berguru dengan H.
Muhammad Said Wali, H. Muhammad Khotib dan Syekh H. Abdurrahman Muda. Seiring
dengan usia dewasa, beliau juga aktif berdagang sampai ke pulau Jawa dan
Sumatera dan sempat pula menuntut ilmu agama di Padang Sumatera Barat.
Setelah
menamatkan pendidikannya di Padang tahun 1882, tidak lama kemudian, yakni tahun
1889 beliau pergi menuntut ilmu ke Mekkah. Ada versi mengatakan beliau
berangkat ke tanah suci tahun 1887 dari pulau Bangka Sumatera Selatan yang
menjadi tempat kediamannya saat itu.
Di
Mekkah ia menuntut ilmu kepada para ulama besar yang membuka halaqah-halaqah
pengajian agama di Masjidil Haram. Guru-guru tempatnya belajar di antaranya
adalah Syekh Said Bakri Syatha, Syekh Said Babasyid, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
dan Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani.[7]
Selain itu Abdurrahman Siddiq juga giat mengaji agama di halaqah-halaqah yang
ada di Masjid Nabawi di Madinah.[8]
Abdurrahman
Siddiq tinggal di tanah suci Mekkah dan Madinah selama tujuh tahun, lima tahun
menuntut ilmu dan dua tahun mengajar (tahliah) di Masjidil Haram. Sebelum
pulang ke tanah air untuk menyampaikan dan mengamalkan ilmu yang diperoleh atas
izin dari pemerintah Kerajaan Saudi Arabia, Abdurrahman Siddiq sempat pula
mengajar di Masjidil Haram.
Setelah
mengabdikan ilmu di Martapura, bersama keluarga dia pindah ke Sapat, Indragiri.
Abdurrahman juga mengadakan perjalanan dakwah ke Semenanjung Melayu pada tahun
1911. Di Sapat Indragiri pada tahun 1912 beliau membangun sebuah masjid dan
pondok pesantren di tengah-tengah perkebunan kelapa. Di sana selain sebagai
guru agama dan muballigh beliau juga dikenal sebagai petani kelapa. Lokasi
pesantren tersebut dikenal sebagai kampung Parit Hidayat, yang kemudian
berkembang menjadi locus pendidikan di daerah Riau seiring dengan kedatangan
para santri dari berbagai pelosok Indragiri.
Abdurrahman
Siddiq juga pernah ditawari untuk menjadi Mufti[9] di
beberapa tempat. Pertama sewaktu singgah di Betawi ditawari menjadi Mufti
Betawi, yang ketika itu dijabat oleh Syekh Said Usman Betawi. Kedua, beliau
juga ditawari oleh Sultan Kerajaan Johor menjadi Mufti, namun kedua tawaran itu
ditolaknya. Tawaran untuk menjadi mufti di kerajaan Indragiri Riau pun baru
diterimanya setelah pihak kerajaan memohon berkali-kali, yang mulai diembannya
sejak tahun 1919 sampai wafatnya tahun 1939.
Abdurrahman
Siddiq adalah seorang ulama besar yang sangat produktif. Muhammad Arrafie Abduh
menyebutnya seorang ulama yang wara’, sufi yang tawadlu’, da’i yang gigih,
pendidik yang giat, mufti yang aktif, penterjemah, petani, dan orang yang gigih
menghidupkan seni yang bernafaskan nilai-nilai Islam dan aktif dalam ilmu
beladiri Budi Suci dalam rangka menunjang suksesnya dakwah. Karya-karya
Abdurrahman semuanya ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab Melayu, dan
umumnya berkenaan dengan masalah agama, antara lain adalah :
1. Fathul Alim, kitab tentang Ilmu Tauhid diterbitkan 28 Sya’ban 1347 H/8 Februari 1929 M
2. Aqaid al-Iman, kitab tentang Ilmu Tauhid diterbitkan 18 Sya’ban 1355 H/2 Nopember 1936 M, penerbit Mathba’ah Ahmadiyah, Singapura
3. Asror al-Shalat min Uddah Kutub al-Mu’tamadah, kitab Fiqih yang menerangkan rahasia-rahasia shalat, diterbitkan bulan Zulqaidah 1349 H/2 April 1931.
4. Risalah Amal Ma’rifah, ditulis tahun 1332 H
5. Mau’izhat lin Nafs wa li Amtsali, kitab Tauhid bercorak Tasawuf diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmadiyah Singapura, tahun 1355 H.
6. Syair Ibarat dan Khabar Qiamat, sebuah buku sastra keagamaan diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmadiyah Singapura tahun 1344 H.
7. Kitab al-Faraid, sebuah Kitab Fiqih tentang kewarisan, diterbitkan oleh Mathba’ah al-Ikhwan Singapura tahun 1338 H.
8. Majmu’ al-Ayat wa al-Hadits fi Fadoli al-Ilmi wa al-Ulama wa Al-Muallimin wa al-Mustami’in li Khadim al-Thalabat, sebuah buku kumpulan ayat dan hadits tentang kelebihan ilmu dan ulama, diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmadiyah Singapura tahun 1346 H.1
9. Risalah Syajarah al-Arsyadiyah dan Risalah Takmilah Qaul al-Mukhtashar fi Alamat al-Mahdi al-Muntazhar, risalah yang berisi silsilah keturunan Syeikh Arsyad, tanda-tanda hari kiamat dan kedatangan Imam Mahdi, diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmadiyah Singapura tahun 1336 H.
10. Kumpulan Khutbah, sebuah kitab berbahasa Arab yang berasal dari kumpulan Khutbah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan diterjemahkan oleh Abdurrahman Siddiq, diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmadiyah Singapura tahun 1938 M.
B. Pemikiran Kalam.
1.
Pandangan
Syekh Abdurrahman Shiddiq terhadap Ilmu Kalam
Berdasarkan
karya-karya tulisnya, Syeikh Abdurrahman nShiddiq dapat dikatakan tidak
melibatkan diri secara eksplisit dalam diskusi-diskusi yang mewarnai sikap
pro-kontra ulama terhadap kehadiran dan keabsahan ilmu kalam (teologi) sebagai
ilmu tentang ushul al-din. Walaupun demikian, Syeikh ini bagaimanapun
juga, secara implisit tidak dapat terhidar dari pengaruh diskusi-diskusi
tersebut. Oleh karena itu pula ia bebas menentukan pandangan dan sikapnya
mengenai pentingnya ilmu kalam dalam penjelasan akidah islamiah.
Sebagai seorang
ulama yang ikut ambil bagian dalam membahas persoalan-persoalan teologis dalam
Islam, Syeikh Abdurrahman Shiddiq, sudah barang tentu mempunyai pandangan dan
sikap positif terhadap eksistensi dan keabsahan metode ilmu kalam. Artinya,
metode ilmu kalam menurut Syeikh Abdurrahman Shiddiq dapat diandalkan untuk
mengantarkan umat kepada tingkat pemahaman dan penghayatan yang benar tentang ushul
al-din.
Meskipun Syeikh
Abdurrahman Shiddiq menghargai arti penting ilmu kalam, namun tampaknya ia juga
mengakui bahwa metode yang disodorkan dalam ilmu kalam buknlah satu-satunya
metode yang dapat menghantarkan orang kepada suatu bentuk keyakinan (aqidah)
yang sesungguhnya. Bahkan ia mellihat segi keterbatasan ilmu kalam justru
terletak pada metode rasional (al-nazhar) yang diterapkan didalamnya
untuk menangkap hakikat kebenaran dari aqidah. Formalisme logika kalam jelas
mengenyampingkan hal-hal yang bersifat intuitif essoteris dalam diri manusia.
Pada hal segi ini tidak kalah pentingnya sebagai saran yang potensial untuk
mengenal (ma’rifat) Tuhan secsara lebih mendalam.[10]
Dalam pandangan
Syeikh Abdurrahman Shiddiq, antara ilmu kalam dan ilmu tasawuf, secara struktur
keilmuannya, keduanya mempunyai hubungan. Dengan demikian kaitan antara kedua
bidang itu tidat pada segi metodologi yang diterapkan oleh masing-masing bidang
itu, tetapi terletak pada gradasi atau hrarki kemmampuan manusia menggukan daya
rasionalitasnya dan daya intuitifnya dalam usahnya memahami dan mengenal
hakikat kebenaran materi aqidah. Meskipun ia menghargai capaian ilmu tasawuf
untuk mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya, namun ia mengingatkan pula
bahwa pemahaman yang kurang baik terhdap ilmu itu dapat membahayakan aqidah.
Melalui sebuah bait syair yang digubahnya ia mengakui, betapa indahnya rahasia
ayng dibawa oleh imu tasawuf, dan betapa pula rumitnya ilmu tersebut sehingga
apabila seseorang salah dalam memahaminya maka ia akan menjadi orang yang sesat
dalam aqidah. Ia berkata:
“ilmu tasawuf
bukannya mudah
Sesungguhnya ]itu
rahasi indah
Jikalau memahami
engkau tersalah
Menjadi kafir,
na’uzu bi Allah.”[11]
Untuk itulah,
Syeikh Abdurrahman Shiddiq menganjurkan agar seseorang sebelum menggukan zawq
sufistiknya, ia seharusnya terlebih dahulu ‘aqa’id al-iman yang dihasilkannya
oleh metode rasional kalam dalam atau dengan perkataan lain, sebelum seseorang
memasuki dunia tasawuf, terlebih dahulu ia harus menguasai ilmu ushul
al-dhin. Sehubungan dengan itu ia berkata:
“jikalau
menuntut ilmu sufi
Tuntutlah dahulu
ilmu ushuli
Karena tasawuf
rahasianya tinggi
Mengajinya
haruslah hati-hati.”[12]
Sejauh ini memang
tidak ditemukan penjelasan, mengapa syeikh abdurraman shiddiq berpendapat bahwa
seseorang yang ingin mendalami tasawuf
haruslah terlebih dahulu ilmu
kalam. Tetapi dalam ungkapannya di atas, dapat diduga bahwa syeikh ini
tampaknya bermaksud menempatkan capaian ilmu pengalaman-pengalaman tasawufi
merupakan upaya pemberian makna terhadap kepercayaan-kepercayaan yang
menghasilkan oleh metode kalam tersebut.
2.
Akal manusia dan fungsi wahyu
Syeikh Abdurrahman
Shiddiq menyebut akal dengan panggilan ahl-nazhar. Akal menurut beliau
seperti yang termaktub di dalam syair beliau[13] yaitu suatu daya untuk berfikir bagi manusia
dalam rangka mencari kebenaran yang kemudian menjadi pengetahuan. Selanjutnya
akal menurut beliau pula yaitu nur yang rohani sifatnya, yang dengannya
semua orang memperoleh ilmu dharuri dan nazhari.[14]
Yang di maksud dengan nur disini adalah potensi suci dari kebenaran yang
berasal dari Yang Maha Suci, yaitu Allah. Kata “nur” berasal dari bahasa
arab yang berarti cahaya. Cahaya biasanya berfungsi untuk menerangi. Akal
disebut sebagai nur karena ia merupakan sarana yang mampu menerangi
manusia kepada jalan kebenaran. Dengan demikian, akal menurut pandangan Syeikh
ini merupakan hal yang bersifat immateri. Selanjutnya akal menurut beliau pula
mempunyai hubungan yang erat dengan ilmu. Ilmu tidak akan dapat beguna tanpa
pendayagunaan akal. Akal dengan potensinya, membangun dalil-dalil rasional,
merupakan dasar dari tercipta dan terkembangnya pengetahuan tentang kebenaran. Ilmu
yang dimaksu oleh Syeikh Abdurrahman Shiddiq bukanlah sekedar dalam pengertian
“mengetahui” tetapi lebih dari itu
yaitu, dalam pengertian “mengenal” (ma’rifat).
Akal
dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, tidak hanya mampu menangkap
fenomena-fenomena lahiriah dan membuat konsep-konsep tentangnya, tetapi akal
dalam batas-batas tertentu mampu memikirkan tentang sesuatu yang bersifat
metafisik.
Jadi
Syeikh Abdurrahman Shiddiq ini menenmpatkan posisi akal sangat penting dalam
mengiringi informasi yang diturunkan oleh Allah melalui wahyu Al-Qur’an.
3. Paham Kebebasan Manusia
Suatu
paham yang sudah diketahui secara umum dalam teologi Islam adalah paham yang
mengatakan bahwa; wujud ada dua yaitu; Tuhan sebagai khalik dan alam beserta
isinya (manusia dan lain-lain) sebagai makhluk (ciptaan). Oleh karenanya dimana
manusia sebagai makhluk yang bergerak, berbuat dan berperilaku. Dari situ
timbullah persoalan, apakah perbuatan manusia itu bersumber dari Tuhan atau
tidak?
Didalam
hal ini tentunya paham-paham terdahulu telah memberikan pengaruh dan pahamnya
kepada kita. Terutama paham Jabariah yang meyakini bahwa semua perbuatan manusia itu bersumber dari Tuhan.
Sedangkan paham yang berseberangan dengan itu adalah paham Qadariah yang menyatakan bahwa perbuatan manusia
itu bersumber dari manusia itu sendiri.
Penulis
memahami bahwa dalam buku yang ditulis oleh Bapak Nazir Karim yang menjadi
rujukan primer penulis bahwa Syeikh Abdurrahman Shiddiq ini tidak menyetujui
jika manusia itu hanya digerakkan oleh Allah saja, karena jika demikian maka
manusia tidak perlu untuk mempertanggung jawabkan kesalahan/dosanya (paham Jabariah). Selanjutnya mengenai paham Qadariah Syeikh ini setuju dengan implikasi yang
dibawa oleh paham qadariah berupa keyakinan, pentingnya tanggung jawab manusia atas
perbuatan-perbuatannya, tetapi dalam pada itu ia menolak implikasi paham
tersebut yang mengukkuhkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya, yang menurut Syeikh ini, berarti menafikan peran Tuhan
di dalamnya. Bagi Syeikh Abdurrahman Shiddiq, kemerdekaan dan kebebasan menusia
yang seperti itu berarti tidak maha kuasanya Tuhan.[15]
4. konsep iman dan hakikatnya
Pehaman
masalah keimanan syeikh ini membagi dua, yang pertama keimanan khawas dan awam. Keimanan khawas itulah yang sampai pada ma’rifat, sedangkan iman tashdiq dan taqlid untuk golongan awam.
5. Persoalan Eskatologi
Eskatologi
didalam kamus besar bahasa Indonesia memeliki arti yaitu ajaran teologi mengenai akhir zaman spt hari
kiamat, kebangkitan segala manusia, dan surga serta neraka
Melalui syairnya Syeikh ini
banyak sekali memberikan singgungan agar masuia siap siaga untuk menuju akhirat
dan selamat tentunya akhirat kelak. Syairnya yang berbunyi:
“hai sekalian
orang yang beramal
Tuntutlah ilmu
kerjakan ‘amal
Akhirat sungguh
dikatakan kekal
Di dunia juga
mencari bekal”[16]
Selanjutnya
persoalan surga dan neraka merupakan tempat kembali manusia sesuai dengan
ganjaran yang diberikan karena telah menjalani kehidupan dimuka bumi ini
tentunya.
6.
Sifat-Sifat Tuhan.
Mengenai
sifat-sifat Tuhan ini Syeih Abdurrahman Shiddiq memuat di dalam kitabnya, Fath
al-‘Alim,Syeikh Abdurrahman Shiddiq yang menyatakan,”bahwa zat tidak
terpikirkan (wujudnya) kecuali dengan sifat (la-yuta’aqqal al-jat ila biha).[17]
Makna yang terkandung dalam ungkapan ini adalah; zat tidak dapat dimengerti
hakikat wujudnya secara rasional kecuali adanya sifat yang melekat pada-Nya.
Berdasarkan
ungkapan itu, Syeihk Abdurrahman Shiddiq kelihatannya bermaksud mengukuhkan
paham yang mengakui adanya sifat bagi Tuhan. Di samping itu, unkapan itu
mengindikasikan bahwa Syeikh ini membedakan antara zat Tuhan dan sifat-Nya,
tetapi keduanya satu dalam hakikat wujud Tuhan. Di tinjau dari segi ini dapat
dikatakan bahwa sifat bukanlah zat, tetapi sifat tidak berpisah dari zat.[18]
7.
Perbuatan-Perbuatan Tuhan.
Mengenai persoalan
pertama yaitu; apakah Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia,
Syeikh Abdurrahman Shiddiq mencoba menanggapinya dengan cara melihat dari dua
sisi sumber pengetahuan, yaitu sisi akal dan wahyu. Dari sisi akal Syeikh ini
cenderung mendukung pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki
kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Sedangkan dari sisi wahyu yaitu; Syeikh
Abdurrahman Shiddiq dapat menerima adanya kewajiban-kewajiban Tuhan, jadi
disini menurutnya Tuhan sendiri yang mewajibkan diri-Nya untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu yang dikehendaki-Nya.[19]
BAB III
PENUTUP
1.
kesimpulan.
Pemikiran Syeikh Abdurrahman Shiddiq
yaitu sangat menghargai akal namun wahyu tetap yang tertinggi.
Selanjutnya
bertitik tolak dari paham Jabariah yang mempunyai pemikiran bahwa setiap
kegiatan manusia itu bersumber dari Allah dan paham pemikiran Qadariah
yang mempunyai pemikiran bahwa setiap tingkah laku manusia itu adalah berasal
dari manusia itu sendiri. Dari landasan pemikiran itu, maka Syeikh Abdurrahman
Shiddiq tidak sepaham dengan Jabariah, karena menurut beliau dengan
begitu maka manusia tidak perlu mempertanggungjawabkan semua tingkah lakunya
dan untuk paham Qadariah beliau sepaham dengan pemikirannya namun beliau
juga tidak bias menerima jikalau hak prerogative itu dari manusia total. Jadi
Syeikh Abdurrahman Shiddiq ini menurut hemat penulis beliau berada di antara
kedua pemikiran ini atau ditengah-tengah pemikiran kalam Jabariah dan Qadariah.
Artinya beliau telah melakukan telaah dan memberikan sumbangan pemikiran baru
untuk dunia pemikiran kalam tentunya.
2. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan dan penyusunan makalah ini masih banyak kekeliruan dan kekurangan
oleh sebab itu saya sebagai makalah meminta kritik dan saran yang membangun
demi kelancran selanjutnya.
Demikian makalah ini saya sampai kan
terlebih dan kurang penulis selaku pemakalah minta maaf, terimakasih wallahu a’lam bi al-sawab.
DAFTAR PUSTAKA
Hhtp//www.pemikiran
kalam Syeikh Abdurrahman Shiddiq. Com
Nazir Karim,
Muhammad. Dialektika teologi Islam, Bandung, Penerbit Nuansa, 2004
[1]M. Arrafie Abduh, “Corak Tasawuf Abdurrahman
Siddiq dalam Syair-Syairnya”, Jurnal Penelitian Kutubkhanah, (Pekanbaru: IAIN
Sultan Syarif Qasim, 2001), No.III, h. 55.
[3]Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari memiliki 12
orang istri yang dikawini dalam waktu tidak bersamaan. Saat wafat istrinya yang
masih hidup tinggal 3 orang, 30 orang anak dan 114 orang cucu. Lihat Yusuf
Halidi, Op. Cit., h. 60.
[4]Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari, (Martapura: Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar, 1996),
h. 84.
[7]Departemen Agama RI, Eksiklopedi Islam, Jilid
2, (Jakarta: Ichtiar Baru–Van Hoeve, 1993),hal.841.
[8]Halaqah adalah istilah salah satu metode
pengajian agama melalui kaji duduk. Halaqah artinya diskusi untuk memahami isi
kitab yang diajarkan oleh syekh seorang guru.
[9]Mufti adalah sebuah
istilah jabatan yang berarti hakim yang tertinggi, pengawas peradilan pada
umumnya. Di bawah Mufti ada Qadli, yaitu pelaksana hukum dan pengatur jalannya
pengadilan agar hukum berjalan dengan wajar dan benar. Mufti memimpin
sebuah Mahkamah Syar’iyah, guna mengawasi pengadilan umum (masyarakat). Pejabat
Mufti adalah orang yang betul-betul mengerti seluk-beluk hukum Islam secara
mendalam. Lihat Yusuf Halidi, Op.Cit.,hal.40-41.
[10]. Bagi sufisme,
hakikat pengetahuan diperoleh melalui zawq seorang sufi: “siapa yang belum ”merasa”
berarti ia belum mengetahui.”dengan ini, term ma’rifat dalam tasawuf mempunyai
konotasi yang berbeda dari term ”ma’rifat” yang terdapat dalam konsep ilmu
kalam (teologi). Ma’rifat dalam konsep
ilmu kalam (teologi) merupakan pengetahuan tentang kebenaran yang diperoleh
melalui akal. Lihat Syeikh Abdurrahman Shiddiq, Risalah ‘amal ma’rifat,
singapura, Math’baah Ahmadiyah, 1332 H., hal. 19. Lihat pula Abdurrahman
Shiddiq, Op.Cit., hal. 3. Dalam Muhammad Nazir Karim. Dialektika Teologi
Islam. Bandung. Penerbit Nuansa:2004. hal. 87.
[11]. Syeikh
Abdurrahman Shiddiq, Syair ‘Ibarat dan Khabar Kiamat, Singapura, Mathba’ah
Ahmadiyah, 1344 H., hal. 29. Dalam Muhammad Nazir Karim. Dialektika Teologi
Islam. Bandung. Penerbit Nuansa:2004. hal. 87.
[12]. Ibid., Dalam Muhammad Nazir Karim. Dialektika
Teologi Islam. Bandung. Penerbit Nuansa:2004. hal. 87.
[13]“jika ada akal
fikirnya
Ahl al-Nazhar
itu namanya
Durhaka bila ia
meninggalkannya
Juga tiada
selamat baginya.”
[14]Abdurrahman
Shiddiq, Syair Ibarat dan Khabar Qiyamat, Singapura Maktabah Ahmadiyah,
1344 H., hal. 26. Dalam Muhammad Nazir
Karim, Dialektika teologi Islam, Bandung, Penerbit Nuansa, 2004 M., hal.
91.
[16]Abdurrahman
Shiddiq, Sya’ir ‘ibarat, Op. Cit., hal. 3. Dalam Muhammad Nazir Karim, Dialektika teologi
Islam, Bandung, Penerbit Nuansa, 2004 M., hal. 130.
[17]Abdurrahman
Shiddiq, Fath-‘Alim fi Tertib al-Ta’lim, Singapura, Mathba’ah Ahmadiyah, 1929,
hal. 13. . Dalam Muhammad Nazir Karim, Dialektika
teologi Islam, Bandung, Penerbit Nuansa, 2004 M., hal. 154.
[18]Muhammad Nazir
Karim, Dialektika teologi Islam, Bandung, Penerbit Nuansa, 2004 M., hal.
154.
[19]Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar