FAKULTAS USHULUDDIN
Jumlah SKS : 8 SKS
Smester : 3,4,5 dan 6
Prodi/Jurusan : Aqidah dan Filsafa
Kelompok Mata
Kuliah : MKKP
Prasyarat : Lulus Filsafat Umum
Dosen : Drs. Saleh Nur, MA
Kosma : Abdul Rahman Sayuti
A.
Deskripsi Mata Kuliah
Mata kuliah ini merupakan komponen
Mata Kuliah Keahlian Propesi ( MKKP )
pada Program S1 Fakultas Ushuluddin
Jurusan Aqidah dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif
Kasim , Riau. Jumlah SKS keseluruhan adalah delapan SKS, dilaksanakan
dalam empat smester dimulai pada smester tiga dengan rata-rata
dua SKS persmester. Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan dapat
memperluas cakrawala berfikir dan mempunyai kemampuan memahami ajaran Islam secara komprehensif dan
filosofis yang pada gilirannya terampil dan bijak menyampaikannya kepada
masyarakat sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi.
Materi perkuliahan pembahasannya dimulai dengan memperkenalkan filsafat
Islam kepada mahasiswa, faktor-faktor penyebab munculnya, kaitannya dengan
filsafat Yunani, dengan ilmu kalam dan
tasawuf. Kemudian dilanjutkan dengan
uraian tentang filosof Islam dibelahan dunia Islam bagian timur dan barat, dan
terakhir adalah kajian filsafat Islam
pasca Ibnu Rusyd, Nashiruddin Thusi, Suhrawardi al-Maqtul, Mulla Shadra
dan Muhammad Iqbal. Pembahasannya mencakup biografi, filsafat dan hasil karyanya.
Pelaksanaan kuliah adalah dengan pendekatan ekspositori, kecerdasan
dan kontektual yang dilengkapi dengan berbagai media yang ada. Terakhir laporan buku dan makalah, adalah untuk mengetahui seberapa jauh penguasaan materi kuliah pada tiap smester disamping evaluasi ujian tengah smester dan ujian smester.
Buku Sumber Utama :
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Dr, Al-Falsafah al-Islamiyah, Dar
al-Qalam, Kairo, 1962
Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi, Dirasat fi al-Falsafah
al-Islamiyah, Maktabah al- Qahirah
al-Haditsah, Kairo, 1957
Al-Ghazali, Maqashidul Falasifah, Darul Ma’arif, Mishr, 1961
Al-Ghazali, Tahafut
al-Falasifah, Darul Ma’arif, Mishr, 1957
Abdur-Raziq, Musthafa, Tamhied li Tarikhil Falsafah al-Islamiyah,
Lajnah Ta’lif wat-Tarjamah wan-Nasyr, Kairo, 1919
Ibrahim Madkor, Dr, Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhaj wa
Tathbiequh, Darul Ma’arif, Mishr, 1968
Ibnu Rusyd, Tahafut ut-Tahafut, al-Halaby, Mishr, tt.
Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme Dalam Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, 1973
Harun Nasution, Theologi Islam, Universitas Indonesia,
Jakarta, 1972
Nadim al-Jisr,Syech, Qishshatul Iman, Kisah Mencari Tuhan,
alih bahasa A.Hanafi, MA, Bulan Bintang, Jakarta, 1970
Hossein Nasr, Seyyed, Science and Civilization in Islam, New
American Library, New York, 1970
Vergilius Ferm, ed, A History of Philosophical Systems,
Little Field, Adam & Co, New Jersey,1961
B.
Filsafat Islam I ( Smester
III )
1.
Pengertian
filsafat Islam :
Pemikiran
yang lahir dalam lingkungan/biah Islam ( dunia Islam ) untuk menjawab tantangan
zaman, yang membahas hubungan antara Allah dan alam semesta. Pembahasan ini
meliputi antara hubungan antara wahyu dan akal, aqidah dan hikmah, agama dan
filsafat. ( Ibrahim Madkour, Fi
al-Falsafah al-Islamiyah Maanhaj wa Tathbiequh, Darul Ma’arif,
Mishr, 1968, hal.19)
Filsafat
Islam adalah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari oleh ajaran
Islam ( Ahmad Fuad al-Ahwani, Al-Falsafah al-Islamiyah, Dar al-Qalam,
Kairo, 1962, hal.10 ).
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa filsafat Islam adalah hasil pemikiran filosof muslim tentang masalah ketuhanan,
kenabian, manusia dan alam yang disinari
oleh ajaran Islam.
Setidaknya
ada tiga ciri pokok filsafat Islam :
Pertama, para filosof muslim mempunyai kesamaan dalam melihat kebenaran
al-Qur’an, dan ajaran Islam sehari-hari. Tidak seorangpun dari para filosof yang
berani meragukan al-Qur’an atau menyimpang dari ajaran pokok Islam – barangkali
hanya Abu Bakar al-Razi, tetapi itupun masih diperdebatkan. Kalaupun mereka harus berurusan dengan
hal-hal yang sensitif – akibat tantangan filsafat
Aristoteles maupun Neo Platonisme,
seperti masalah penciptaan waktu dan kebangkitan jasmani – mereka akan
melakukan tafsir alegores ( ta’wil ).
Kedua, para filosof Islam percaya bahwa ada benang merah yang
menghubungkan antara filsafat Yunani dengan Islam. Misalnya al-Farabi mengatakan bahwa Plato dan
Aristoteles telah mengatakan doktrin yang sama dengan al-Qur’an, walaupun
dengan bahasa yang berbeda – tentang apa yang harus dicari dalam kehidupan
yaitu tentang apa yang disebut “kebenaran”,
bahwa kebenaran berada dibalik yang lahiriah ini.
Ketiga,
filsafat Islam seperti halnya filsafat Yunani bertujuan
mendapatkan pengetahuan dalam rangka hikmah ( mendapatkan kearifan ).
Dalam pandangan filsafat Yunani setiap pengetahuan berinduk pada metafisika.
Filsafat Islam pun berinduk pada
metafisika Islam, seperti kata Fazlur
Rahman, bahan-bahan atau ide-ide filsafat Islam memang diambil dari filsafat
Yunani, sehingga materi maupun isinya bersifat samasekali Yunani. Tetapi
konstruksi aktualnya bermerk Islam, sepanjang batas-batas metefisika yang
dimungkinkan.
2.
Tentang
penamaan filsafat Arab atau filsafat Islam
Adapun
dalam memberi nama terhadap filsafat yang lahir dan berkembang dalam dunia
Islam, terutama di Timur Tengah ada dua pendapat :
Pertama, yang menamakannya dengan filsafat Arab beralasan bahwa filsafat
ini muncul dan berkembang dizaman kejayaan bangsa Arab dan ditulis dalam bahasa
Arab. Seperti Hana al-Fakhoury dan Dr. Khalil Jaar dalam bukunya Tarikh
al-Falsafah al-‘Arabiyah, Maurice De
Wulf dalam bukunya Histoire de la Philosophie Mediavale, dan Emile Brechier dalam bukunya Histoire
de la Philosophie.
Kedua,
yang menamakannya dengan filsafat Islam beralasan bahwa filsafat
ini lahir dalam zaman kejayaan Islam dan dalam dunia Islam serta kebanyakan
filosofnya penganut Islam yang bukan
orang Arab. Mereka ini antara lain Horten dalam Inseklopedi Islam, De Boer dalam History of Philosophy in
Islam, Carra de Vaux dalam Les Panseurs de L’Islam. Begitu pula filosof Islam Ibnu Sina dalam Asy-Syifa,
menyebutnya dengan al-Mutalasifah al-Islamiyah dan Syahrastani dalam al-Milal wan-Nihal,
menyebutnya dengan al-falasifah
al-Islamiyah. Kami lebih cendrung menyebutnya dengan Filsafat Islam karena
filsafat tersebut lahir dan berkembang dalam dunia Islam dalam zaman kejayaan
Islam dan dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan ajaran Islam. Tambahan
lagi banyak ahli pikir Islam itu sudah menamakannya dengan filsafat Islam.
3.
Faktor-faktor pemicu munculnya filsafat Islam
Ali
Sami Nasyar, dalam bukunya Nasy’atu al-Fikri al-Falsafi Fi-al-Islam,
membagi factor
pemicu
menjadi dua bagian ; eksternal dan internal. Faktor pertama lebih memiliki
andil besar dalam membidani lahirnya
filsafat dalam Islam. Karena Islam tidak mendorong berdirinya aliran filsafat
metafisika. Metafisika Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits. Metafisika dalam
Islam adalah masalah tauqifiyyah, mengikuti dan mematuhi apa yang telah
digariskan al-Qur’an dan al-Hadits tidak
boleh melampaui atau keluar dari keduanya,
karena itu akal tidak memiliki andil samasekali dalam masalah metafisika.
Tetapi dengan munculnya metafisika dari kalangan ulama Islam, maka munculah
para penafsir dan komentator metafisika. Mereka melakukan kegiatan besar dalam
rangka mengokohkan metafisika al-Qur’an dan menjelaskannya. Usaha-usaha yang dilakukan Mu’tazilah
merupakan latar belakang yang menopang berdirinya pemikiran filsafat Islam.
Filsafat Islam itu sendiri merupakan
suatu cara memberikan penjelasan tentang Islam secara rasional dan liberal –
lebih dari kalam jelas bersifat keagamaan. Pada sisi lain, mereka menilai bahwa
orang yang berkecimpung dalam masalah metafisika telah terjerumus kedalam jalan
yang salah. Untuk itu lebih baik menjauhinya ( kaum salaf ). Namun perlu
dicatat, meskipun mereka menolak aliran metafisika, mengingkari ilmu kalam,
mereka sesungguhnya memiliki aliran kalam dan filsafat.
Diantaraaa
factor ekternal lain adalah filsafat Yunani, tepatnya setelah terjadinya gerakan
penerjemahan buku-buku Yunani kedalam bahasa Arab dimasa Al-Mansur khalifah
Abbasiyah dan mencapai puncaknya dimasa Al-Makmun.
Perdebatan
antara Islam dan Yahudi dan Islam dengan Nasrani dalam menjelaskan
persoalan-persoalan prinsip kiranya juga ikut andil dalam melahirkan filsafat
Islam.
Selain
Yahudi, Nasrani dan filsafat Yunani, gnostisisme timur ( Irak dan Iran ) aliran ini juga mencoba
menghancurkan struktur Islam sejak Islam berhasil memporak porandakan
kepercayaan dan ritual aliran ini. Aliran ini sangat menentang Islam sebagai
agama tauhid, karenanya para pemikir muslim berupaya untuk mempertahankan dan
menjelaskan hakikat-hakikat perbedaan dikalangan antar pemeluk agama dan
aliran. Perbedaan-perbedaan itu telah mempunyai andil pula dalam kemunculan dan
partum,buhan filsafat Islam.
4.
Hubungan filsafat Islam dengan ilmu
ke-Islam-an lain
Hubungan
filsafat Islam dengan ilmu kalam ; Pada abad ke-6 Hijriah terjadi pembauran
antara ilmu kalam dengan filsafat. Pembahasan
problema ilmu kalam adalah dengan
menekankan pada penggunaan semantic ( logika ) Aristoteles sebagai metode, sama
dengan metode yang ditempuh para filosof. Kendatipun ilmu kalam tetap menjadikan nash-nash agama
sebagai sumber pokok, tetapi dalam kenyataannya penggunaan dalil dalil aqli yang tampak pada perbincangan
mutakallimin. Atas dasar itu sejumlah pakar
memasukan ilmu kalam dalam lingkup filsafat Islam.
Hubungan
filsafat Islam dengan tasawuf ; Tasawuf
adalah ilmu yang mempelajari cara
dan bagaimana seorang muslim berada sedekat mungkin dengan Allah. Ada tasawuf
amali dan ada pula tasawuf falsafi. Melihat kepada pembagian ini,
menggambarkan adanya unsur-unsur filsafat dalam ajaran tasawuf. Hal ini akan
lebih jelas lagi terlihat ketika pendekatan rasional digunakan dalam menjelaskan
maqamat ( al-fana, baqa, ittihad, hulul, wihdat al-wujud dsb )
Hubungan filsafat Islam dengan ilmu fiqih ; Dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an berkenaan dengan hukum
diperlukan ijtihad, yaitu upaya menggunakan akal dan prinsip kelogisan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum dari sumbernya.
Syekh Mustafa Abdur-Raziq dalam bukunya Tamhied
li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, menjelaskan bahwa ilmu ushul fiqh
sepenuhnya diciptakan dan diletakkan dasar-dasarnya oleh Asy-Syafi’ie, tentu akan dapat dilihat
dengan jelas adanya berbagai gejala pemikiran filsafat.
5.
Al-Kindi ( 185.H/801.M-257.H/873.M
)
Riwayat hidup dan karyanya
Al-Kindi adalah
salah satu dari 12 pemikir terbesar di abad pertengaahan , kata sarjana Italia
era renaissance, Geralomo Cardano ( 1501-1575 ). Di mata sejarawan Ibnu Nadim,
al-Kindi merupakan manusia terbaik pada zamannya. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Nama lengkapnya Abu Yusuf
Ya’qub bin Ishak bin Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin Al-Asy’ats bin
Qais Al-Kindi. Keluarganya berasal dari suku Kindah – salah satu suku Arab yang
besar di Yaman. Ayahnya bernama Ibnu As-Sabah, pernah menduduki jabatan sebagai
Gubernur Kufah dimasa pemerintahan Al-Mahdi (775-785 ) dan Harun Al-Rasyid (
786-809 ). Kakeknya Asy’ats bin Qais dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi
Muhammad Saw.
Pendidikan
dasar ditempuh Al-Kindi ditanah kelahirannya. Kemudian dia melanjutkan
pendidikan di Baghdad. Ia menguasai tiga bahasa Yunani, Suryani dan Arab, suatu kelebihan yang jarang
dimiliki orang pada masa itu. Al-Kindi hidup dimasa kejayaan Dinasti Abasiyah
di Baghdad. Sejak Khalifah Al-Amin (
809-813 ), Al-Ma’mun ( 813-833 ), Al-Mu’tasim, Al-Wasiq ( 842-847 ) dan
Mutawakkil ( 847-861 ). Berkat kemahirannya dalam berbagai bidang ilmu dan
bahasa dia diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan. Namun setelah pemerintahan Al-Mu’tasim
berakhir dan ketika Khalifah Al-Mutawakkil tak lagi menggunakan paham
Mu’tazilah ebagai mazhab resmi kerajaan Al-Kindi tersingkir, dan ia dipecat
dari jabatan yang pernah ia pegang.
Al-Kindi
melahirkan banyak karya dalam berbagai bidang ilmu seperti filsafat, logika,
ilmu hitung, music, astronomi, medis,
astrologi, psikologi, politik dan meteorology. Bukunya yang paling
banyak adalah geometri sebanyak 32 judul, filsafat dan kedokteran masing-masing
mencapai 22 judul, logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul. Sejarawan Felix
Klein-Franke, menduga bahwa lenyapnya
sejumlah karya Al-Kindi akibat dimusnanhkan rezim Mutawakkil yang tak
senang dengan paham Mu’tazilah. Tetapi juga bisa jadi akibat serangan Bangsa
Mongol dibawah pimpinan Hulago Khan yang membumi hanguskan kota Baghdad dan
Baitulhikmah ( semacam perpustakaan ) kala itu.
6.
Filsafat
Ketuhanan al-Kindi
a.
Baharunya
alam/alam tidak qadim
Al-Kindi menjelajah hampir seluruh bidang filsafat
Yunani, meliputi ontology, epistemology dan axiology. Dalam masalah ketuhanan,
dimulainya dengan mematahkan teori Aristoteles
tentang alam qadim. Menurut Aristoteles bahwa alam ini tidak mempunyai awal dan ada sejak dulunya ( qadim ). Penjelasan Al-Kindi, alam terdiri dari tiga unsur yaitu
jisim ( benda/fisik/materi ), zaman dan harakah ( gerak ). Ketiga unsur ini adalah mutanahi ( mempunyai awal dan berkesudahan ). Alam ini
kata Al-Kindi tidak terlepas dari ketiga unsur ini, setiap jisim bergerak dan
setiap gerak menimbulkan zaman atau masa. Jadi bila ada jisim sudah tentu ada
gerak dan bila ada gerak berarti dilmulailah adanya zaman, masa atau waktu. Zaman terjadi karena perulangan gerak/harakah,
bila ada gerak ada zaman jika tidak ada gerak tidak ada zaman atau masa. Benda
tidak mungkin mendahului gerak dan gerak sejalan dengan masa. Jadi salah
satu diantara yang tiga itu tak mungkin terdahulu dari yang lain. Jadi jisim,
gerak dan zaman adalah baharu. Pemikiran
inilah yang merupakan focus dan landasan dasar pembahasan pembuktian bahwa alam
ini baharu, dan bila sudah dapat dibuktikan alam ini baharu, pastilah ada al-muhdits,
penciptanya.
b.
Dalil-dalil
adanya Tuhan
Setelah
terbukti bahwa alam itu baharu, tentu sudah pasti ada yang menciptakannya.
Menurut Al-Kindi, Tuhan menciptakan alam
dari tiada menjadi ada. Dan ini hanya
semata-mata perbuatan Tuhan. Dia-lah akhir dari segala sebab. Dalam membuktikan
wujud Tuhan Al-Kindi sejalan dengan
mutakallimun ( para ahli kalam )
Disamping ia juga menggunakan ayat-ayat al-Qur’an yang
menyuruh untuk memperhatikan kejadian alam serta peristiwa peristiwa yang terjadi
pada alam tersebut, seperti keaneka ragaman dan kerapian ciptaannya.
c.
Sifat-sifat
Tuhan
Dalam
hal sifat Tuhan Al-Kindi sejalan dengan
paham Mu’tazilah, Ke-esa-an adalah sifat yang paling utama, tak tersusun
dari yang lain. Tuhan bukan genus dan bukan Species. Tuhan hanya satu, tidak
ada yang serupa dengannya , Tuhan itu unik, Ia Esa dan daripada-Nya mengandung
arti banyak.
7.
Keselarasan
antara filsafat dan agama
Al-Kindi
berusaha memadukan antara filsafat dengan agama. Filsafat berdasarkan akal pikiran
adalah pengetahuan yang benar ( khowledge of truth ) dan aQur’an yang membawa
argument-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang
dihasilkan filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidaklah
dilarang bahkan menjadi suatu keharusan. Bertemunya filsafat dan agama dalam
kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan keduanya.
8.
Filsafat
Jiwa
Menurut
Al-Kindi, roh itu tidak tersusun
mempunyai arti penting,s empurna dan mulia. Substansi roh berasal dari
Tuhan. Hubungan roh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.
Jiwa bersifat Spiritual, Ilahiah, terpisah dan berbeda dari badan. Jiwa lain
dari badan ia mempunyai wujud sendiri. Keadaan badan mempunyai hawa nafsu dan
sifat pemarah, sementara roh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah.
9.
Al-Razy ( 864-926 M )
Riwayat
hidup dan karyanya
Abu
Bakar Muhammad bin Zakaria A-Razy,
disamping terkenal sebagai
seorang filosof, ia juga seorang dokter dan ahli kimia yang kenamaan. Al-Razy
dilahirkan pada tahun 250 H./864 M. di Ray dekat Teheran dan meninggal tahun
322 H/926 M. Selain Abu Bakar Muhammad
bin Zakaria Al-Razy, masih ada tiga orang
yang senama dengannya, Ahmad bin Muhammad Al-Razy ( 878-955 M ), Isa bin
Muhammad Al-Razy dan Fakhruddin Al-Razy. ( Shorter Encyclopaedia of Islam,
p.470 )
Karya
Al-Razy meliputi berbagai bidang disiplin ilmu antara lain ; Al-Hawy,
berisikan Encyclopedi ilmu kedokteran, Al-Judary, berisikan pembahasan
tentang penyakit cacar dan tentang filsafat ditemukan dalam buku Rasaa-il Al-Razy al-Falsafiyah, Al-Thibb al-Rohany, Al-Sierah al-Falsafiyah dan Maqalat fie ma Ba’da al-Thabi’ah
10.
Al-Razy,
filsafat lima yang kekal
Pembahasan
dalam masalah ketuhanan dalam filsafat Al-Razy, adalah pendapatnya tentang adanya lima yang kekal , sbb :
a.
Al-Baary
Ta’ala, Allah Ta’ala
b.
Al-Nafs
al-Kulliyah, jiwa universal
c.
Al-Hoyouli
al-Oula, materi pertama
d.
Al-Makaan
al-Muthlaq, tempat absolute
e.
Al-Zaman
al-Mutlaq, masa absolute
Menurut Al-Razy bahwa teori alam qadim adalaah sebagai akibat pasti
dari filsafat adanya Tuhan, yang merupakan Al-Mabda’ al-Wahid al-Tsabit
( Basis Yang Esa Yang Tetap ). Meskipun dia menyatakan adanya lima yang qadim,
tetapi dia membedakan antara qadimnya Allah dengan qadimnya al-Hoyouli al-Oula ( materi pertama ).
Menurut Al-Razy tidak mungkin
menafsirkan atau menjelaskaan penciptaan berdasarkan masa kecuali berbilangnya
sifat yang qadim tersebut.
Adapun jiwa universal adalah merupakan al-Mabda’ al-Qadiem al-Tsaniy, ( basis
qadim yang kedua ). Disini terdapat daya hidup/kehudupan, tapi sulit diketahui
karena tanpa rupa. Tetap karena ia dikuasai oleh naluri untuk bersatu dengan
materi pertama, maka terjadilah pada zatnya form ( bentuk/rupa ) yang dapat menerima fisik, tetapi materi pertama sendiri tanpa
fisik. Maka Allah ciptakanlah alam semesta ini termasukl tubuh manusia yang
ditempati oleh jiwa.
11.
Al-Razy,
wahyu dan kenabian
Al-Razy adalah filosof yang berani mengeluarkan pendapatnya,
meskipun pendapat itu bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam yaitu :
a.
Tidak
percaya pada wahyu
b.
Al-Qur’an
tidak mu’jiat
c.
Tidak
percaya pada Nabi-nabi
d.
Adanya
hal-hal yang kekal selain dari Tuhan ( Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme
Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hal.20-21 )
Syekh Nadiem Al-Jisr dalam bukunya
Qishshatul-Iman Baina al-Falsafah wa-al-‘Ilm wa-al-Qur’an,
menyatakan bahwa Al-Razy termasuk orang-orang yang beriman, karena ia
menyatakan bahwa adanya akal pada sebagian makhluk hidup dan kemampuannya untuk
merapikan ciptaannya menunjukkan atas adanya Yang Maha Pencipta yang telah
menciptakan makhluknya dengan sebaik-baiknya. Pernyataan ini sudah cukup bagi
saya untuk menyatakan bahwa Al-Razy termasuk orang yang beriman. ( Syekh Nadiem
Al-Jisr, Qishshatul-Iman Baina al-Falsafah wa al-‘Ilm wa-alQur’an, Kisaah
Mencari Tuhan, alih bahasa A.
Hanafi, MA. Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hal.50 )
12.
Al-Farabi
( 870-950.M )
Riwayat hidup dan karyanya
Abu Nashr Muhammad bin
Muhammad bin Tarkhan, nama sukunya Farabi terambil dari nama tempat lahirnya
Farab di Turkistan. Lahir tahun 870 Masehi dan meninggal tahun 950 M. Ia lebih dikenal dengan sebutan
Al-Farabi. Ayahnya seorang opsir tentara Turki dan ibunya berasal dari desa
kelahirannya.
Sejak kecil Al-Farabi suka
belajar dan mempunyi kecakapan yang luar biasa dalam lapangan bahasa. Permulaan pelajaran yang ia terima adalah
tentang bahasa Arab dari Abu Bakar As-Saraj.
Disamping itu dipelajarinya pula ilmu filsafat dan logika dari seorang
sarjana Kristen Abu Bisyr Mattius bin Yunus
yang terkenal sebagai penerjemah buku-buku Aristoteles dan filosof
Yunani lainnya. Belum puas belajar filsafat kepada Mattius bin Yunus pada tahun
920 M. ia pergi ke Harran – salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil,
untuk memperdalam pengetahuannya dalam bidang filsafat kepada seorang Kristen Yuhanna bin Jilan. Setelah
itu ia kembali ke Baghdad untuk meperdalam ilmu filsafat dan mantiq/logika. Ia
menghabiskan waktu sekitar 30 tahun berdiam disini, jangka waktu tersebut
digunakannya untuk mengulas buku-buku filsafat, mengarang serta memberikan
pelajaran. Tahun 941 M. ia pindah ke Damaskus, dan disini ia mendapat kedudukan
yang baik dari Saifud-Daulah, Khalifah Dinasti Hamdan di Halab ( Aleppo ). Ia
menetap di kota ini sampai wafat diusia 80 tahun.
Karya-karya Al-Farabi sebagian besar terdiri dari ulasan dan
penjelasan terhadap filsafat Plato, Aristoteles dan Galenus, meskipun ia lebih
terkenal sebagai pengulas filsafat Aristoteles. Ia sangat berjasa dalam ilmu
logika sehingga digelari dengan guru kedua, dimana Aristoteles digelar sebagai
guru pertama. Ibnu Sina menulis dalam autobiografinya
seperti yang diungkapkan oleh Arthur Hyman dan James J. Walsh ; meskipun dia
( Ibnu Sina ) sekarang sudah menjadi filosof komplit, tetapi tentang ilmu
metafisika Aristoteles masih belum memuaskannya. Dibacanya sampai 40 kali
berulang-ulang, tetapi sesudah dibelinya dari pedagang buku yang menawarkan kepadanya
satu buku karangan Al-Farabi “Tentang
Tujuan Ilmu Metafisika” barulah terang baginya dan dia merasa puas berkat
membaca buku itu. ( Arthur Hyman & James J.Walsh, Philosophy in the
Middle Ages, Published by Happer, New York, 1967, p.236 ).
Adapun karya-karya Al-Farabi
antara lain ;
Maqalat fi Aghradi ma Ba’da ath-Thabi’ah, Al-Jam’u Baina Ra’yai al-Hakimaini, Ara’u Ahlil Madinah
al-Fadhilah, Tahqiequ Ghardi Aristhathaleis fi Kitabi ma Ba’da ath-Thabi’ah,
As-Siyasatul Madaniyah, Risalah fi-al Aqli, ‘Uyun al-Masail. Dll.
Dari sekian buku karangan al-Farabi tersebut pembahasan dalam
masalah ketuhanan terdapat dalam bukunya “Kitab fi ma Ba’da ath-Thabi’ah”,yang
dibaginya kedalam tiga bahagian ;
a.
Mencari
hal yang ada dan sesuatu yang berlaku bagi ayang ada itu.
b.
Mencari
dasar-dasar alasan ( dalil/argument ) dalam ilmu penyelididkan perkara juz’i.
c.
Mencari
dari hal yang ada yang tidak bertubuh
dan tidak pula menempati tubuh.
13.
Kesatuan
Filsafat Al-Farabi
Al-Farabi dikenal juga dengan seorang filosof sinkretisme yang
memepercayai akan kesatuan filsafat. Ia mengkombinasikan ajaran filosof
sebelumnya seperti Plato, Aristoteles dan Neo Platonisme dengan pikiran-pikiran
ke-Islam-an. Hal ini kelihatan dalam
soal logika dan fisika ia mengikuti Aristoteles, dalam soal etika dan politik
ia mengikuti Plato dan dalam soal metafisika ia mengikuti Plotinus, pendiri dan
tokoh aliran Neo Platonisme.
Al-Farabi bukan saja
mempertemukan berbagai macam aliran
filsafat, tetapi berkeyakinan bahwa aliran yang bermacam-macam itu hakikatnya
adalah satu, yaitu untuk mencari
kebenaran yang Esa. Usaha usaha ini
nampak jelas sewaktu membahas filsafat
Plato dan Aristoteles, begitu pula antara filsafat dengan wahyu, dimana kadang-kala
Al-Farabi menggunakan interpretasi batini. Yakni dengan menggunakan ta’wil bila
menemukan pertentangan pendapat antara keduanya.
Persoalan ini seharusnya mesti ditinjau dari segi idealnya, sebab
filosof-filosof muslim ketika itu banyak yang berpendapat bahwa Islam dengan Al-Qur’an
dan Sunnahnya itu adalah hak dan benar
disamping berpendapat pula bahwa filsafat itu juga benar, dan kebenaran itu tak
boleh lebih dari satu. Karena itulah Al-Farabi sampai menggunakan interpretasi
batini untuk mempertemukannya, meskipun untuk beberapa kasus sukar
kelihatannya. Filsafat berpikir
tentang kebenaran, agama juga tentang kebenaran, … Akan tetapi menyesuaikan
agama dengan akal bukanlah berarti menerima kelebihan filsafat atas agama. … (
Mohd. Iqbal, Pembangunan Kembali Alam
Pikiran Islam, terjemahan Osman Raliby, Bulan Bintang, Jakarta, 1966, hal.2
).
14.
Filsafat
Ketuhanan Al-Farabi
a.
Dalil-dalil
adanya Tuhan
Dalil
yang digunakan Al-Farabi untuk membuktikan adanya Allah adalah dalil wujub dan
imkan ( wajibul wujud dan mumkinul wujud ). Yang dimaksud dengan dalil
wajibul wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak mesti ada. Wujud ini adalah
wujud yang tabiatnya sendiri menghendaki
wujudnya. Adanya dengan sendirinya, Essensinya tak dapat dipisahkan dari
wujudnya. Ia tak dimulai oleh tidak
berwujud kemudian lantas berwujud. Akan tetapi ia berwujud selama-lamanaya.
Menurut Al-Farabi sesuatu yang ada ini tidak terlepas dari dua
kemungkinan diatas, kalau tidak wajibul wujud pastilah mumkinul wujud,
atau sebaliknya. Tidak ada kemungkinan
ketiga ataau wujud lain selain yang dua macam tersebut.
b.
Sifat-sifat
Tuhan
Sifat-sifat Allah menurut Al-Farabi tidak berbeda dengan zat-Nya,
karena Allah adalah Esa. Dalam hal ini Al-Farabi sejalan dengan aliran
Mu’tazilah yang tidak membedakan antara Zat dan Sifat. Allah itu ditinjau dari segi essensi-Nya
adalah akal actual, karena wujud-Nya tidak membutuhkan materi. Justeru demikian Allah tidak mempunyai
sifat yang dihubungkan kepada-Nya. Untuk tahu dan yakin tentang wujud Allah
tidak perlu dengan menisbahkan sifat-sifat tertentu kepada-Nya, sebab
pengetahuan tentang Allah lebih nyata
dan yakin dari pada pengetahuan tentang selain Allah, Al-Farabi menjelaskan :
Karena Tuhan adalah wujud yang paling sempurna, maka pengetahuan
kita tentang Dia adalah pengetahuan sempurna, seperti halnya dengan pengetahuan
kita tentang ilmu matematika, lebih sempurna dari pengetahuan kita tentang ilmu
fisika, karena obyek ilmu pertama lebih baik daripada obyek ilmu kedua. Akan
tetapi keadaan kita ketika menghadapi wujud pertama sama halnya dengan keadaan
kita ketika berhadapan dengan sinar yang sangat menyilaukan mata dan oleh
karena itu kita tidak dapat tahan untuk melihatnya, karena lemahnya penglihatan
kita. Hal ini disebabkan karena kelemahan yang timbul dari percampuran kita
dengan benda yang cukup menghambat dan membatasi pengetahuan kita. ( Syech Nadiem Al-Jisr, op-cit, hal.74-75 ).
Didalam bukunya “Ara-u Ahlal Madinah al-Fadhilah” seperti
yang dikutip Hana al-Fakhury, Al-Farabi menjelaskan :
Sesungguhnya Allah itu Maha Tahu, Dia tidak membutuhkan sesuatu
yang lebih diluar zat-Nya untuk tahu. Begitu pula Dia tidak membutuhkan sesuatu yang memberitahukan untuk diketahui.
Ilmu Tuhan itu adalah essensi-Nya. (Hanna al-Fakhury, Tarekh al-Falsafah
al-‘Arabiyah, Dar al-Ma’arif, Beirut, 1957,hal.109).
Mengenai “asmaul husna” Al-Farabi memberi penjelasan,
kita boleh saja menyebut nama-nama Tuhan sebanyak yang kita kehendaki.
Tetapi ini hanya memberikan isyarat tentang macam-macam hubungan Tuhan dengan
makhluk dari segi keagungan-Nya. Nama-nama tersebut tidak merupakan bagian pada Zat Tuhan atau
dengan kata lain adanya sifat-sifat yang berbeda dengan Zat-Nya.
Menyangkut tentang ilmu Tuhan, Al-Farabi berpendapat Tuhan hanya
mengetahui semua yang ada secara umum (
universal, kulliyat ). Tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa kecil ( rincian ) yang terjadi di alam. Sekiranya
ilmu Tuhan itu menyangkut
peristiwa-peristiwa kecil, ini berarti bahwa ilmu Tuhan dapat berobah pada
setiap kali terjadinya perobahan peristiwa yang terjadi di ala mini dan ini
berarti ilmu Tuhan tidak absolute lagi.
Sedang ilmu Tuhan itu adalah essensi-Nya dan essensi wujud itu adalah qadim. Jikalau ilmu itu berobah, maka Zat yang
mempunyai ilmu juga berobah, sedangkan pada Zat Tuhan mustahil terjadi perobahan. Persoalan inilah kiranya yang banyak
mengundang perdebatan antara golongan golongan Islam, sehingga golongan fuqaha
dan ahlul hadits menentang filsafat dan para filososfnya.
c.
Teori
emanasi
Dengan teori ini Al-Farabi mencoba menjelaskaan bagaimana yang
banyak ( pluralis ) bisa timbul dari Yang Satu, Tuhan bersifat Maha Esa, tidak
berobah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak
berhajat kepada apapun. Kalau demikian sifat hakikat Tuhan, bagaimana
terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Tunggal dan Maha Esa
? Bagaimana keluarnya wujud yang hadits
ini dari wujud yang qadim ? Al-Farabi mengatakan alam tercipta secara emanasi. Dimana ala mini memancar dari Wujud Pertaama
melalui rentetan proses dimana jenis yang satu keluar dari jenis yang lebih
tinggi secara berurut. Al-Farabi
mengklasifikasikan yang wujud ini kepada dua rentetan :
Pertama :
Rentetan wujud yang essensinya
tidak berfisik, dimana varitas yang lebih tinggi melahirkan varitas yang
lebih rendah secara berurut, dan ini ada dua jenis :
1.
Tidak
berfisik dan tidak menempati fisik yaitu
; Al-Maujud al-Awwal , Wujud Pertama, al-Ilah, Illat, Sebab Pertama.
Inilah yang disebut Allah Sw. Kemudian
al-‘Aqlul Awwal ( akal pertama ) dan
al-Uqoul al- Aflaak.
2.
Tidak
berfisik tetapi menempati fisik yaitu
; An-Nafs ( jiwa/roh ), al-Shourah ( bentuk/form ) dan
al-Maaddah ( materi )
Kedua :
Rentetan wujud yang berfisik, terdiridari :
1.
Al-Ajsaam
al-Samawiyah ( benda-benda langit , bintang gemintang )
2.
Al-Hayawaan al-Nathiq
( manusia, hewan yang berfikir )
3.
Al-Hayawaan
ghairu al-Nathiq ( hewan yang tidak berfikir )
4.
Al-Ajsaam
al-Nabaat ( tumbuh-tumbuhan )
5.
Al-Ajsaam
al-Ma’aadin ( benda-benda tambang )
6.
Al-Anashir
al- Arba’ah ( unsure yang empat, air, udara, tanah dan api )
Al-Farabi menjelaskan proses emanasi seperti berikut :
Allah al-Wujud al-Awwal, sebagai
Akal Aktif berfikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran Ini
lahir Wujud Kedua yang mempunyai substansi yang disebut Akal Pertama.
Akal Pertama ini Mumkin Wujud dilihat dari essensinya tetapi ia wujud dengan Wujud Pertama (Allah Yang Esa
). Beginilah Al-Farabi membedakan Wujud Allah dengan wujud lain. Wujud Kedua berfikir tentang Wujud Pertama
maka lahirlah Wujud Ketiga yang disebut
Akal Kedua. Wujud Kedua ( Akal
Pertama ) berfikir tentang Tuhan lahir langit pertama Wujud
Ketiga ( Akal Kedua ) berfikir tentang
Tuhan lahirlah Wujud Keempat ( Akal Ketiga
) dan ketika berfikir tentang diriny
lahirlah bintang-bintang. Begitulah
seterusnya Semenjak dari Wujud Ketiga ( Akal Kedua ) sampai dengan Wujud
Kesepuluh ( Akal Kesembilan ) dan lahirnya bulan. Akhirnya dari Wujud
Kesebelas/Akal Kesepuluh . Berhentilah terjadinya atau timbulnya
akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh
muncullah. Bumi serta roh-roh dan
materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsure, api, Udara,
air dan tanah ( Harun Nasution,Op-cit, hal.23-24 ).
Demikiaanalah filsafat emanasi Al-Farabi, walaupun ia terpengaruh
oleh filsafat. Ketuhanan Plato,
Aristoteles dan Plotinus, namun ia dengan tegas menyatakan bahwa
Yang Wajibul Wujud Lizatihi hanyalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
15.
Pemikiran
Al-Farabi tentang jiwa
Pendapat Al-Farabi tentang
jiwa dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus Jiwa
bersifat rohani, bukan materi, terwujud
setelah adanya badan, dan jiwa tidak berpindah-pindah dari satu badan kebadan
lainnya. Jiwa manusia disebut al-Nafs al-Nathiqah yang berasal dari alam
Ilahi, sedangkan jasad beerasal dari alam khalaq, berbentuk, berupa,
berkadar dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
16.
Teori
kenabian Al-Farabi
Teori Kenabian merupakan
bagian terpenting dari filsafat Al-Farabi
karena dibangun dari dasar-dasar psikologi dan metafisika dan erat
kaitannya dengan pembahasan tentang akhlak.
Ketika membicarakan negeri utama Al-Farabi mengatakan bahwa manusia dapat berhubungan dengan al-aql al-fa’al, sekalipun hanya
terbatas pada orang tertentu.
Hubungan tersebut dapat
ditempuh dengan dua jalan ; jalan pikiran dan jalan imajinasi atau jalan pikiran
dan inspirasi. Orang yang dapat
berhubungan dengan al-aql al-fa’al ialah manusia yang mempunyai hati dan jiwa yang bersih yang dapat menembus dinding-dinding alam gaib
dan mencapai alam cahaya. Orang yang
seperti inilah menurut Al-Farabi yang diserahi untuk memimpin Negeri Utama,
seperti yang dikonsepsikannya.
Disamping dengan al-aql al-fa’al , adalah dengan imajinasi.
Imajinasi erat kaitannya dengan kecendrungan dan perasaan dan ada pengaruhnya
pada gerak pikiran dan kemauan serta mengarahkannya pada obyek tertentu. Imajinasi
menyimpan obyek-obyek
inderawi dan gambaran-gambaran
alam luar yang masuk melalui pikiran melalui indera-indera, dan terkadang tidak
hanya menyimpan gambaran-gambaran pikiran tetapi membuat gambaran baru sama
sekali yang tidak ada keserupaannya
dengan obyek-obyek inderawi, dalam hal ini Al-Farabi telah membagi
imajianasi kepada dua bentuk sebagaimana
yang dikatakan juga oleh sarjana-sarjana psikologi modern yaitu imagination
creatrice ( imajinasi pencipta ) dan imagination conservatrice (
imajinasi penyimpang ).
Hubungannya dengan soal kenabian ialah
bagaimana pengaruh imajinasi terhadap impian dan pembentukannya, sebab apabila
hal ini bisa ditafsirkan secara ilmiah maka soal kenabian dan
kelanjutan-kelanjutannya dapat pula ditafsirkan. Sebagaimana diketahui bahwa ilham-ilham
kenabian adakalanya terjadi pada waktu tidur atau pada saat terjaga, atau dalam
bentuk impian yang benar atau wahyu.
Perbedaan antara kedua cara ini bersifat relative dan hanya
mengenai tingkatannya tetapi tidak mengenai essensinya . Impian yang benar
tidak lain adalah merupakan salah satu bentuk kenabian yang erat hubungannya
dengan wahyu. Apabila kita dapat menerangkan
salah satunya berarti kita dapat menerangkan dan memahami yang lain dari
hubungan kedua cara tersebut.
Apabila kekuatan imajinasi seseorang telah
mencapai akhir kesempurnaan, maka tidak ada halangannya bagi seseorang
untuk menerima dari al-aql al-fa’al peristiwa-peristiwa sekarang atau mendatang
atau obyek-obyek inderawi yang merupakan salinannya. Ia dapat
pula menerima salinan-salinan dan
obyek-obyek pikiran dan wujud-wujud lain
yang mulia, dengan penerimaan-penerimaan itu maka orang tersebut mempunyai ramalan ( Nubuwwah ) terhadap perkara-perkara ketuhanan. Ini
adalah tingkatan yang paling sempurna
yang bisa dicapai oleh kekuatan imajinasi dan dicapai oleh manusia untuk
berhubungan dengan al-aql al fa’al dan ini hanya bisa dilakukan oleh seorang
nabi. Imajinasi yang kuat teersebut memungkinkan seorang nabi menerima
pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang
nampak dalam bentuk wahyu dan impian yang benar.
Dibawah tingkatan nabi-nabi dan karena itu mereka tidak dapat berhubungan
dengan al-aql al-fa’al kecuali pada waktu tidur, dan terkadang mereka
sukar untuk mengutarakan apa yang diketahuinya. Adapun orang awam maka
imajinasinya lemah sekali karena itu
mereka tidak sampai berhubungan dengan al-aql al-fa’al baik waktu malam maupun
siang.
Demikianlah teori kenabian Al-Farabi,
sesungguhnya teori ini juga berkaitan dengan soal-soal kemasyarakatan dan
kejiwaan seperti yang diungkapkannya dalam buku “Ara-u Ahl-al-Madinah
al-Fadhilah”. Menurut Al-Farabi nabi
dan filosof adalah orang yang pantas untuk mengepalai negeri utama, dimana
kedua-duanya dapat berhubungan dengan aql al fa’al yang menjadi sumber syariat dan aturan yang
diperlukan dalam kehidupan. Perbedaan
antara keduanya terletak pada imajinasi
yang sempurna bagi seorang nabi dan
filosof hanya mengandalkan pembahasan pemikiran.
C.
Filsafat
Islam II ( Smester IV )
17.
Ibnu
Sina ( 980-1037 M. )
Riwayat
hidup dan karyanya
Abu Ali Husein bin Abdillah ibnu Sina, dilahirkan di Afsyana suatu
tempat yang terletak dekat Bukhara pada tahun 370 H./980 M. dan meninggal di
Hamazan 428 H/1037 M. Ibnu Sina memiliki
otak yang cemerlang dan kecerdasan yang tinggi. Orang tuanya bekerja sebagai
pegawai tinggi pada Dinasti Samawi, dan memberikan dorongan yang kuat pada Ibnu
Sina dalam belajar. Sehingga diusia 10 tahun dia sudah menghafal Al-Qur’an dan
mempelajari sastera Arab. Setelah mendalami ilmu fiqih dia mempelajari logika,
geometri dan astronomi kemudian dilanjutkannya dengan mendalami ilmu
matematika, fisika, kedokteran dan filsafat. Karena kecemerlangan otaknya dalam
usia 17 tahun dia sudah menguasai berbagai bidang disiplin ilmu sehingga
digelar dengan al-Syeikh al-Rais yang berarti imam ilmu pengetahuan.
Ibnu Sina mewariskan berbagai bidang ilmu, dan diantara karangannya
yang terpenting ialah “Asy-Syifa”
yang merupakan encyclopedia ilmu pengetahuan yang berisikan berbagai disiplin
ilmu. Ibnu Sina juga terkenal sebagai seorang dokter ahli. Bukunya “ Al-Qanun
fie al-Thibb ” adalah encyclopedia dalam ilmu kedokteran dan merupakan
sumber terpenting dalam ilmu kedokteran sepeninggalnya.
Usaha yang dilakukan Al-Farabi untuk mempertemukan filsafat dengan
agama dilanjutkan dan dikembangkan oleh Ibnu Sina, termasuk dalam bidang
ketuhanan. Tentang masalah ketuhanan
diungkapkannya dalam bukunya “Al-Isyaarat
wa-al Tanbihaat”dan lebih detail lagi dalam “Asy-Syifa” pada
bahagian “Ilaahiyat” ( ketuhanan ).
18.
Filsafat
Ketuhanan Ibnu Sina
a.
Pembuktian wujud Tuhan
Untuk membuktikan wujud Tuhan Ibnu Sina sejalan dengan Al-Farabi
dan mengemukakan dalil yang sama, lebih lanjut Ibnu Sina mengatakan kita tidak perlu mencari dalil untuk
menetapkan adanya Tuhan dengan salah satu makhluk-Nya. Kita seharusnya mengambil adanya Wujud Yang
Pertama yaitu Yang Wajibul Wujud dari Yang Mumkinul Wujud dan apa yang wujudnya bisa diterima oleh
akal. Alam ini adalah Mumkinul Wujud yang memerlukan suatu sebab yang
mengeluarkannya menjadi wujud, karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri.
Meskipun makhluk itu bisa menjadi bukti wujud-Nya, namun pembuktian yang
pertama lebih kuat dan lebih lengkap.
Ibnu Sina sependapat dengan Al-Farabi bahwa alam ini qadim
yang wujudnya disebabkan oleh Penyebab Pertama. Filsafatnya yang
menyatakan alam ini qadim diserang oleh Al-Ghazali, dan menurut
Al-Ghazali apa yang dikatakan oleh Ibnu
Sina tidak lain adalah kegelapan diatas kegelapan dan orang yang meyakini hal
itu adalah kafir.
Menurut Syekh Nadim Al-Jisr, secara lahiriah memang Ibnu Sina
sependapat dengan Aristoteles bahwa alam ini qadim, tetapi pada
hakikatnya ia tidak mengikuti Aristoteles. Ibnu Sina menafsirkan
alam dengan suatu tafsiran yang indah sekali dan menunjukkan pandangan
yang jauh, pikirannya yang sehat dan imannya yang benar, Ibnu Sina mengatakan :
Adapun pengertian qadim terbagi kepada :
1.
Qadim
bil Qias, yaitu qadim relative ( bila dibandingkan dengan yang lain ) dimana
masanya sesuatu pada waktu yang lampau lebih panjang dari masa sesuatu yang
lain, jadi yang pertama lebih dahulu jika dibandingkan dengan yang kedua.
2.
Qadim
Muthlaq, terbagi kepada dua bentuk ; qadim dari segi zaman dan qadim
dari segi zat, tingkatan dan martabat.
Qadim
dari segi zaman ialah sesuatu yang tidak mempunyai permulaan waktu,
sedang qadim dari segi zat, martabat dan tingkatan, tidak tergantung
kepada sesuatu yang lain yaitu Yang Esa dan Yang Haqq, Maha Tinggi Tuhan dari
apa yang dikatakan oleh orang-orang yang zalim. ( Syekh Nadim Al-Jisr, Op-cit,
hal.53 )
b.
Sifat-sifat Tuhan
Mengenai sifat Tuhan Ibnu Sina sejalan dengan Al-Farabi, ia
menjauhkan dan mensucikan Tuhan dari segala sifat yang dikaitkan dengan
zat-Nya. Demikian pula halnya dengan ilmu Tuhan, bahwa Tuhan hanya mengetahui
yang kulliyat ( absolute, total, general ) saja dan menolak bahwa ilmu
Tuhan berhubungan dengan yang juziyat ( particular atau detail ).
c.
Teori emanasi
Meskipun Ibnu Sina sejalan dengan Al-Farabi dalam menjembatani
filsafat Plato dan Aristoteles, teapi mereka berbeda pendapat dalam
menginterpretasikan timbulnya yang banyak dari Yang Satu. Menurut Ibnu Sina
dari Wujud Awwal hanya lahir Akal Pertama saja, dan dari Akal Pertama-lah
lahirnya akal, jiwa dan tubuh. Akal Pertama mempunyai dua sifat, Wajib Wujudnya
sebagai pancaran dari Allah dan Mumkin Wujudnya jika ditinjau dari hakikat
dirinya. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran ; Tuhan, dirinya
sebagai Wajib Wujudnya dan dirinya sebagai Mumkin Wujudnya. Dari pemikiran
tentang Tuhan timbul akal-akal, dari
pemikiran tentang dirinya sebagai Wajib Wujudnya timbul jiwa-jiwa, dari
pemikiran tentang dirinya sebagai Mumkin Wujudnya timbul langit-langit ( Harun
Nasution, Op-cit, hal.30 )
Filsafat emanasi Ibnu Sina menghasilkan sepuluh akal dan Sembilan
planet, Sembilan akal mengurus Sembilan planet dan akal kesepuluh mengurus
bumi. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur
bumi beserta isinya.
19.
Pemikiran
Ibnu Sina tentang jiwa
a.
Jiwa
tumbuh tumbuhan ; mempunyai tiga daya, makan, tumbuh dan berkembang biak.
b.
Jiwa
binatang, mempunyai dua daya ; gerak (
al-mutaharrikat ) dan menangkap ( al mudrikat ).
c.
Jiwa
manusia, mempunyai dua daya ; praktis ( yang berhubungan dengan badan ) dan
teoritis, yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak.
20.
Teori kenabian Ibnu Sina
Menurut Ibnu Sina didunia
ini ada tiga kelompok manusia, pertama
orang yang tidak mempunyai kecakapan teoritis dan praktis, kedua orang yang punya kecakapan teoritis dan
praktis hanya pada dirinya sendiri dan tidak mampu menyempurnakan orang lain, ketiga adalah orang yang mempunyai kecakapan
teoritis dan praktis sekaligus serta mampu mentranspormasikannya kepada orang lain. Inilah sesungguhnya yang disebut Nabi. Pada intinya Nabi adalah seseorang yang kekuatan
kognitifnya mencapai akal aktif, yakni malaikat Jibril. Hakikat akal aktif
itu sesungguhnya batasan antara demensi
ketuhanan dan kemanusiaan. Pendeknya seorang Nabi adalah orang yang mampu berkomunikasi bukan saja dengan Tuhan tetapi
juga kepada manusia. Bagi Ibnu Sina tugas kenabian sesusngguhnya juga
memerankan fungsi politik dalam arti mempu menuntun manusia untuk mengetahui
hokum baik buruk dan memberikan teladan kepada mereka untuk melaksanakannya.
21.
Ibnu
Miskawaih
Riwayat hidup dan karyanya
Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad
ibnu Ya’qub ibnu Miskawaih, lebih pupuler dengan sebutan Ibnu Miskawaih. Ia dilahirkan
tahun 330 H./941 M. di kota Rayy, Iran dan meninggal di Isfahan, Iran 421 H/1030 M. Dalam berbagai literature tidak
dijelaskan secara rinci riwayat kehidupannya, namun ada beberapa hal yang perlu
dijelaskan bahwa Ibnu Miskawaih belajar sejarah kepada Abu Bakar Kamil al-Qadhi
dan belajar filsafat pada Ibnu al-Khammar, mufassir karya-karya Aristoteles
kenamaan waktu itu.
Ibnu Miskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir, tetapi
ia juga seorang penulis yang pruduktif. Daalam buku-buku sejarah filsafat Islam
disebutkan beberapa karya tulisnya antara lain ; Al-Fauz Al-Akbar wa al-Ashgar, Tajarib
al-Umam, Tahzib al-Akhlaq, Thaharah An-Nafs.
22.
Filsafat
Ibnu Miskawaih
a.
Tentang
Ketuhanan
Menurut Ibnu Miskawaih Tuhan adalah zat yang tidak berjisim, azali
dan pencipta. Tuhan Esa dalam berbagai aspek. Tuhan tidak terbagi dan tidak
mengandung makna kejamakan dan ada-Nya tidak bergantung pada yang lain, sementara
yang lain bergantung kepada-Nya. Segala seuatu dialam ini ada gerak, gerak
merupakan sifat bagi alam yang menimbulkan perubahan pada sesuatu dari
bentuknya semula. Ini adalah bukti tentang adanya Tuhan yang menciptakan alam. Pendapat
seperti ini kelihatannya sama dengan
pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa segala sesuatu dalam alam ini selalu
dalam perubahan.
Sebagai seorang filosof
muslim Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh
Allah dari tiada menjadi ada, dalam hal ini Ibnu Miskawaih sejalan dengan
Al-Kindi dan berbeda dengan Al-Farabi bahwa Tuhan menciptakan alam dari sesuatu
yang asudah ada.
b.
Kenabian
Teori kenabian Ibnu Miskawaih adalah upayanya untuk memperkecil
perbedaan antara nabi dan filosof dan memperkuat hubungan keharmonisan antara
akal dan wahyu. Menurut Ibnu Miskawaih,
nabi adalah seorang muslim yang memperoleh hakikat kebenaran seperti juga yang
diperoleh oleh para filosof. Hanya saja bedanya kalau nabi mendapatkan
kebenaran ditirunkan dari atas kebawah yakni dari Akal Aktif langsung kepada
nabi sebagai rahmat Allah Swt. Sementara filosof mendapatkan kebenaran dari
bawah keatas, dari daya inderawi menaik kepada khayal/imaginasi dan menaik lagi
kepada daya fikir yang dapat berhubungan dan menangkap kebenaran dari Akal Aktif.
Menurut Ibnu Miskawaih filosof adalah orang yang paling cepat menerima dan
mempercayai apa yang dibawa oleh nabi, karena nabi membawa ajaran yang tidak bertentangan dengan akal
pikiran. Sungguhpun demikian tidak
berarti bahwa manusia tidak membutuhkan nabi, karena hanya melalui seorang nabi ( sekaligus wahyu )
manusia dapat mengetahui hal-hal yang bermanfaat dan dapat membawa manusia kepada
kebahagiaan. Ajaran ini tidak dapat dipelajari oleh semua manusia, kecuali oleh
para filosof, karena filsafat tidak dijangkaau oleh semua lapisan masyarakat.
c.
Jiwa
Jiwa menurut Ibnu Miskawaih adalah jauhar rohani yang tidak hancur
dengan sebab kematian jasad. Ia adalah satu kesatuan yang tidak dapat
dibagi-bagi, ia akan selalu hidup, tidak bisa diraba dengan panca indera karena
ia bukan jisim. Jiwa tidak mempunyai unsure, unsure hanya terdapat dalam materi.
Jiwa dapat menyerap materi yang kompleks dan non materi yang sederhana. Jiwa
dapat menangkap apa yang bisa ditangkap panca indera dan jiwa juga dapat
menangkap apa yang tak bisa ditangkap
panca indera. Tentang pembalasan di akhirat Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa jiwalah
yang akan menerima balasan sebab kelezatan jasmaniyah bukanlah kelezatan yang
sebenarnya.
23.
Filsafat
akhlak Ibnu Miskawaih
Pembahasan tentang akhlak oleh Ibnu Miskawaih didasarkan pada
ajaran Islam yang dikombinasikan dengan filsafat Yunani dan pemikiran Persia.
Akhlak menurut konsep Ibnu Miskawaih adalah, suatu sikap mental atau keadaan
yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah
laku manusia terbagi menjadi dua unsure, unsure naluriah dan unsure lewat
kebiasaan dan latihan. Berdasarkan ide tersebut, secara tidak langsung Ibnu
Miskawaih menolak pandangan orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia
tidak dapat berubah. Bagi Ibnu Miskawaih
akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak terpuji dengan jalan pendidikan
dan latihan.
Ibnu Miskawaih juga menjelaskan sifat-sifat utama, sifat ini
menurutnya erat kaitannya dengan jiwa, dimana jiwa memiliki tiga daya ; daya marah, daya berfikir dan daya
keinginan.
24.
Ibnu
Bajah ( 1082-1138 M.)
Riwayat hidup dan karyaanya
Avempace, begitulah ilmuan Barat biasa menyebut Ibnu Bajjah, ilmuan
muslim terkemuka di era kejayaan Islam Spanyol. Ziaduddin Sardar dalam
bukunya Science in Islamic Philosophy,
menabalkan Ibnu Bajjah sebagai sarjana
muslim multi talenta. Ia dikenal sebagai astronom, musisi, dokter, fisikawan,
psikolog, pujangga, filosof ahli logika dan matematik. Ilmuan dan filosof ini
lahir di Saragosa, Spanyol tahun 1082, dan mengembangkan beragam pengetahuan di
zaman kekuasaan Dinasti Murabbitun.
Sebagai seorang ilmuan Ibnu Bajjah sangat pruduktif dan banyak
menghasilkan beragam karya. Karya-karya Ibnu Bajah yang ditulis dalam bahasa
Arab banyak mempengaruhi peradaban Barat. Tulisannya banyak diterjemahkan
kedalam bahasa Yahudi dan Latin. Kini manuskrip asli dan terjemahannya masih
tersimspan di Perpustakaan Bodlein, Perpustakaan Berlin dan Perpustakaan Escurial, Sspanyol.
Hasil karya yang paling popular adalah Risalah al-Wida, dalam buku ini Ibnu
Bajjah menceritakan tentang ketuhanan, keberadaan manusia, alam dan uraian
mengenai bidang pengobatan. Selain itu adalah kitab Tadbir al-Mutawahhid, kitab
ini mengupas pandangannya dalam bidang
politik dan filsafat. Kemudian ia juga menulis buku yang berjudul Al-Nafs,
yang membicarakan persoalan jiwa,
hubungan jiwa dengan Tuhan dan pencapaian manusia yang tertinggi dari
keberadaan manusia dalam mencapai kebahagiaan. Dia juga menulis buku Risalah
al-Akhlaq dan Al-Ghayah al-Insaniyah.
25.
Filsafat
Ibnu Bajah
a.
Masalah
metafisika
Dalam masalah metafisika
Ibnu Bajjah hampir sejalan dengan Al-Farabi. Menurut Ibnu Bajjah yang
ada ini terbagi kepada dua macam ; bergerak dan yang tidak bergerak. Adapun
yang bergerak ialah materi yang sifatnya terbatas, dan gerakan yang terbatas
itu tidak mungkin dari dirinya sendiri tetapi sebab gerakan haruslah berasal dari kekuatan yang
tidak terbatas, yaitu Akal. Akal memberi
gerak kepada jisim.
b.
Tentang epistemology
Didalam bukunya Tadbir al-Mutawahhid, beliau mengemukakan
teori al-Ittishal yaitu bahwa manusia mampu berhubungan dan
meleburkan diri dengan Akal Fa’al atas bantuan ilmu dan pertumbuhan kekuatan
insaniah. Sehubungan dengan teori ittishal tersebut , Ibnu Bajjah mengajukan
satu bentuk epistemology yang berbeda dengan corak yang dikemukakan oleh Al-Ghazali di Dunia Islam
Timur. Bagi Al-Ghazali bahwa ilham adalah sumber pengetahuan yang lebih penting
dan lebih dipercaya, sementara Ibnu Bajjah berkeyakinan sesungguhnya
perseorangan mampu berada pada puncak pengetahuan dan melebur diri pada Akal Fa’al bila ia telah bersih dari
sifat kerendahan dan keburukan.
c.
Tentang
akhlak
Tujuan hidup manusia
menurut Ibnu Bajjah adalah
memperoleh kebahagiaan. Untuk itu diperlukan usaha yang bersumber dari adanya
kemauan bebas dan pertimbangan akal dan
jauh dari nafsu hewani. Perbuatan
manusia menurut Ibnu Bajjah terbagi kepada dua ; perbuatan hewani dan perbuatan
manusiawi. Watak sejati manusia pada
hakikatnya bersifat intelektual yang merupakan karakteristik semua bentuk
spiritual. manusia spiritual inilah yang menurut Ibnu Bajjah yang
benar-benar dapat mencapai kebahagiaan. Ibnu Bajjah menjelaskan bahwa kemajuan
intelektual bukanlah semata-mata atas usaha manusia, tetapi disempurnakan Tuhan
dengan memasukkan cahaya kedalam hati manusia itu.
d.
Politik
Pengertian al-Mutawahhid, oleh Ibnu Bajjah tidak dimaksudkan bahwa
seseorang harus menjauhkan diri dari masyarakat, tetapi ia harus senantiasa
berhubungan dengan masyarakat. Menurut
Ibnu Bajjah seseorang harus mampu mengendalikan diri dan hawa nafsunya, tidak
terseret kedalam arus perbuatan rendah dimasyarakat, tetapi jika masyarakat itu
bobrok, maka seseorang harus menyepi dan menyendiri. Seseorang harus menjadi contoh, berpusat pada
dirinya bahwa ia dapat menjadi panutan orang lain. Orang yang mempunyai sifat mulia menurut Ibnu Bajjah cirri-cirinya
adalah ; selalu menjaga kesehatan, sederhana dalam memenuhi kebutuhan hidup dan
bergaul dengan orang berilmu serta menjauhi orang-orang yang mementingkan
kehidupan duniawi.
26.
Ibnu
Thufail ( 1110-1185 M.)
Riwayat hidup dan karyanya
Abu Bakar Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Muhammad ibnu Muhammad
ibnu Thufail, dilahirkan di Guadix ( Arab : Wadi Asy) Granada, Spanyol tahun 506 H/1110 M. dalam
bahasa Latin Ibnu Thufail lebih popular dengan sebutan Abubacer. Selain terkenal sebagai seorang filosof ia
juga seorang dokter, ahli matematika dan kesusasteraan. Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia
diangkat menjadi sekretaris pribadi Gubernur Cueta ( Arab : Sabtah ) dan
Tangier, Abu Yaqub Yusuf Al-Mansur,
khalifah kedua dari Dinasti Muwahhidun ( 558 H/1163 M – 580 H/1184 M.) selanjutnya
menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.
Pada masa Khalifah Abu Yaqub Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh
yang besar di pemerintahan, karena Khalifah sendiri sangat mencintai ilmu pengetahuan dan memberi
kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu
membuat Spanyol, seperti yang dikatakan Briffault sebagai tempat kelahiran
kembali negeri Eropa. Pemikiran Ibnu
Thufail dituangkan dalam risalah-risalah ( surat-surat ) yang dikirimkan kepada
muridnya ( Ibnu Rusyd ), sehingga tidak dikenal banyak orang . Namun karya
populernya yang dapat ditemukan sampai sekarang adalah Risalah Hayy ibn
Yaqzhan fi Asrar al-Hikmah Al-Mashriqiyah, yang ditulis pada abad ke-6
Hijriah ( abad ke-12 M.)
27.
Filsafat
Ibnu Thufail
Secara
ringkas, karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu
di sebuah pulau tak berpenghuni, anak tersebut disebut oleh Ibnu Thufail
sebagai Hayy Ibn Yaqzan (hidup anak kesadaran). Tokoh Hayy hidup terpencil dan
bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya hanya dengan menggunakan akal dan pancaindera.
Hay digambarkan sebagai sosok manusia alam yang tak pernah mengenali
orangtuanya. Tetapi alam telah memberinya seekor kijang yang mengasuh dan memberinya
makan. Setelah dewasa, dia mengarahkan pandangannya terhadap perkara yang ada
di sekelilingnya. Di sini, dia mulai memahami tentang kejadian, pengalaman, dan
rahasia perubahan yang terjadi di sekelilingnya; sehingga ia tahu, bahwa di
balik alam ini terdapat sebab-sebab yang tersembunyi yang menciptakan dan membentuk
alam raya dan dirinya. Hayy Ibnu Yaqzan selalu membahas dan menganalisa sesuatu
perkara secara sendiri melalui akalnya, sehingga dia mampu mengetahui bahwa
kebahagiaan dan kesengsaraan manusia itu bergantung kepada hubungannya dengan
Sang Pecipta. Ia kemudian dikenalkan dengan nama Allah, sebagai Yang Maha
segalanya, setelah bertemu dengan Asal, tokoh fiktif yang berperan sebagai pendakwah
(da`i) yang membawa kebenaran agama. Dengan melalui lika-liku perdebatan yang
kritis dan dialogis, Hayy menerima pandangan-pandangan agama yang disampaikan
Asal. Hay mengakui adanya kesamaan tentang Allah sebagai Tuhan yang menciptakan
alam semesta raya dengan “Sang-Realitas” yang berada dibalik alam raya yang
diakuinya sebagai Tuhan. Dengan karakter tokoh Hayy itu, Ibnu Thufayl berhasil
membuat uraian yang menarik sekaligus membantu memahami pemikiran-pemikirannya.
Ibnu
Thufayl memberikan gambaran tentang sebuah simpul social, yang mengubah urutan
situasi pikiran dari ketiadaan panca indera menuju kepada isolasi budaya. Tujuan
utama Ibnu Thufayl adalah untuk menunjukkan apa yang dapat ditemukan oleh
intelejensia manusia tanpa adanya bantuan dari pihak di luar dirinya yang
bersifat ketuhanan, yang menanamkan pengetahuan – penerimaan mengenai ide-ide
dan kecenderungan untuk secara aktif melakukan pencarian seperti yang telah
ditegaskan al-Ghazali terhadap dirinya sendiri dan apa yang telah dilakukan
oleh Aristotle dengan menyusun sebuah premis ketika dia mengawali bukunya,
Metaphysics, dengan kata-kata, “seluruh manusia secara naluri ingin mencari tahu.
Pengetahuan
yang dimiliki manusia melalui penginderaaan terhadap alam sekitarnya, menurut
Iqbal, merupakan salah satu bentuk pengetahuan yang ditekankan dan diakui oleh
Al-Qur’an, dalam rangka mencari kebenaran. Ia menyebutkan beberapa ayat
Al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah tersebut, antara lain Q.S. Al-Baqarah ayat 164.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di lautan membawa apa
yang berguna manusia, dan apa yang diturunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di
bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angina dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi
kaum yang berpikir.”
Maka
tidak ada keraguan lagi, bahwa maksud langsung dari Al-Qur’an dengan pengamatan
yang seksama tentang alam itu ialah untuk membangkitkan kesadaran tentang
segala sesuatu yang ada di alam itu dipandang sebagai satu lambang dari kekuasaan-Nya.
Hal ini sesuai dengan esensi serta tujuan Ibnu Thufayl dalam novelnya, Hayy
Ibnu Yaqzan.
Hayy
Ibn Yaqzan, seperti fiksi lainnya, merupakan sebuah eksperimen pemikiran.
Eksperimen pemikiran ini menurut beberapa pihak dibangun berdasarkan eksperimen
pemikiran Ibnu Sina yang terkenal, yakni Manusia Mengambang. Nama tersebut diambil
dari salah satu alegori yang ditulis Ibnu Sina selama dia dipenjara di puri Fardajan
dekat dengan Hamadhan. Menurut argument Manusia Mengambang-nya Ibnu Sina, yang
berulang kali dijelaskan dalam tulisan-tulisan Ibnu Sina yang non-alegori,
bahwa para filosof menunjukkan esensi dari jiwa manusia, independensi jiwa manusia,
dengan meminta para pembacanya untuk mencoba memahami diri mereka sendiri bagai
mengambang di udara, terisolasi dari seluruh perasaan atau melepaskan perasaan,
bahkan melepaskan diri dari seluruh kontak dengan bagian tubuh yang lain. Satu
hal yang akan tersisa dari semua aktivitas ini – menurut Ibnu Sina – adalah
kesadaran diri.
Namun,
benarkah pemikiran Ibnu Thufayl mengekor pemikiran filosof sebelumnya, seperti
yang sering dinyatakan oleh para kritikus? Mengenai komentar para kritikus yang
menyatakan bahwa Ibnu Thufayl merujuk kepada pemikiran filosof terdahulu
semacam Ibnu Sina seperti yang telah disebutkan di atas, tidak sepenuhnya benar.
Jika kita teliti lebih dalam karyanya akan kita dapati bahwa sesungguhnya Ibnu
Thufayl dalam pemikiran fisafatnya merupakan pribadi yang independent dan
memiliki orisinalitas.
Syeikh
Al-Azhar terdahulu Dr. Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Ibnu Thufyil Wa
Falsafatuhu ( Ibnu Thufayl dan Filsafatnya ) telah memberikan penjelasan yang
cukup argumentative. Adapun bukti yang memperlihatkan indepedensi Ibnu Thufayl
dari pengaruh Al Farabi dapat kita baca dari sikap Ibnu Thufayl sendiri
terhadap Al-Farabi yang mana ia telah memproklamirkan secara terang-terangan
bahwa pemikiran yang terkandung dalam karya-karya Al-Farabi penuh dengan
skeptisisme ( kastrah assyukuuk ) kemudian memberikan contoh dengan pendapat
Al-Farabi yang mengatakan bahwa kebahagiaan hanya terdapat dalam dunia material
yang kita tempati sekarang ini (addaar addunya) lalu mengkritiknya dengan
ungkapannya.[7] Menurutnya, pendapat ini telah mendorong sikap pesimis seluruh
manusia dari rahmat Tuhan dan telah menempatkan orang yang memiliki keutamaan
dan seorang pendosa dalam satu level.
Adapun
penilaian Ibnu Thufayl terhadap filosof lain seperti Ibnu Bajah, ia mengklaim
bahwa Ibnu Bajah bukanlah orang yang lebih cerdas dan lebih mempunyai pemikiran
cemerlang di banding dirinya. Adapun tentang Ibnu Sina , Ibnu Thufail telah di
buat kagum olehnya karena dengan ketajaman metode rasionalnya ia berhasil
melangkah dan memberikan karakter pada fase atau level uuli ashidq sekalipun ia
tetap menganggap Ibnu Sina bukanlah orang yang telah menceburkan diri, menghirup
dan merasakan manisnya fase tersebut.
Dari
sudut pandang ini dapat kita simpulkan bahwa Ibnu Thufail mempunyai pendapat
dan pemikiran yang mandiri dan tidak mengekor kepada Ibnu Sina dan ia menganggap
bahwa pencapaian Ibnu Sina hanya merupakan suatu fase dari fase-fase pengetahuan
yang bukan merupakan esensi pengetahuan. Adapun tentang Al-Ghazali Ibnu Thufail
berpendapat dengan pernyataannya “tak di ragukan lagi bahwa Syeikh Abu Hamid
(Al-Ghazali) termasuk orang yang telah merasakan puncak kebahagian dan telah
sampai kepada fase termulia dan kudus (fase ulu asshidq atau pengetahuan sejati
dalam konteks nilai pengetahuan).
Akan tetapi terlepas dari apresiasi Ibnu
Thufail terhadap Al-Ghazali kalau kita telaah dan bandingkan lebih jauh antara
pemikiran filsafat Ibnu Thufail dan Al-Ghazali akan kita dapati perbedaan yang
cukup mencolok terutama sikap mereka terhadap fase aksiomatik-rasional. Di satu
sisi Al-Ghazali menolak dengan tajam fase tersebut dan menganggap bahwa
penalaran rasio tidak dapat mengantarkan seseorang kepada hakekat dan
keyakinan, dan pernyataan Ibnu Thufail dalam roman filsafatnya terutama ketika
menggambarkan tentang fase pertama ( aksiomatik-rasional ) sangat kontra
produktif dengan pendapat Al-Ghazali tersebut karena di situ Ibnu Thufail masih
mengakui eksistensi penalaran rasio sebagai metode mencapai pengetahuan yang merupakan
fase pertama yang harus di lewati untuk mencapai pengetahuan sejati akan tetapi
lebih dari itu Ibnu Thufail masih mengakui Al-Ghazali sebagai orang yang telah
mencapai esensi pegetahuan yang luhur.
Demikianlah
Ibnu Thufail menunjukkan jalan untuk sampai pada pengetahuan yang Maha Tinggi
atau Tuhan. Jalan pertama melalui wahyu, dan jalan kedua melalui filsafat.
Makrifat melalui akal ditempuh dengan jalan keterbukaan, mengamati, meneliti,
mencari, mencoba, membandingkan, klasifikasi, generalisasi dan menyimpulkan.
Jadi makrifah adalah sesuatu yang dilatih mulai dari yang kongkrit hingga
ke-abstrak. Makrifah melalui agama terjadi melalui pemahaman wahyu dan memahami
segi batinnya, zauq. Hal ini hanya bisa dirasakan dan sulit untuk
dikatakan. Jadi tidak heran kalau muncul
syatahat dari mulut seorang sufi. Proses yang dilalui makrifat
semacam ini tidak mengikuti deduksi atau induksi, tetapi ia bersifat intuitif.
D.
Filsafat Islam
III ( Smester V )
28.
Al-Ghzali ( 1058-1112 M.)
Riwayat hidup dan karya
Al-Ghazali
lahir pada tahun 450 H/1058 M di Gazhaleh, suatu kota yang terletak di dekat
daerah Thusi, wilayah Khurasan (Iran),
Al-Ghazali berasal dari keluarga yang sangat sederhana dan ta’at
menjalankan agama. Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Namanya dalam
bahasa Latin dikenal dengan sebutan Algazel,dan sebutan inilah yang biasa
digunakan oleh orang-orang Barat (orientalis) terhadapnya.
Al-Ghazali
dikenal sebagai seorang filosof, teolog, ahli hukum, penganut madzhab Imam
Syafi’i, dan ahli tasawuf. Ia juga seorang tokoh sufi berpengaruh. Meskipun dia
dianggap sebagai tokoh sufi, namun bukan berarti dia tidak melakukan kritikan
terhadap sifat-sifat orang sufi yang melampui batas. Dia sangat kritis terhadap
orang-orang sufi yang mempercayai teori inkarnasi dan penyatuan diri dengan
Tuhan. Baginya, orang-orang seperti ini menjauhkan logika dan akal, serta tidak
mengontrol.
Sebagaimana
ulama pada masanya, kesungguhan al-Ghazali dalam hal ilmu telah terlihat
semenjak kecil. Di masa mudanya dia belajar di Nisyapur, juga di Khurasan. Dia
belajar fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Al-Radzakani Al-Thusi. Ketika berumur
25 tahun, Al-Ghazali berguru kepada Ali Nashr Al-Ismail, seorang ulama terkenal
di Thusi. Kemudian ia menjadi murid Imam al-Haramain al-Juwaini, guru besar di
Madrasah al-Nizamiah Nisyapur. Di antara mata pelajaran yang diberikan di
madrasah tersebut adalah teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme dan
ilmu kalam.
Dengan
perantara Imam al-Juwaini, al-Ghazali berkenalan dengan Nizam al-Mulk, perdana
menteri sultan Saljuk Maliksyah. Nizam al-Mulk adalah orang terkemuka di pemerintahan
dan pemimpin yang benar-benar memperhatikan ilmu. Ini dibuktikannya dengan
mendirikan beberapa sekolah di berbagai daerah untuk mendorong perkembangan
ilmu.
Kepandaian
al-Ghazali dalam berdebat dengan argumentasi yang kuat, telah menarik perhatian
Raja Nizam. Selain itu, karya-karya briliyan dan orisinalitas yang dibuatnya
pada masa itu semakin membuat kagum Raja Nizam, sehingga pada tahun 1091 M, dia
ditetapkan menjadi rektor pada Universitas Nizamiyyah di Bagdad. Saat itu
al-Ghazali berumur 33 tahun Di tempat inilah al-Ghazali mulai menulis berbagai
kitab. Melalui buku-buku yang ditulisnya itu, al-Ghazali mulai dikenal di
masyarakat luas.
Akan tetapi, ketika puncak kejayaan ada dalam dirinya, dia melepaskan
jabatannya sebagai rektor, setelah dipegangnya selama empat tahun Ia bermasalah dengan keraguan dalam
kepercayaannya pada pendapat-pendapat teologi tradisional (kalam) yang
diperolehnya dari al-Juwaini. Sebagaimana diketahui, di dalam ilmu kalam
terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Hal tersebut menimbulkan
pertanyaan dalam diri al-Ghazali; aliran manakah yang betul-betul benar di
antara berbagai aliran kalam itu. Selain itu, al-Ghazali juga menganggap bahwa
metode yang ditawarkan oleh kalam tidak cocok menjadi obat penawar keraguan
yang dideritanya.
Al-Ghazali menuturkan mereka (mutakallimin) mengandalkan premis-premis yang
mereka ambil alih dari lawan-lawan mereka (falasifah), yang kemudian terpaksa
mengakui mereka (falasifah) baik dengan penerimaan tak kritis (taqlid) atau pun
karena konsensus komunitas (ijma), atau pun dengan penerimaan sederhana yang
dijabarkan dari al-Quran dan Tradisi (hadits). Sebagian dari polemik mereka
ditujukan untuk membeberkan ketidak konsistenan lawan dan mencoba mengkritiknya
karena konsekuensi-konsekuensi yang secara logis kurang berbobot dari yang
mereka kemukakan. Tetapi, ini tidak banyak berguna bagi seseorang
yang tidak menerima apa-apa sama sekali apapun kecuali kebenaran-kebenaran
primer dan yang terbukti dengan sendirinya. Dengan demikian, dalam pandangan
saya, kalam tidaklah mencukupi dan bukan merupakan obat bagi penyakit yang
tengah saya derita.( Osman Bakar, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-Pikir
Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi, al-Ghazali dan Quthb al-Din
al-Syirazi, terj. Purwanto, Mizan, Bandung: 1993, cet. Ke-3, hal. 210).
Keraguan yang dialami al-Ghazali, hampir melumpuhkan fisiknya selama dua
bulan, sebagaimana yang ia kemukakan dalam riwayat hidup batinnya, al-Munqidz
min al-Dhalal. Untuk menghilangkan keraguannya, ia mengasingkan diri (uzlah),
mengungsi dan bermusafir selama sepuluh tahun di Syiria, Mesir serta kota-kota
suci Islam.Pada tahun 484 H, al-Ghazali pergi ke Makkah menyempurnakan rukun
Islamnya. Setelah
selesai mengerjakan haji, ia terus ke Damaskus, Bait al-Maqdis, dan Aleksandria
sambil mengajar di universitas-universitas yang ada di kota-kota tersebut.
Menurut Syaikh al-‘Aidarus, al-Ghazali tinggal di Syam (Damaskus) sekitar
dua tahun, beri’tikaf di Menara Masjid Umawi dan bertahanus di sana dengan
menutup pintu menara Masjid tersebut. Sementara di Bait al-Muqaddas, al-Ghazali tinggal
di Kuba al-Shakhra sambil menutup pintu tempat tinggalnya tersebut. Di tempat
ini, al-Ghazali tinggal selama 10 tahun dan menghasilkan berbagai kitab, salah
satunya adalah ihya ulum al-Din.
Setelah 10 tahun, ia muncul kembali di daerah asalnya pada tahun 1086, dan
menerima jabatan rector Nizamiyyah di Nishapur atas desakan anak Nizam al-Mulk,
Fakhr al-Mulk. Di tempat asalnya itu, ia kembali mengajar
selama tiga tahun dan menulis berbagai buku. Menurut Fazlur Rahman disini
al-Ghazali menulis salah satu karya besarnya tentang ilmu kedokteran,
al-Mustasfa.Namun, nampaknya Rahman salah mengidentifikasi karya al-Ghazali
ini. Al-Mustasfa memang merupakan karya al-Ghazali dan bisa dikatakan salah
satu karya terbesarnya. Akan tetapi, karyanya ini bukan membahas tentang
kedokteran. Para Ulama dan para akademisi yang menela'ah tentang al-Ghazali
beserta karya-karyanya, menyatakan/bersepakat bahwa al-Mustasfa adalah karya
al-Ghazali tentang Ushul Fiqih.( Lihat misalnya, Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushuul al-Fiqh, Dar al-Hadits, tk, 1423 H/2003 M, hal. 17. Prof. Dr. H.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid I, Logos, Jakarta, 2000, cet. II, hal. 40.
Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Ramadhani Sala, tk,
1982, cet. 2, hal. 154, Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam
Islam, Bumi Aksara, Jakarta: 1991, Cet. I, hal. 68 dan Prof. Muhammad Abu Zahrah,
Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma’shum et al, Pustaka Firdaus, Jakarta:
2007, cet. 10, hal. 19. Dalam buku tersebut, Abu Zahrah bahkan memasukkan kitab
al-Mustasfa tersebut sebagai salah satu dari tiga kitab termashur dalam
bidang ushul fiqih yang mewakili aliran teoritis murni).
Al-Ghazali
meninggal di usia yang ke-53 tahun, pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H.
Saat meninggalnya tersebut, menurut Osman Bakar, al-Ghazali sedang memperdalam
ilmu tentang tradisi. Menurut sumber lain, saat itu al-Ghazali sedang
memperlajari Shahih Bukhari dan Sunan Abu Dawud. Literature lain menyebutkan
al-Ghazali meninggal dengan memeluk kitab Shahih Bukhari. ( Ibn Taimiyah, Dar’u al-Ta’arudh al-Aql wa al-Naql;
Menghindari Pertentangan Akal dan Wahyu, terj. Munirul Abidi,
M.Ag, Kutub Minar Pustaka Zamzami, Malang; 2004M/1425 H, cet. I, hal. 124).
Informasi ini
sangat penting untuk dibahas, sebab bisa jadi al-Ghazali, sebagaimana masa-masa
sebelumnya, masih mencari jalan hakikat kebenaran. Bisa jadi al-Ghazali masih
belum puas dengan jalan sufistiknya. Dan pada akhirnya al-Ghazali kembali
kepada jalan yang ditempuh oleh para ulama salaf, atau dalam bahasa Ibrahim
Hilal, kembali kepada metode dan jalan para ulama hadits (Ahli Hadits).
Al-Ghazali memang sangat lemah dalam ilmu hadits. Ini bisa dilihat dari salah
satu karya besarnya Ihya Ulum al-Din. Seperti kata Ibn Taimiyah, dalam kitabnya
itu, al-Ghazali seringkali menggunakan hadits-hadits dhoif (lemah) dalam
mendukung teori tasawufnya ( Ibn
Taimiyah, Naqd al-Manthiq, hal. 54, dikutip oleh Afif Muhammad, Op,Cit,
hal. 28.)
Kritikan Ibn
Taimiyah memang benar adanya. Namun, di lain sisi, seba gaimana juga Ibn Taimiyah, kita juga harus bijak
bersikap terhadap al-Ghazali, sebab kemungkinan besar memang al-Ghazali pada
masa-masa sebelumnya tidak begitu intens bersentuhan dengan ilmu hadits. Hal
ini bisa dimengerti, karena faktor dan kebutuhana saat itu memang lebih kepada
teologi dan filsafat. Di akhir hayatnya itulah, beliau benar-benar ingin
mencurahkan hidupnya mempelajari dan mendalami ilmu hadits. Menariknya, kitab hadits
yang dipegangnya ketika meninggal adalah kitab Shahih Bukahri, sebuah kitab
yang di dalamnya tidak terdapat hadits dhoif. Kitab yang oleh para ulama hadits
disebut sebagai kitab besar yang nilainya (validitas/keshahihannya) paling
tinggi setelah al-Quran dan hadits. Kalau saja al-Ghazali diberi umur lebih, bisa
dibayangkan betapa khazanah keislamannya akan sangat luar biasa. Dia mungkin
akan menjadi ahli hadits yang mashur, dan menulis sebuah kitab mengenai ilmu
hadits.
Al-Ghazali
adalah pemikir paling hebat dan paling orisinil tidak saja dalam Islam, tapi
juga dalam sejarah intelektual manusia. Di mata para sarjana modern Muslim dan
non Muslim, al-Ghazali juga dianggap sebagai orang terpenting setelah Nabi
Muhammad ditinjau dari segi pengaruh dan peranannya dalam menata dan mengukuhkan
ajaran-ajaran keagamaan. Dr. Zwemer orientalis Inggris, pernah menempatkan
al-Ghazali menjadi salah satu dari empat orang pilihan pihak Islam dari mulai
zaman Rosulullah saw sampai kepada zaman sekarang. Empat orang itu adalah Nabi
Muhammad, Imam Bukhari, Al-Asy’ari, dan al-Ghazali. (Lihat Kata Pengantar
terjemahan Ihya Ulum al-Din, Jilid I, Faizan, Surabaya: 1966, hal. 5,
dan M. Natsir, Op,Cit, hal 175 ).
Karya-Karya
al-Ghazali
Hampir semua cabang ilmu yang berkembang pada masanya dipelajari secara
seksama oleh al-Ghazali, sehingga tidak mengherankan jika ia tumbuh berkembang
sebagai seorang ensiklopedis. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya karya
tulis yang dihasilkannya. Ia merupakan salah satu pemikir muslim abad
pertengahan yang paling produktif menulis karya, sehingga dalam usianya yang
relatif pendek, telah meninggalkan karya yang berlimpah yang menjadi bahan kajian
hingga sekarang.
Masalah lainnya
yang menjadi bahan penelitan terhadap karya al-Ghazali adalah adanya beberapa
kriteria yang ditentukan al-Ghazali sendiri dalam menulis karyanya. Al-Ghazali
menggunakan bahasa dan metode yang berbeda dalam menulis sebuah kitab
berdasarkan objek yang dihadapinya. Jika kitab itu ditulis untuk kalangan awam,
maka bahasa dan metodenya berbeda dengan kitab yang ditulis untuk kalangan khawas,
kalangan filosof, dan yang semisalnya.
Menurut Waryono
Abdul Ghafur, periodesasi kronologis penulisan karya al-Ghazali, secara garis
besar dibagi menjadi dua; periode Baghdad dan sebelumnya, serta periode pasca
Bagdad sampai meninggal. Karya tulis yang dihasilkan pada periode Baghdad dan sebelumnya
adalah; Mizan al-‘Amal, al-‘Iqtisad fi al-I’tiqad, Mahkan Naza
fi al-Manthiq, al-Musfazhiri fi al-Rad ‘ala al-Batiniyyah, Hujjat
al-Haq, Qawasim al-Batiniyyah, Jawab Mafsal al-Khilaf, al-Durj al-Marqum bi al-Jadawil,
Mi’yar al-‘Ilmi, Mi’yar al-‘Uqul, Maqasid al-Falasifah,Tahafut al-Falasifah,
al-Mankhul fi al-Ushul, al-Basit, al-Wasit, al-Wajiz, Khulasaf al-Mukhtasar,
Qawa’id al-Qawa’id, ‘Aqaid al-Sughra, Ma’khaz al-Khilaf, Lubnab al-Nazar,
Tahsin al-Ma’khadh, al-Mabadi wa al-Ghayat, Muqaddamat al-Qiyas, Shifa
al-Ghali/’Alil fi al-Qiyas wa al-Ta’wil, al-Lubab al-Muntakhal fi al-Jidal dan
Ithbat al-Nazar. Karya-karya tersebut meliputi bidang-bidang fiqh, ushul
Fiqh, teologi, logika, filsafat dan logika.
Adapun karya tulis yang dihasilkan periode pasca Baghdad sampai meninggal
adalah; al-Risalah al-Qudsiyyah, Ihya ‘Ulum al-Din, al-Rad al-Jami’ li
Ilahiyat Isa bi Sharih al-Injil, Kimiya al-Sa’adah, al-Maqasad al-Asna fi Asma’
Allah al-Husna, al-Madnun bihi ‘ala Ghair Ahlih, al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat
al-Muluk, Bidayat al-Hidayah, Mafsal al-Khilaf fi Usul al-Din, Jawahir
al-Quran, al-Arba’in fi Usul al-Din, Asrar al-Ittiba’ al-Sunnah, al-Qistas
al-Mustaqim, Asrar Mu’amalat al-Din, Faysal al-Tafriqah bayn al-Islam wa
al-Zanadiqah, al-Munqiz min al-Dhalal, Qanun al-Ta’wil, al-Risalah
al-Laduniyyah, al-Hikmah fi Makhluqat Allah, al-Mustasfa fi ‘ilmi al-Ushul,
al-‘Imla ‘an Mushkil al-Ihya, Ma’arij al-Quds, Misykat al-Anwar, al-Darurah
al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah, Mi’raj al-Saliqin, Tabliis Iblis, Ayyuha
al-Walad, Kitab al-Akhlaq al-Abrar wa al-Najah min al-Shar, al-Gayah al-Quswa,
Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam dan Minhaj al-‘Abidin .(Waryono Abdul
Ghafur, M.Ag,; Tela’ah Kritis Kitab Rad al-Jami’ Karya al-Ghazali,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2006, cet.1, hal.66-67)
Ada yang
menarik untuk dibahas mengenai karya al-Ghazali; “Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm
al-Kalam. Ibn Taimiyah, seperti dikutip Dr. Ibrahim Hilal, dengan tegas
menyatakan bahwa karya al-Ghazali ini merupakan bukti bahwa di akhir-akhir masa
hidupnya, al-Ghazali kembali memandang benar pemikiran Madzhab Salaf atau Ahli
Hadits, setelah beberapa lama beliau bergumul dengan cara pandang kaum filosof
dan kalangan sufi. Ibrahim Hilal sendiri mendukung kesimpulan Ibn Taimiyah
tersebut. Sedikitnya ada dua alasan mengapa Ibrahim Hilal mendukung hipotesa
Ibn Taimiyah. Pertama, dalam buku Iljam al-‘Awam, al-Ghazali menyebutkan
bahwa buku al-Maqshad al-Asna lebih dulu ditulis dari buku Iljam
al-‘Awam. Kedua, dalam buku Ihya Ulum al-Din, al-Ghazali tidak
pernah menyebutkan nama buku Iljam al-‘Awam, begitu juga dalam buku al-Munqidz
min al-Dhalal, dan buku-bukunya yang lainnya yang memaparkan secara
historis kehidupan sufinya. Padahal, menurut beberapa peneliti, jika al-Ghazali
telah menulis sebuah kitab, biasanya akan disebutkan dalam kitab-kitabnya yang
kemudian. Kalaulah Iljam al-‘Awam, ditulis pada masa fase awal atau pertengahan
kehidupan al-Ghazali, tentunya kitab tersebut akan disebutkan al-Ghazali dalam
Ihya atau al-Munqidh. Namun faktanya tidaklah demikian.
Dengan adanya
buku iljam al-‘Awam, Ibrahim Hilal kemudian membuat hipotesa mengenai
pola pikir al-Ghazali. Baginya, pola pikir al-Ghazali tersebut dapat dilihat
dari tiga kitab yang dikarangnya. Buku Maqashad al-‘Asna; Syarh Asma Allah
al-Husna yang merupakan gagasan pola pikir al-Ghazali yang bersifat
filosofis. Buku Ihya dan al-Munqidz merupakan gagasan pemikiran
al-Ghazali tentang metode penyingkapan dan tasawuf. Dan buku Iljam al-‘Awam
merupakan gagasan pemikiran al-Ghazali tentang pola pikir Mazhab Ulama Salaf. (
lihat Dr. Ibrahim Hilal, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat; Sebuah
Kritik Metodologis, terj. Ija Suntana dan E. Kusdian, Pustaka Hidayah, Bandung:
2002, cet. I, hal.103 ).
Dengan melihat alur pola pikir al-Ghazali di atas, Ibrahim Hilal bahkan
menyimpulkan bahwa al-Ghazali adalah seorang salaf dalam pola pikirnya. Untuk memperkuat
hipotesanya, Ibrahim Hilal mengutip pernyataan Brockelman: “Saya pernah menemukan
buku Iljam al-‘Awam dengan judul lain, yakni Risalah fi Madzhab
al-Salaf.”(Ibid, hal.104 )
Hipotesa di
atas bukan hanya karena ada pernyataan Brockelman, melainkan ada pernyataan
al-Ghazali yang memang mengindikasikan sebagai pengikut salaf. Dalam Iljam
al-‘Awam, al-Ghazali menuturkan: “Rasulullah
Shallalahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk yang paling mengetahui kemaslahatan
hamba Allah di dunia dan di akhirat. Beliau melimpahkan kepada manusia apa pun
yang diwahyukan kepadanya berkaitan dengan kemaslahatan hamba di dunia dan
akhirat. Beliau tidak pernah menyembunyikan sesuatu pun dari wahyu itu, karena
tugas utamanya sebagai utusan Allah adalah penyampai risalahNya. Dan di sinilah
letak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh
alam. Selanjutnya, para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah orang-orang yang paling mengetahui makna-makna sabda beliau dan yang
paling layak pemahamannya tentang eksistensi beliau, karena mereka selalu
menyaksikan wahyu dan senantiasa bersama dengannya (Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam) dalam setiap kesempatan. Bahkan, siang dan malam, mereka
selalu bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka
memiliki pemahaman yang benar, tidak menyembunyikannya, dan tidak mengkhianati
tugas penyampaian dan pelaksanaan risalah beliau.
Dari
dasar-dasar pemikiran-pemikiran ini, kita dapat mengetahui dengan pasti bahwa
apa yang mereka katakan adalah benar. Apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri pernah memberikan pujian bagi mereka; “Sebaik-baik masa adalah
masaku, kemudian masa berikutnya, kemudian masa berikutnya”. ….jalan hidup dan
pola pikir mereka adalah metode yang paling baik. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda; “Umatku akan terpecah ke dalam tujuh puluh lebih
golongan. Yang selamat hanya satu golongan.” Sahabat bertanya, “Siapa mereka?”
Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; “Mereka adalah Ahlus Sunnah wa
al-Jama’ah, yakni orang-orang yang memegang teguh apa yang kupegang dan juga
para sahabatku” ( Ibid, 102-103 )
Pemaparan al-Ghazali di atas mencerminkan pola pikirnya dalam fase terakhirnya. Al-Ghazali seperti halnya Ibn Taimiyah yang sering disebut sebagai penganut Madhab Salaf, mendasarkan pikirannya, bahwa Rasulullah adalah sumber kedua setelah al-Quran, kemudian para sahabat sebagai pemahaman yang paling baik dalam memahami al-Quran dan hadits Nabi, dan tentunya mereka yang mengikuti dan sesuai dengan pemahaman Nabi dan para sahabat.
Pemaparan al-Ghazali di atas mencerminkan pola pikirnya dalam fase terakhirnya. Al-Ghazali seperti halnya Ibn Taimiyah yang sering disebut sebagai penganut Madhab Salaf, mendasarkan pikirannya, bahwa Rasulullah adalah sumber kedua setelah al-Quran, kemudian para sahabat sebagai pemahaman yang paling baik dalam memahami al-Quran dan hadits Nabi, dan tentunya mereka yang mengikuti dan sesuai dengan pemahaman Nabi dan para sahabat.
29.
Kritik Ghazali terhadap filsafat dan filosof Yunani dan filosof Ibnu Sina dan Al-Farabi
(terutama ) dalam 20 masalah.
Seperti diketahui, sebelum melakukan kritiknya terhadap filsafat,
al-Ghazali terlebih dahulu mempelajari filsafat (baca: filsafat Yunani) secara khusus.
Hasilnya, dia mengelompokkan filsafat Yunani menjadi tiga aliran, yaitu: 1)
Dahriyyun (materialisme), 2) Thabi’iyyun
( naturalis), 3) Ilahiyyun ( Deisme). Menurut al-Ghazali, yang pertama, Dahriyyun,
mengingkari keterciptaan alam. Alama ada dengan dirinya sendiri, tak ada yang
menciptakan. Binatang tercipta dari sperma (nutfah) dan nutfah tercipta dari
bintang, begitu. Aliran ini disebut oleh
al-Ghazali sebagai kaum Zindik.
Aliran yang kedua, yaitu Thabi’iyyun, aliran yang banyak meneliti
dan mengagumi ciptaan Tuhan, mengakui adanya Tuhan tetapi justru mereka
berkesimpulan “tidak mungkin yang telah tiada kembali”. Menurutnya, jiwa itu
akan mati dan tidak akan kembali. Karena itu aliran ini mengingkari adanya
akhirat, pahala-surga, siksa-neraka, kiamat dan hisab. Menurut al-Ghazali,
meskipun aliran ini meng-imani Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tetapi juga temasuk
Zanadiqah karena mengingkari hari akhir yang juga menjadi pangkal iman.
Aliran yang ketiga, Ilahiyyun, ialah kelompok yang datang paling
kemudian diantara para filosof Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Socrates, Plato
(murid Socrates) dan Aristoteles (murid Plato). Menurut al-Ghazali,
Aristoteles-lah yang berhasil menyusuan logika (manthiq) dan ilmu pengetahuan.
Tetapi masih terdapat beberapa hal dari produk pemikirannya yang wajib
dikafirkan sebagaimana wajib mengkafirkan pemikiran bid’ah dari para filosof
Islam pengikutnya seperti Ibnu Sina dan al-Farabi.
Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat
Socrates, Plato, dan Aristoteles, bahkan juga filsafat Ibnu Sina dan al-Farabi
tidak sesuai dengan yang dicarinya, bahkan kacau (tahafut). Malahan ada yang
bertentangan dengan ajaran agama, hal yang membuat al-Ghazali mengkafirkan
sebagian pemikiran mereka itu.
Seperti tertulis dalam kitab Tahafut al-Falasifah, kritik
al-Ghazali terhadap para filosof itu terdapat dalam dua puluh (20) masalah
yaitu: kelompok Pendapat para Filosof berisi tentang: 1. Alam qadim (tidak
bermula); 2. Alama kekal (tidak berakhir); 3. Tuhan tidak mempunyai sifat; 4.
Tuhan tidak diberi sifat al-jins (jenis) dan al-fashl (diferensia); 5. Tuhan
tidak punya mahiyah (hakekat); 6. Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat (perincian
yang ada di alam); 7. Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan
kemauan; 8. Jiwa-jiwa planet mengetahui juz`iyyat; 9. Hukum alam tak berubah;
10. Jiwa manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan
‘ardh (accident); 11. Mustahilnya kehancuran jiwa manusia; 12. Tidak adanya
pembangkitan jasmani; 13. Gerak planet-planet punya tujuan.
Kelompok kedua adalah kelompok Ketidaksanggupan Para Filosof
membuktikan hal-hal berikut: 14. Bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam
adalah ciptaan Tuhan; 15. Adanya Tuhan; 16. Mustahilnya ada dua Tuhan; 17.
Bahwa Tuhan bukanlah tubuh; 18. Bahwa Tuhan mengetahui wujud lain; 19. Bahwa
Tuhan mengetahui esensinya; 20. Alam yang qadim mempunyai pencipta.
Menurut al-Ghazali, dari dua puluh masalah tersebut, tiga di
antaranya membawa kekufuran, sedang yang lain dekat dengan pendapat Muktazilah.
(lihat: al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 15-16). Dan Muktazilah, kata al-Ghazali
di tempat lain, karena mempunyai pendapat demikian tidak mesti dikafirkan.
30.
Ibnu
Rusyd ( 1126-1198 )
Riwayat hidup
dan karyanya
Ibnu
Rusyd bernama lengkap Abul Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Di
Barat, ia dikenal sebagai Averrous, lahir tahun 1126 Masehi di Cordova, Spanyol.
Keluarganya dikenal memberikan perhatian dan apresiasi besar pada ilmu pengetahuan
dan tergolong masyhur di kota Cordova.
Ibnu
Rusyd kecil menunjukkan kejeniusan yang luar biasa, sementara, ayah dan kakeknya
pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Bakat ini pula yang menurun
kepada Ibnu Rusyd, ketika ia diamanati menjabat sebagai qadi (hakim) di Sevilla
(Spanyol) dan sebagai qadi al-qudaad (hakim agung) di Cordova. Masa kecil Ibnu
Rusyd dihabiskan untuk belajar berbagai disiplin ilmu: Alquran, tafsir, hadits,
fiqih, serta mendalami ilmu-ilmu eksakta seperti matematika, astronomi, logika,
filsafat dan kedokteran.
Itulah
sebabnya, Ibnu Rusyd dikenal sebagai ahli berbagai ilmu pengetahuan. Sebagai
qadi al-qudaad, ia dekat dengan para amir (penguasa) Dinasti Al Muwahhidun yang
memerintah saat itu, khususnya dengan Abu Yusuf Yakqub al Mansur, amir dinasti
ketiga Muwahhidun.
Beberapa
kalangan ulama yang tidak suka dengannya, karena ajaran filsafatnya, berupaya
menyingkirkan Rusyd dengan cara memfitnah bahwa dia telah menyebar ajaran
filsafat yang menyimpang dari ajaran Islam. Atas tuduhan itu, Rusyd diasingkan
ke suatu tempat bernama Lucena.Tak hanya itu, karya-karyanya menyangkut
filsafat dibakar dan diharamkan mempelajarinya.
Sejak
saat itu, filsafat tak lagi mendapat tempat dan berkembang di dunia Islam.
Namun, beberapa tahun kemudian, amir Al Mansur memaafkan dan membebaskannya. Ia
lalu pergi ke Maroko dan menghabiskan sisa hidupnya di negeri tanduk Afrika UBuku-buku
yang dikarang oleh Ibnu Rusyd banyak sekali dari berbagai disiplin ilmu:
Filsafat, Kedokteran, Politik, Fikih, dan masalah-masalah agama. sebagian
karya-karyanya banyak yang hilang dan ada juga yang dibakar dikeranakan
beberapa sebab diantaranya. Pertama, tulisan-tulisannya yang asli bahasa arab
mengandung anti filsafat dan filosof. Kedua, di Timur ilmu dan filsafat mulai
dikurbankan demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis dan keagamaan, akibat
dari pertarungan antara kaum agamawan dan filosof mengakibatkan Ibnu Rusyd
mendapatkan celaan dan siksaan serta diusirnya dia dari tanah kelahirannya
sampai-sampai beliau dianggap sebagai mulhid. Latar belakang dari pertarungan
itu hanya untuk mendapatkan kekuasaan politik.
Makanya
para ahli sejarah berbeda pendapat akan jumlah buku-buku hasil karyanya. Namun
yang bisa diambil sebagai spirit perumusan dan pengembangan fikih emansipatoris,
adalah tiga bukunya Fashl al-Maqâl, al-Kashf `an Manâhij al-Adillah dan Tahâfut
al-Tahâfut (ditulis berturut-turut pada tahun 1178, 1179, dan 1180) merupakan
karya terpenting. Ketiga buku ini memuat pandangan kontroversial Ibnu Rusyd
yang pernah menggemparkan dunia Eropa pertengahan abad ke-13.
a. Kitâb Fash
al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî`ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl (terjemahan dalam
bahasa Indonesia terbitan Pustaka Firdaus, Jakarta, dengan judul Kaitan Filsafat
dengan Syariat) yang isinya menguraikan adanya keselarasan antara agama dan
akal karena keduanya adalah pemberian Tuhan.
b. Al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah fî `Aqâid
al-Millah (Menyingkap pelbagai Ma
tode Argumentasi Ideologi Agama-agama) yang menjelaskan secara terinci
masalah- masalah akidah yang dibahas
oleh para filsuf dan teolog Islam.
c. Tahâfut al-Tahâfut (Kerancuan dalam Kitab
Kerancuan karya al-Ghazâlî) yang kandungan
isinya membela kaum filsuf dari tuduhan kafir sebagaimana dilontarkan
al-Ghazali dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan --Filsafat-filsafat-
kaum Filosof)
d. Buku lainnya yang juga penting dalam bidang
hukum Islam/fiqh, adalah Bidâyah al-Mujtahid (permulaan bagi Mujtahid). Buku
ini merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, di mana di dalamnya
diuraikan pendapat Ibn Rusyd dengan mengemukakanpendapat-pendapatimam-imammazhab.
Antara karya besar pernah dihasilkan Ibnu Rusyd ialah
'Kulliyah fit-Thibb' yang mengandungi 16 jilid ilmu perubatan secara umum;
'Mabadil Falsafah' (Pengantar Ilmu Falsafah); 'Tafsir Urjuza' yang membicarakan
perubatan dan tauhid. Karya lain, 'Taslul' buku mengenai ilmu kalam; 'Kasyful
Adillah' yang mengungkap persoalan falsafah dan agama; dan 'Muwafaqatil Hikmah
Wal Syari'a' yang menyentuh persamaan antara falsafah dengan agama. Beliau
juga telah menulis sebuah buku mengenai muzik yang diberi judul "De Anima
Aristoteles" (Commentary on the Aristotle's De Animo).
Sebelum
meninggal dunia, beliau telah menghasilkan bukunya yang terkenal Al Taysir.
Buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Inggeris dengan
judul Faclititation of Treatment. Kematiannya merupakan kehilangan yang cukup
besar kepada kerajaan dan umat Islam di Sepanyol. Beliau tidak meninggalkan
sebarang harta benda melainkan ilmu dan tulisan dalam pelbagai bidang seperti
falsafah, perubatan, ilmu kalam, falak, fiqh, muzik, kaji bintang, tatabahasa,
dan nahu.Karya tulisan beliau membuktikan penguasaan Ibnu Rusyd dalam berbagai
bidang dan cabang ilmu sehingga usaha untuk menterjemahkan tulisannya dilakukan
ke dalam bahasa lain.
Buku
Kulliyah fit-Thibb diterjemahkan kendalam bahasa Latin pada 1255 oleh Bonacosa.
Buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul General
Rules ofnMedicine. Hasil pemikiran yang dimuatkan dalam tulisannya, terutama
dalam bidang-falsafah,mempengaruhi-ahlifalsafah-Barat.
Kontribusi-Rasionalisme-IbnRusyd-dalamSyari’ah
Salah
satu pandangan Ibnu Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang harmoni (perpaduan)
agama dan filsafat (al-ittishâl baina al-syarî`ah wa al-hikmah). Ibn Rushd memberikan
kesimpulan bahwa "filsafat adalah saudara sekandung dan sesusuan
agama". Dengan kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal;
filsafat dan agama; para nabi dan Aristoteles, karena mereka semua datang dari
asal yang sama. Ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan karakter filsafat
sebagai ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada "pengetahuan yang
lebih sempurna"(at-tâmmal-ma`rifah).
Mengenai hal ini dituangkan dalam buku kecilnya yang
berjudul Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî’ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl
(Kaitan filsafat dengan Syariat) ini menjelaskan tentang harmonitas antara `aql
(akal/nalar) dengan naql (tranferensi) mengenai metode (manhaj) dan tujuan
akhir (ghâyah) (Fasl al-Maqal,1968:58).
Menurutnya , belajar filsafat dan berfilsafat itu sendiri tidak dilarang dalam agama Islam, bahkan al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam berisi banyak ayat yang menghimbau agar mempelajari filsafat. Untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal serta filsafat dan teks al-Qur’an, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa teks al-Qur’an itu hendaknya diberi interpretasi sedemikian rupa atau dilakukan takwîl. Takwîl ini lah merupakan salah satu bahasan penting dalam buku kecil ini. Yang satunya lagi mengenai masalah tingkatan manusia dalam menerima pembuktian kebenaran sesuai dengan watak dasar dan kapasitasnya masing-masing).tara ini hingga wafatnya pada 1198 M.
Menurutnya , belajar filsafat dan berfilsafat itu sendiri tidak dilarang dalam agama Islam, bahkan al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam berisi banyak ayat yang menghimbau agar mempelajari filsafat. Untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal serta filsafat dan teks al-Qur’an, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa teks al-Qur’an itu hendaknya diberi interpretasi sedemikian rupa atau dilakukan takwîl. Takwîl ini lah merupakan salah satu bahasan penting dalam buku kecil ini. Yang satunya lagi mengenai masalah tingkatan manusia dalam menerima pembuktian kebenaran sesuai dengan watak dasar dan kapasitasnya masing-masing).tara ini hingga wafatnya pada 1198 M.
31.
Pemikiran
filsafat Ibnu Rusyd
Seperti diketahui, bahwa Ibnu Rusyd hidup
beberapa puluh tahun setelah al-Ghazali wafat (w. 505 H/ 1111 M). Dimasa
hidupnya, Al-Ghazali mendalami ilmu filsafat dan telah menulis buku sebagai
kesimpulan tentang kajiannya terhadap ajaran ilmu filsafat, yang terkenal
adalah bukunya tahafuth al-falasifah. Buku tersebut memang ditujukan
untuk melakukan serangan terhadap filsafat dan membuktikan kekeliruan para
filosof khususnya filsafat Al-Farabi dan
Ibnu Sina. Dalam kesimpulannya, al-Ghazali menetapkan 20 masalah sebagai bathil
dan pada akhir bukunya tiga masalah diantaranya adalah kafir, sehingga dari
sini ia mengkafirkan para filoso, Tiga masalahl tersebut adalah:
a.
Pendapat
filsuf bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past)
b.
Pendapat
filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (hal-hal yang juz’i/
individual/ partikular).
c.
Paham
filsuf yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
d.
Menurut Aziz Dahlan, itu berarti bahwa siapa
saja yang menganut salah satu dari tiga paham tersebut, menurut Al-Ghazali,
jatuh ke dalam kekafiran. Polarisasi dan kesimpulan ini
mampu mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam
terhadap filsafat dan filsuf. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan
penolakan umat pada ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap
ilmu-ilmu fisafat di dunia Islam.
e.
Tetapi, tentu tidak mudah bagi orang memahami
dialog-dialog dan bantahan-bantangan yang di tulis Al-Ghazali dalam rangka
memaparkan peliknya argumen dan materi kajian para filsuf, menurut yang
dipahaminya dan argumen-argumen untuk menjatuhkan argumen para filsuf. Itu saja
sudah cukup bukti kehujjahan dan pengaruh keilmuan Al-Ghazali pada pemahaman
keagamaan umat saat itu. Begitu pula pelik dan resikonya memberi bantahan dan
sanggahan terhadap serangan Al-Ghazali tersebut, seperti dilakukan Ibnu Rusyd.
f.
Dalam pada itu, Ibnu Rusyd melakukan tiga upaya
sekaligus yaitu membela filosof yang dikafirkan Al-Ghazali, melakukan
klarifikasi paham filsafat dan menyanggah paham Al-Ghazali. Pembelaan terhadap
para filosof dilakukan dengan merumuskan harmonisasi agama dan filsafat,
klarifikasi paham filsafat dilakukan dengan menguraikan maksud filsafat yang
sebenarnya tentang soal-soal yang dikafirkan dan sanggahan terhadap Al-Ghazali
dengan mengelaborasi “kesalahan” persepsinya.
32. Keselarasan
antara filsafat dan agama
Memulai
pendapatnya, Ibnu Rusyd mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah mempelajari
filsafat dan manthiq (logika) diperbolehkan menurut syara’, ataukah dilarang,
ataukah diperintahkan –baik sebagai perintah anjuran ataupun perintah wajib?.
Menurut Ibnu Rusyd, kegiatan filsafat tidak lain adalah mempelajari segala
wujud dan merenungkannya sebagai bukti adanya pencipta. Disisi lain, syara’
menurutnya telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang
ada. Disini ia ingin mengatakan bahwa menurut syara’,
pengertian demikian menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah perintah
wajib atau perintah anjuran.
Tetapi karena kegiatan mempelajari segala
sesuatu adalah dengan akal (lihat al-Hasyr: 2; al-A’raf: 185; al-An’am: 75;
al-Ghasiyah:17; Ali-Imran:191), yang berisi perintah tertulis untuk wajib dan
pelakunya adalah terhormat. Disini kias (perenungan dan penyimpulan sesuatu
pengertian yang tidak diketahui dari yang telah diketahui serta penarikan
pengertian baru dari padanya) dilakukan, menurut kias wajib melakukan penelitian
tentang segala yang ada menggunakan kias rasional. Artinya, syara’ menganjurkan
dan memerintahkan mencari metode yang paling sempurna dengan menggunakan cara
analogi yang paling sempurna pula, yang dinamakan burhan (demonstrasi).
Sementara metode burhan adalah metode filsafat. Maka menurut syara’
mempelajari filsafat adalah perintah yang bersifat wajib.
Menurut Ibnu Rusyd, karena syari’at ini benar
dan ia menyeru untuk mempelajari sesuatu kearah yang benar, maka pembahasan burhani
tidak akan membawa pertentan
gan dengan apa yang diajarkan oleh syara’.
Kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran yang lain, melainkan mencocoki
dan menjadi saksi atasnya. Maka jika dari penjelasan burhani tidak
disebutkan syari’at, berarti tidak ada pertentangan. Kalau syara’
menyebutkannya, jika berseuaian maka tidak ada persoalan. Tetapi jika berselisih
maka harus dilakukan takwil (interpretasi) yang mungkin sehingga sesuai dengan
pendapat akal.
33.
Tentang alam qadim
Tentang qadimnya alam atau dalam bahasa
filsafat azalinya alam, menurut Ibnu Rusyd itu hanya perselisihan mengenai
penamaan saja. Sebab kita bersepakat tentang adanya tiga wujud yaitu; pertama,
wujud yang terjadi dari sesuatu selain dirinya, dan oleh sesuatu yang lain
serta dari sesuatu bahan tertentu dan wujud ini didahului oleh waktu. Inilah
wujud benda-benda seperti air, tanah dst. Kedua, lawannya adalah wujud
yang adanya tidak berasal dari, maupun disebabkan oleh sesuatu yang lain serta
tidak pula didahului oleh waktu. Inilah wujud al-Qadim. Baik yang pertama
dan kedua tidak ada perbedaan antara umat, perbedaan itu pada wujud ketiga
yaitu, wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu serta tidak pula didahului
oleh waktu, tetapi terwujud oleh sesuatu, yakni oleh al-Qadim. Inilah
alam keseluruhan, perselisihan disini berkenaan dengan waktu yang lalu dan
wujud yang lalu. Plato berpendapat waktu dan wujud yang lalu adalah terbatas.
Aristoteles sebaliknya berpendapat bahwa waktu dan wujud yang lalu tidak
terbatas, sama halnya dengan waktu dan wujud mendatang. Wujud ini memiliki segi
persamaan dengan wujud muhdats dan wujud al-Qadim. Maka mereka
yang terkesan dengan persamaan wujud qadim akan menamakannya qadim
pula, begitu pun mereka yang terkesan dengan wujud muhdats akan
menamakan muhdats pula.
Makna – makna diatas menurut Ibnu Rusyd tidak
bertentangan dengan al-Quran, sebab tidak ada perselisihan dalam menempatkan
bahwa Allah adalah pencipta alam keseluruhan ini. Jadi menurut filsuf, qadimnya
alam tidak sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang
ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-‘adam),
adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada tidak bisa terjadi
sesutau, oleh karena itu materi asal alam ini mesti kadim.
Memperkuat pandangan ini, Ibnu Rusyd mengutip penjelasan al-Quran, surat Hud
ayat 7, yang makna lahiriah ayat mengatakan bahwa terdapat wujud sebelum wujud
ini, yaitu singgasana dan air. Begitu pula dikaitkan dengan bentuk wujud ini
yang berupa bilangan gerak falak (Ibrahim: 48). Maka disini Ibnu Rusyd
membuktikan paham qadim-nya alam tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran. Dalam
hal ini kaum teolog yang menyatakan alam diciptakan Tuhan dari tiada, justeru
tidak mempunyai dasar pijakan dalam ajaran al-Quran.
34. Tidak ada
kebangkitan jasmani
Menurut Ibnu
Rusyd, filosof mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka
berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan
dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun
yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini. Jadi para filosof tidak berpendapat seperti yang
dituduhkan Al-Ghazali bahwa filosof mengatakan kebangkitan hanya bersifat
rohani saja.
Sebaliknya,
menurut Ibnu Rusyd justeru Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, dalam tahafuth
al-falasifah dikatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan
di akhirat hanya bersifat rohani semata. Akan tetapi dalam bukunya yang lain,
Al-Ghazali ketika menjelaskan persoalan tasawuf/sufi yang akan dibangkitkan
diakhirat hanya rohani saja.
35. Tentang ilmu
Tuhan
Persoalannya adalah bagaimana Tuhan mengetahui
perkara-perkara juz’iyat * particular. Cara Tuhan berbeda dengan cara manusia mengetahuinya, pengetahuan
manusia kepada juz’iyat merupakan efek dari objek yang telah diketahui, yang
tercipta bersamaan dengan terciptanya objek tersebut serta berubah bersama
perubahannya. Sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan kebalikannya,
pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-Nya. Artinya, karena pengetahuan Tuhan bersifat qadim yakni
semenjak azali Tuhan mengetahui hal tersebut ( perkara juz’iyat ), bahkan sejak
sebelum berwujud seperti wujud saat ini.
Lebih dari itu, sebenarnya bukan hanya yang juz’i, tetapi juga yang
kulliyat Tuhan tidak mengetahuinya seperti pengetahuan manusia. Kulliyat adalah
juga efek dari sifat wujud ini, sedangkan pengetahuan Tuhan adalah kebalikan
dari itu. Maka secara burhani, ilmu Tuhan sesungguhnya mengatasi kualifikasi
yang kulliyat dan juz’iyat tersebut, sebab Tuhan yang mengadakannya.
Jadi, pengkafiran Al-Ghazali atas
filosof tidaklah definitif. Karena dalam bukunya “At-Tafriqah” bahwa
mengkafirkan orang lain karena telah melanggar ijma’ hanya mengandung sifat
tentatif belaka. Tapi ijma’ tidak mungkin terjadi dalam persoalan seperti ini,
persoalan demikian sangat pelik dan sepenuhnya bergantung pada kemampuan kias
rasional dan kemampuan burhani seseorang yang hanya bisa dilakukan oleh kaum rashikhun
fi ‘ilm. Karena demikian keadaannya, maka mustahil terjadi ijma’
yang meyeluruh dalam bidang takwil. Maka penilaian yang tepat adalah bahwa
orang-orang berselisih pendapat dalam persoalan yang pelik tersebut berhak mendapat
pahala jika mereka benar, tetapi bisa dimaafkan jika mereka salah, demikian
kata Ibnu Rusyd.
36.
Nashiruddin
Thusi
Riwayat hidup dan karyanya
Nama Nasiruddin
Thusi adalah Khawajah Nasir al-Din Abu Ja’far Muhammad. Beliau dilahirkan di
kota Thus 597/1201 M. Setelah menerima pendidikan dasar dia mempelajari fiqh,
ushul fiqh, hikmah dan kalam, terutama al-Isyaratnya Ibn Sina dari Mahdi Farid
al-Din Damat, dan matematika dari Muhammad Nasib di Nishapur, kemudian dia
pergi ke Baghdad untuk mempelajari ilmu pengobatan dan filsafat dari Qutb
al-Din, di Baghdad beliau memperdalam ilmu matematikanya dari Kamal ibn Yunus
dan fiqhnya dari Slim ibn Badrn.
Thusi mencapai
kemasyhuran ketika dia mampu membujuk Khulagu Khan untumembangun observatorium
yang terkenal di Marghah Azerbaijan pada tahun 658 H, yang dilengkapi dengan
alat-alat yang baik. Kemudian beliau menjadi direktur pada observatorium
Maraghah. Observatorium ini merupakan pusat penelitian yang tepat dari tiga
pusat penelitian sastra dan astronomi di Timur setelah Dar al-Hikmah di Baghdad
dan Baitul Hikmah di Kairo yang didirikan oleh dinasti Fatimiyah.
Observatorium
Maraghah lebih daripada sekedar tempat pengamatan astronomis. Sebuah institusi
ilmiah yang lengkap, tempat hampir setiap cabang ilmu diajarkan, dan melahirkan
sebagian besar ilmuwan paling terkenal pada periode abad pertengahan. Institusi
ini dilengkapi dengan perlengkapan astronomis terbaik. Disamping itu terdapat
juga perpustakaan besar. Menurut Ibn Syakir, perpustakaan itu mengoleksi lebih
dari 400.000 buah buku.
Thusi merupakan orang yang berwawasan luas di dalam berbagai disiplin ilmu,
buku akhlak Nasiruddin Thusi mengklasifikasi pengetahuan ke dalam spekulasi dan
praktek. Pengetahuan
spekulasi termasuk di dalamnya metafisika, dan matematika (optik, meteorologi,
botani, zologi dan psikologi). Dan yang kedua, pengetahuan praktis yang
termasuk di dalamnya etika, ekonomi, domestik dan politik. Dengan itu Thusi
dikenal sebagai seorang filosof sedangkan di Barat beliau dukenal sebagai seorang
astronom dan matematikawan.
Selain itu
Thusi juga merupakan seorang yang jenius dan kejeniusannya itu tersebar pada
kritik-kritikannya terhadap Ptolemeus yang tulisan-tulisannya banyak mengulas
berbagai hal, termasulk doktrin Ismailiyah ketika ia dinas pada kaum tersebut.
37.
Filsafat
metafisika Nashiruddin Thusi
Menurut Thusi
metafisika terdiri atas dua bagian, ilmu ketuhanan (ilmu ilahi) dan filsafat
pertama (falsafah ida). Pengetahuan tentang Tuhan, akal dan jiwa merupakan ilmu
pengetahuan ketuhanan, pengetahuan tentang alam semesta dan hal-hal yang
berhubungan alam semesta adalah filsafat pertama.
Bagi Thusi,
Tuhan tidak dibuktikan secara logis, exsistensi Tuhan harus diterima dan
dianggap sebagai postulat, bukannya dibuktikan. Karena mustahil bagi manusia
yang sangat terbatas untuk memahami Tuhan di dalam keseluruhannya, termasuk
pembuktian existensinya. Persoalan mengenai apakah dunia kekal (qadim) atau
diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan (hadis), merupakan masalah yang paling
membingungkan dalam filsafat muslim, Aristoteles berpendapat bahwa dunia ini
kekal menyifatkan gerakannya pada penciptaan tuhan, sang penggerak utama.
Thusi dalam
karyanya Tashawurat melakukan suatu upaya perujukan secara setengah hati
antara Aristoteles dan Ibn Maskawaih. Dia memulai dengan mengecam doktrin
creatio exnihilo, dengan mengatakan bahwa tuhan itu selamanya merupakan
pencipta yang mengakaitkan eksistensi penciptaan pada dirinya. Dengan kata lain
dunia ini merupakan suatu yang sama kekalnya dengan Tuhan. Di sini Thusi
menutup pembahasan ini dengan mengemukakan bahwa dunia ini kekal karena
kekuasaan tuhan yang menyempurnakan meski dalam hak dan kekuatan sendiri, ia
tercipta Muhadats.
Dalam karyanya yang belakanganm, Thusi meninggalkan sikap seraya mendukung
sepenuhnya doktrin creatio exnihilo dengan menggolongkan zat menjadi “yang
pasti” dan “yang mungkin”, dia mengemukakan bahwa existensi “yang mungkin”
bergantung pada “yang pasti”; dan karena ia maujud akibat sesuatu yang lain
darinya , maka tidak dapat dikatakan bahwa ia dalam keadaan maujud, sebab
penciptaan yang maujud itu tidak ada, maka begitu juga kemaujudan yang pasti
itu menciptakan yang mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam
itu disebut penciptaan dan hal yang ada itu disebut yang tercipta (muhadats).
Mengenai sumber
existensi Thusi berpendapat bahwa sumber existensi adalah satu, yaitu kehendak
Allah yang Maha Tinggi, yang disebut dengan “kalam”. Makhluk pertama yang
tercipta langsung dengan kehendak kreatif tersebut tanpa perantara apapun ialah
akal pertama. Semua makhluk lain terjadi dari kehendak ilahi dengan berbagai
perantara. Jadi, jiwa tercipta melalui akal dan hyle, alam dan benda lahir
tercipta melalui jiwa.
Pendapat
Thusi mengenai faskultas-fakultas jiwa cenderung kepada Ibnu Sina. Eksistensi
jiwa rasional menurut beliau tidak memerlukan bukti, karena ia adalah identitas
yang mewujud dengan dirinya sendiri, karena wujud rasional adalah essensi dan
realitasnya, yang mengetahui tanpa perantara apapun. Keterlepasannya dari organ
indrawi dibuktikan dengan fakta bahwa jiwa mengetahui dirinya dan mengetahui
bahwa ia mengetahui dirinya, sebaliknya organ inderawi seperti tubuh lain,
digunakan oleh jiwa sebagai instrument.
38.
Pemikiran At-Thusi tentang akhlak
Nasir al-Din
Abd Rahman, gubernur Ismailiyah dari Quhistan pernah meminta pada Nashir al-Din Thusi untuk menterjemahkan
kitab Thaharah (Tahzibul Akhlaq) dari bahasa Arab ke bahasa Parsi, namun Thusi
melihat pada karya Ibn Miskawaih terbatas pada moral, padahal yang penting
tidak disinggung. Tetapi pada muqaddimahnya Thusi dengan terus terang
mengemukakan niatnya membukukan rumusan etikanya sebagai persianisasi kitab Ibn
Miskawaih tersebut. Beliau menambahkan dalam buku tersebut persoalan-persoalan
manajemen rumah tangga dan politik.
Ada sedikit
perbedaan antara Ibn Miskawaih dengan penerusnya Thusi. Bila Ibn Miskawaih
lebih berkonsentrasi untuk mempopulerkan dan sistematisasi subjeknya, Thusi
membahas relasi antara etika dengan sains-sains filosofis lainnya. Thusi mendefinisikan
filsafat sebagai “ilmu tentang segala sesuatu sebagaimana adanya dan pemenuhan
fungsi seseorang sebagaimana harusnya, sesuai dengan kapasitasnya sehingga jiwa
manusia bisa sampai kepada kesempurnaan yang telah ditentukan”.
Pada pembahasan etika, Thusi mengatakan bahwa moral atau etika itu
bertujuan mendapatkan kebahagiaan, dan hal itu ditentukan oleh tempat dan
kedudukan manusia dalam evolusi kosmiknya serta diwujudkan lewat kesediannya
pada disiplin dan patuh. Jadi seorang bisa dikatakan beretika bila ia
siap disiplin dan komitmen pada peraturan yang berlaku. Selain daripada itu
beliau pula mengemukakan hal yang menyangkut penyakit moral seperti kebodohan,
kejahatan, kemarahan, kepengecutan dan ketakutan yang semuanya berasal dari
tiga: kekurangan, kelebihan dan ketidakwajaran akal.
Kebodohan
menurut Thusi adalah penyakit moral yang fatal, beliau membagi kebodohan
tersebut ke dalam tiga tingkatan. Pertama, kebingungan. Kebingungan disebabkan
jika untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan karena adanya dua bukti
dan dua argumen yang saling bertentangan, dalam hal ini Thusi menyarankan agar
orang yang bingung itu disadarkan bahwa tidak ada dua realitas yang berlawanan
terjadi pada satu kesempatan. Kedua, kebodohan sederhana. Jahal basit ini
terjadi karena kekurang tahuan manusia akan sesuatu hal. mengira bahwa ia
mengetahui, kebodohan ini merupakan suatu keadaan yang biasa dijadikan titik
tolak untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal bila manusia merasa
puas dengan keadaan begitu. Ketiga, jahal murakkab; kebodohan ini akibat
kekurang tahuan manusia akan satu hal akan tetapi dia merasa bahwa dirinya
mengetahui hal tersebut.
Mengenai kemarahan, Thusi menganggap bahwa kemarahan, kepengecutan dan
ketakutan adalah penyakit yang menonjol dari segi berlebihan.[5] Begitu pula
keberlebihan nafsu disebabkan oleh keberlebihan hasrat, sedangkan sifat sembrono
merupakan, akibat kekurangan, dan kesedihan serta cemburu itu merupakan ketidak
wajaran kekuatan. Thusi telah mendefinisikan cemburu sebagai
keinginan akan kebalikan nasib baik orang lain tanpa ingin memiliki nasib baik
tersebut pada dirinya. Hal itu mengikuti definisi yang dilontarkan al-Ghazali
yang membedakan antara cemburu dengan iri. Thusi menganggap masyarakat sebagai
latar belakang moral dari kehidupan, sebab manusia pada dasarnya merupakan
makhluk sosial dan kesempurnaannya terletak tindak tanduk dan patuh yang
menunjukkan sifat sosial pada sesamanya.
39.
Pemikiran
Politik Nashiruddin Thusi
Ide-ide politik Thusi sebagian besar mengambil
pemikiran al-Farabi. Bahasan beliau mengenai ilmu politik berupaya mencari
asosiasi yang tertib sebagai sebuah prakondisi kehidupan yang bahagia, yang ada
dalam bagian “domestik”. Tanpa asosiasi yang terdiri dari kerja sama yang
saling menguntungkan yang dikontrol oleh keanekaragaman kebutuhan, masyarakat
berperadaban tidak mungkin terwujud. Hal inilah yang dimaksud para filosof
bahwa manusia pada dasarnya ialah hewan politik.
Karena adanya
konflik aspirasi, kerakusan dan kegilaan kekuasaan yang memaksa seseorang
bertindak, maka satu model otoritas manajemen (tadbir) sangat essensial dan
merupakan akar organisasi politik. Jika disesuaikan dengan rule of wisdom manajemen
tersebut dinamakan pemerintahan Ilahi. Aristoteles membedakan tiga model pemerintahan:
monarki, tirani dan demokrasi. Thusi menganggap yang pertama sebagai bentuk
ideal mirip Plato, dia cenderung memilih aristokrasi atau pemerintahan orang
utama, dengan penambahan ide-ide syiah. Jadi rajanya diperintah oleh “Petunjuk
Ilahi”. Kedudukannya berada di bawah imam, atau pemimpin spiritual masyarakat,
yang didefinisikan Plato sebagai pemimpin dunia.
Tingkatan asosiasi menurut Thusi berantai dari
rumah tangga ke tingkat lokal, kemudian kota, bangsa dan seluruh dunia. Setiap
tingkatan pasti memiliki seorang ketua, yang tunduk kepada tingkatan yang lebih
tinggi, hingga mencapai “pemimpin dunia” atau yang dipertuan agung.
Akibat pentingnya asosiasi, menurut Thusi kehidupan menyendiri baik itu
pertapa, asketik, berlawanan dengan moral, yang tidak hanya terdiri dari
pematangan dari kesenangan manusia, tetapi hanya menghindarkan eksesnya dan ini
merupakan esensi keshalehan. Orang-orang yang dengan sengaja memutuskan diri
dari dunia kebersamaan tidak lebih baik dari pada objek tak bernyawa atau
mayat. Faktor yang mengikat manusia untuk bersama dan mematri mereka dalam
sebuah komunitas tunggal ialah ikatan cinta. Ikatan ini berdasarkan kesatuan
alamiah, dan lebih superior dibandingkan dengan keadilan, dan hanya jika cinta
hilang, maka kebutuhan akan keadilan muncul. Semua cinta itu dapat saja
mengalami perubahan dalam perjalanan waktu dan diwarnai ego dan keangkuhan. Hanya
cinta kepada Allah yang dimiliki oleh filosof sejati, yang bebas dari
kekurangan yang diberikan kepada hamba-hamba Allah yang terpilih.
E.
Filsafat
Islam IV
( Smester VI )
40.
Suhrawardi
al-Maqtul ( 1158-1191 M.)
Riwayat hidup dan karyanya
Suhrowardi
al- Maqtul, mempunyai nama lengkap, Abu
al-Futuh Yahya bin Habsy bin Amrak, bergelar Syihabuddin, dikenal pula sebagai
al-Hakim (Sang Bijak). Berasal dari Suhraward,
lahir pada 550 Hijriyah. Beliau meninggal dengan cara dibunuh di Halb
(Aleppo), atas perintah Shalahuddin al-Ayyubi, pada tahun 587 Hijriyyah, karena
peristiwa itu ia diberi gelar al-Maqtul (yang dibunuh). Ada Sufi lain yang mempunyai
nama hampir sama yaitu Abu Najib al-Suhrowardi (wafat 563 H) dan Abu
Hafsh Syihabuddin al-Suhrowardi al-Baghdadi (wafat 632 H), penyusun kitab Awarif
al-Ma’arif.
Suhrowardi
al- Maqtul pergi ke kota Miragha, di Azerbaijan, untuk berguru ilmu Fiqih
kepada Majduddin al-Jili, guru dari Fakhruddin al-Razi, dan belajar ilmu
logika di Isfahan kepada Ibnu Sahlanal-Sawi, penyusun kitab al-Basha’ir
al-Nashiriyyah. Ia pergi ke Halb belajar kepada al-Syafir
Iftikharuddin, di kota Halb ini lah ia menjadi terkenal dan dekat dengan
Pangeran al-Zhahir, putra dari Sholahuddin al-Ayyubi. Orang-orang yang dengki
mengirim surat kepada Sholahuddin al-Ayyubi yang menjadi penguasa di Halb, yang
berisi memperingatkan akan tersesatnya al-Zhahir seandainya terus berteman
dekat dengan Suhrowardi al- Maqtul. Maka Sholahuddin al-Ayyubi memerintahkan
untuk menggantung Suhrowardi. Penggantungan ini terjadi pada tahun 587 H di
Halb, ketika Suhrowardi baru berumur 38 tahun. Karya
Suhrowardi al- Maqtul, Hikmah al-Isyroq, al-Talwihat, Hayakil an-nur,
al-Muqomiwat, al-Muthoribat, al-Alwah al-’Imadiyyah, dan sebagian do’ a do’a. Diantara
karyanya itu Hikmah al-Isyroq lah yang paling
terkenal. Hikmah
al-Isyroq berisi tentang pendapat-pendapatnya tentang Isyraqi
(iluminatif) atau ilmu kasyf. Pada umumnya karyanya
cenderung bercorak simbolis dan begitu samar. Dalam Hikmah
al-Isyroq, dia berkata, “Apa yang kukemukakan ini tidak kuperoleh
lewat pemikiran, tapi kuperoleh lewat sumber lain (rasa). Dan aku pun segera
mencari argumentasinya. Jika argumentasinya itu telah benar-benar pasti, sedikit pun aku tidak ragu terhadapnya
sekali pun orang meragukannya.”
Al-Suhrowardi
memuji Abu Yazid al-Bustami dengan memberi gelar Sayyar Bustham, dan al-Hallaj diberi gelar Fata
al-Baidha. Ia juga mengagumi Abu al-Hassan al-Kharqani (meninggal
425 H).
41.
Theosofi
Suhrawardi
Pemikiran
teosofi Suhrawardi berujung pada konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyyah) yang
lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah Ishraqi sendiri
sebagai simbol geografis mengandung makna timur sebagai dunia cahaya. Sementara
mashriq yang berarti tempat matahari terbit merefleksikan sumber cahaya.
Sebelum
menawarkan konsep iluminasi, Suhrawardi pada mulanya mengikuti pola emanasi
yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh peripatetik, terutama al-Farabi dan Ibn
Sina, yang membagi arah pemikiran tiap akal yang dihasilkan ke dalam tiga
posisi : 1) posisi akal-akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, 2) sebagai
mumkin al-wujud lidhatihi, dan 3) sebagai mahiyah/zatnya sendiri. Akal pertama,
dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai wajib al-wujud lighairihi memunculkan
akal kedua, dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mumkin al-wujud lidhatihi
memunculkan jirm al-falak al-aqsa, dan dengan memikirkan dirinya sendiri
sebagai mahiyah menimbulkan nafs al-falak al-muharrik. Begitu seterusnya sampai
akal X sebagai al-‘Aql al-fa’al yang menyebabkan adanya alam.
Sebagai
pembanding dari teori emanasi di atas, Suhrawardi memformulasikan teori baru,
yakni teori iluminasi, yang sebenarnya merupa-kan koreksi atas pembatasan akal
sepuluh pada teori emanasi. Dalam teorinya ini Suhrawardi tampaknya keberatan
dengan adanya posisi akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, mumkin al-wujud
lidhatihi, dan mahiyah. Menurutnya, bagaimana mungkin dari satu akal
memunculkan falak-falak dan kawakib yang tak terhitung banyaknya? Dengan
menetapkan tiga posisi akal seperti yang disebutkan di atas, maka mustahil bagi
akal tertinggi memiliki persambungan dengan falak-falak dan kawakib yang sangat
banyak itu. Oleh karenanya, Suhrawardi menolak pembatasan akal hanya pada
jumlah sepuluh.
Selanjutnya
Suhrawardi mengganti istilah akal-akal dalam teori emanasi itu dengan istilah
cahaya-cahaya. Secara teknis proses iluminasi cahaya-cahaya tersebut dapat diilustrasikan
sebagai berikut :
Proses
iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur al-Anwar yang merupakan sumber dari
segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada
satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur al-Anwar ini hanya
memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur al-Aqrab. Selain Nur al-Aqrab tidak
ada lainnya yang muncul bersamaan dengan cahaya terdekat. Dari Nur al-Aqrab
(cahaya pertama) muncul cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga,
dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya
kelima, dari cahaya kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga
mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak. Pada setiap tingkat penyinaran
setiap cahaya menerima pancaran langsung dari Nur al-Anwar, dan tiap-tiap
cahaya dominator meneruskan cahayanya ke masing-masing cahaya yang berada di
bawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu menerima pancaran
dari Nur al-Anwar secara langsung dan pancaran dari semua cahaya yang berada di
atasnya sejumlah pancaran yang dimiliki oleh cahaya tersebut. Dengan demikian,
semakin bertambah ke bawah tingkat suatu cahaya maka semakin banyak pula ia
menerima pancaran.
Mengacu
pada proses penerimaan cahaya yang digambarkan di atas, maka dari proses
penyebaran cahaya menurut iluminasi Suhrawardi dapat diperoleh gambaran hasil
jumlah pancaran yang dimiliki oleh tiap-tiap cahaya. Cahaya I (Nur al-Aqrab) memperoleh
1 kali pancaran, cahaya II memperoleh 2 kali pancaran, cahaya III memperoleh 4
kali pancaran, cahaya IV memperoleh 8 kali pancara, cahaya V memperoleh 16 kali
pancaran, cahaya VI memperoleh 32 kali pancaran, cahaya, VII memperoleh 64 kali
pancaran, cahaya VIII memperoleh 128 kali pancaran, cahaya IX memperoleh 256
kali pancaran, dan cahaya X memperoleh 512 kali pancaran, begitu seterusnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap cahaya yang berada di bawah akan menerima
pancaran sebanyak dua kali jumlah pancaran yang dimiliki cahaya yang berada setingkat
di atasnya.
Sejalan
dengan teori emanasi, teori iluminasi ini juga membentuk susunan kosmologi yang
terpancar dari cahaya-cahaya pada tiap tingkatan. Susunan tersebut, dari cahaya
pertama sampai cahaya kesepuluh secara berturut-turut, adalah The great sphere
of diurnal motion, the sphere of fixed stars, the sphere of Saturn, the sphere
of Jupiter, the sphere of mars, the sphere of the sun, the sphere of venus, the
sphere of mercuri, the sphere of moon, the sphere of ether, dan the sphere of
zamharir yang dikenal sebagai ruang perbatasan dengan sfera bumi.
Memperhatikan
pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini mengingatkan kita kepada sebuah
firman Allah dalam Surat al-Nu>r ayat 35 berikut ini :
Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.Dalam konteks iluminasi Suhrawardi, posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan penjelmaan dari Nur al-Anwar yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan cahaya yang terpancar dari pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab sebagai cahaya yang pertama kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya cahaya yang terpancar dari Nur al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang kemudian menghasilkan banyak cahaya yang saling memancar dan menghasilkan cahaya lain. Dari proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya lahir.
Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.Dalam konteks iluminasi Suhrawardi, posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan penjelmaan dari Nur al-Anwar yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan cahaya yang terpancar dari pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab sebagai cahaya yang pertama kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya cahaya yang terpancar dari Nur al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang kemudian menghasilkan banyak cahaya yang saling memancar dan menghasilkan cahaya lain. Dari proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya lahir.
42.
Mulla
Shadra ( 1571-1640 M.)
Riwayat
hidup dan karyanya
Mulla Shadra adalah salah seorang filosof Islam yang paling
terkenal, yang dilahirkan pada abad ke-10 H Syamsiyah (abad 16 M) di Syiraz,
sebuah kota yang paling terkenal di Iran, di kawasan sekitar Persepolis (979
H.S./1571 M). Ia adalah anak tunggal dari salah satu bangsawan kota tersebut
(tampaknya pejabat menteri di provinsi Fars), bernama Ibrahim Qawami. Ia
dinamai Muhammad namun orang-orang memanggilnya Shadruddin atau shadra.
Belakangan, ia terkenal sebagai Mulla Shadra, dan bahkan digelari Shadr
al-Muta’alihin (gelar yang paling terkenal di kalangan filosof).
Selama masa pemerintahan dinasti Shafawi, Syiraz dianggap sebagai salah satu pusat ilmu dan filsafat terpenting di dunia. Kota ini pun merupakan pusat pelatihan bagi sebilangan ilmuwan besar selama dua abad lebih. Shadra muda amat berbakat sehingga mampu menyerap semua ilmu di zamannya dalam waktu relatif singkat. enam tahun setelah kelahiran Mulla Shadra, keluarga tersebut pindah ke kota Qazwin.
Kota tersebut telah berubah pesat menjadi sebuah pusat sains dan filsafat di era dinasti Shafawi. Ia menjadi tempat perkumpulan bagi para filosof masyhur, fakih, sastrawan, dan seniman. Sejak usia dini, Mulla Shadra –yang telah menguasai semua sains di zamannya selama kurang dari 20 tahun- bisa segera menjumpai dua guru terbaik di zamannya, yakni Syaikh Baha’i dan Mir Damad. Dua tokoh ini memiliki catatan brilian dalam sejarah dan dinilai sebagai dua pemikir dan tokoh politik yang paling istimewa di zaman mereka. Mulla Shadra meradukan pendidikannya di bawah tempaan kedua figur besar ini.
Di usia sekitar 30 tahun, ia telah menjadi filosof yang paling
mahir, yang menguasai utuh semua mazhab filsafat di zamannya termasuk aliran
Iluminasionisme, Peripatetisme, Teologi Islam, dan ’Irfan. Shadra pun telah
sampai pada senarai inferensi dan kesimpulan melalui kajian-kajiannya dan
mengembangkan ide-ide dan teori-teorinya sendiri, yang menjadi alasan mengapa
ia dinilai sebagai seorang filsuf paling terkemuka di dunia belakangan ini.
Mulla Shadra menunjukkan kepiawaiannya di Syiraz –yang masih dihitung sebagai pusat penting filsafat dan teologi- dan menarik sejumlah besar murid dan pengikut. Buntutnya, sejumlah sejawatnya mencemburuinya dan menjadikannya sebagai sasaran tindakan dan kata-kata mereka yang kurang baik dan ofensif. Melihat kondisi demikian, Mulla Shadra memutuskan meninggalkan kotanya dan menemukan tempat uzlah di desa Kahak di sekitar pusat agama, Qum.
Jiwa Shadra tersiksa dan terluka sehingga ia
menyerah untuk mengajar, menulis, dan mempelajari selama beberapa waktu dan
lebih mencurahkan diri pada ibadah dan praktik-praktik kezuhudan sebagaimana
telah dibiasakannya sejak usia muda. Tapi,
ini tidak berlangsung selamanya. Mimpi-mimpi dan intuisi-intuisi mistisnya
mengilhami Shadra untuk menyebarkan ide-idenya. Dari itu, ia kembali kepada
kehidupan sosial dan bergaul di tengah orang-orang lagi serta mulai mengajar
dan menulis buku-buku. Karya-karya terbaik dan terpentingnya digubah selama
masa ini. Pada dasawarsa akhir hidupnya, Mulla Shadra kembali ke Syiraz dan
mulai mengajar di sebuah sekolah yang secara khusus didirikan untuknya oleh
penguasa kota tersebut. Ia menulis sejumlah ulasan al-Quran dan hadits selama
periode itu.
Di tahun 1050 H/1648 M atau sebagian lain di
tahun 1045 H/1630 M, ia jatuh sakit dalam perjalanannya untuk berhaji di
Basrah, Irak dan akhirnya wafat. Ia
disemayamkan di kota suci Najaf, Irak, tempat makam Imam Ali berada. Sumbangan
filsafat Mulla Shadra sangatlah banyak, diantaranya karya filsafat yang paling berpengaruh
adalah Al-Masya‟ir (Keprihatinan),
Kasr Asnam Al-Jahiliyah (Menghancurkan Arca-arca Paganisme), dan “Empat Pengembaraan”
(Al-Asfar Al-Arba‟ah).
Lebih jauh ia berkata: “cahaya dunia Ilahi berkilat diatasku. . . dan dapat menyingkap segala rahasia yang tak pernah kuduga sebelumnya”.
Lebih jauh ia berkata: “cahaya dunia Ilahi berkilat diatasku. . . dan dapat menyingkap segala rahasia yang tak pernah kuduga sebelumnya”.
43.
Pemikiran
Mulla Shadra
Banyak kalangan yang beranggapan bahwa pasca al-Ghozali filsafat Islam
mengalami dekadensi dan penurunan, atau bahkan kematian. Namun, sebenarnya yang
yang terjadi bukanlah kematian filsafat Islam, hanya filsafat Islam di kalangan
Sunni, aliran terbesar pengikutnya, kurang mendapat perhatian. Sementara, di
kalangan syiah justru filsafat Islam mendapat perhatian dan menemukan jati dirinya
sebagai filsafat khas Islam, peripatetik. Tipe filsafat Islam yang khas ini,
dikenal dengan sebutan hikmah حكمة (Arab),
kemudian dalam bahasa barat diterjemahkan sebagai theosophia (Yunani) atau
theosophy (Inggris). Adalah Mulla Shadra, tokoh yang lahir pada masa itu.
Pengkajian pemikiran Mulla Shadra berarti salah satuupaya dalam menyangkal
tuduhan tersebut dan dalam rangka memberikan informasi yang sesungguhnya. Pemikiran
Mulla Shadra, terutama al-hikmah al-muta'aliyah-nya, ada beberapakajian:
Pertama, prinsip utama al-hikmah al-muta'aliyah merupakan sintesis Shadra dari iluminasi intelektual (isyraq) yang kemudian diderifasikan sebagai ‘irfan. Penalaran dan pembuktian rasional (‘aql, burhan atau istidlal) atau filsafat, serta agama dan wahyu (syar’) melalui kombinasketigahaltersebutterciptaal-hikmahal-muta'aliyah.
Kedua, sumber utama dari konsep al-hikmah al-muta'aliyah adalah tradisi Islam itu sendiri, al-Qur'an dan hadits. Sebagai penganut Syiah kuat, Shadra juga tidak meninggalkan tradisinya, yakni selalu mengikut pendapat Imam. Al-hikmah al-muta'aliyah juga dipengaruhi oleh fatwa para Imam Syiah. Selain itu, Ibn Sina, Suhrawardi dan Ibn ‘rabi juga mempengaruhi-pemikirannya.
Ketiga, Perbedaan al-hikmah al-muta'aliyah dengan filsafat Islam Klasik dan Pertengahan (Sunny dan Syi’ah) adalah Al-hikmah al-muta'aliyah muncul tidak hanya sebagai penyambung ide tradisi hellenik, namun kemunculannya lebih didasarkan pada al-Qur'an, as-sunah, dan tradisi pemikiran Islam sebelumnya, seperti kalam (baik Syi’ah maupun Sunny). Sementara filsafat Islam Klasik dan Tengah, selain hikmah Ilahiyah-nya Suhrawardi, hanya merupakan penyambung tradisi filsafat Yunani yang disinkretiskan dengan ajaran Islam. Sedang perbedaan antara al-hikmah al-muta'aliyah-nya Shadra dengan hikmah Ilahiyah-nya Suhrawardi hanya terletak pada sumbernya, Suhrawardi hanya menggunakan al-Qur'an dan hadits nabi, sedang Shadra selain al-Qur'an dan hadits juga menggunakan ucapan-ucapan imam Syi’ah. Selain itu, Shadra lebih berhasil dalam meletakkan rasionalitas terhadap pengetahuanyangmunculdarivisipiritual.
Keempat, pengaruh pemikiran Shadra terhadap filosof muslim sesudahnya sangat terlihat, seperti dalam pemikiran Thabattaba’i dan Murtadla Mutahhari. Tentunya, Shadra lebih memiliki peran di kalangan Syiah sendiri. Sementara, di kalangan Sunni Shadra tidak banyak dikenal.
Pertama, prinsip utama al-hikmah al-muta'aliyah merupakan sintesis Shadra dari iluminasi intelektual (isyraq) yang kemudian diderifasikan sebagai ‘irfan. Penalaran dan pembuktian rasional (‘aql, burhan atau istidlal) atau filsafat, serta agama dan wahyu (syar’) melalui kombinasketigahaltersebutterciptaal-hikmahal-muta'aliyah.
Kedua, sumber utama dari konsep al-hikmah al-muta'aliyah adalah tradisi Islam itu sendiri, al-Qur'an dan hadits. Sebagai penganut Syiah kuat, Shadra juga tidak meninggalkan tradisinya, yakni selalu mengikut pendapat Imam. Al-hikmah al-muta'aliyah juga dipengaruhi oleh fatwa para Imam Syiah. Selain itu, Ibn Sina, Suhrawardi dan Ibn ‘rabi juga mempengaruhi-pemikirannya.
Ketiga, Perbedaan al-hikmah al-muta'aliyah dengan filsafat Islam Klasik dan Pertengahan (Sunny dan Syi’ah) adalah Al-hikmah al-muta'aliyah muncul tidak hanya sebagai penyambung ide tradisi hellenik, namun kemunculannya lebih didasarkan pada al-Qur'an, as-sunah, dan tradisi pemikiran Islam sebelumnya, seperti kalam (baik Syi’ah maupun Sunny). Sementara filsafat Islam Klasik dan Tengah, selain hikmah Ilahiyah-nya Suhrawardi, hanya merupakan penyambung tradisi filsafat Yunani yang disinkretiskan dengan ajaran Islam. Sedang perbedaan antara al-hikmah al-muta'aliyah-nya Shadra dengan hikmah Ilahiyah-nya Suhrawardi hanya terletak pada sumbernya, Suhrawardi hanya menggunakan al-Qur'an dan hadits nabi, sedang Shadra selain al-Qur'an dan hadits juga menggunakan ucapan-ucapan imam Syi’ah. Selain itu, Shadra lebih berhasil dalam meletakkan rasionalitas terhadap pengetahuanyangmunculdarivisipiritual.
Keempat, pengaruh pemikiran Shadra terhadap filosof muslim sesudahnya sangat terlihat, seperti dalam pemikiran Thabattaba’i dan Murtadla Mutahhari. Tentunya, Shadra lebih memiliki peran di kalangan Syiah sendiri. Sementara, di kalangan Sunni Shadra tidak banyak dikenal.
44.
Muhammad Iqbal
Riwayat hidup
dan karyanya
Nama lengkapnya adalah Dr. Muhammad
Iqbal. Nenek moyangnya adalah
keturunan ningrat Kasymir. (Tim penyusun, Enseklopedi Islam, jilid 2,
Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993,hal. 235).
Mereka berasal dari kasta Brahma dan tentu awalnya mereka beragama Hindu . Ketika India
dikuasai oleh dinasti Mughal salah seorang di antara nenek moyangnya
masuk agama Islam di bawah bimbingan Syah Hamdi, seorang ulama dan tokoh Muslim India. Walaupun nenek moyangnya masuk
agama Islam tiga abad sebelum Iqbal lahir, namun ia merasa bangga sebagai seorang keturunan Brahma yang mampu memahami dan mengembangkan realitas dan rahasia kebesaran Islam. (Abdul Wahab, Azam, Iqbal,Fikratuhu wa
al-Falsafatuhu wa-Syi’ruhu, alih bahasa Rafi Usman, Bandung: Pustaka Salman, 1985,
hal.13).
Iqbal dilahirkan di Silikot suatu kota tua bersejarah di perbatasan
Punjab Barat dengan Kasymir. Mengenai tahun kelahirannya, terdapat perbedaan
pendapat, pertama pendapat yang
didukung oleh Miss Luce-Claude Maitre, Osman Raliby dan Bahrum Rangkuti yang
mengatakan bahwa Iqbal lahir tanggal 22 Pebruari 1873. (Lih. Miss Luce dan Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqba, Bandung: Mizan , 1996, hal. 13. Muhammad
Iqbal, “The Reconstruction”, op.cit., hal.
13. Dan Bahrum Rangkuti, dalam. Pengantar terjemahan Asrori Hudi, Jakata: R.R. Pribadi, 1976, hal. 107).
Sementara pendapat kedua
dikemukakan W.C. Smith yang mengatakan bahwa Iqbal lahir tahun 1876. (W.C. Smith, Modern Islam in India, New
Jersey: Princeton Univ. Press, 1957, hal. 16). Sedangkan
J. Mark dari Universitas Praha mengatakan bahwa Iqbal lahir pada tanggal 9
Nopember 1876. (Annemarie
Schimmel, “Gabriels Wing a Study in to the Religieus of Sir Muhammad Iqbal”, dalam. Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Islam, Jakarta:
Kalam Mulia, 1994, hal. 44).
Ayahnya bernama Muhammad Nur Ibn Muhammad Rafiq, seorang yang saleh
dan taqwa serta seorang sufi yang berdisiplin tinggi. Ibunya, Imam Bibi juga
terkenal sebagai wanita salehah. (Abdul
Wahab, ‘A Zam, op.cit., hal. 14).
Dari latar belakang keluarganya yang saleh dan taat kepada agama
inilah Iqbal berasal. Sejak kecil hingga remaja, Iqbal ditempa dan belajar di
bawah bimbingan ayah dan ibunya, kemudian setelah remaja ia dimasukkan ke suatu
maktab untuk belajar al-Qur’an.
Selanjutnya Iqbal memasuki Scottish
Mission School. Di sini ia berguru kepada Mirhasan, teman dekat ayahnya dan
ditempa dengan ilmu-ilmu agama serta persoalan teologi. ( Tim Penyusun
Ensiklopedi, op.cit., hal. 235).
Setelah menyelesaikan pendidikan di Silikot, Iqbal melanjutkan
studi ke Lahore. Di kota ini Ia memasuki Government
Collage hingga memperoleh gelar sarjana muda. Selanjutnya ia meneruskan
pendidikannya sampai ke program Magister dalam bidang filsafat. Ketika kuliah
di Program inilah Iqbal bertemu dan belajar dengan Sir Thomas Arnold. (Sir Thomas Arnold adalah seorang
Guru Besar bahasa Arab dan Falsafat di Universitas London, aligharh dan
Government Collage. Seorang Orientalis yang mempunyai perhatian positif
terhadap Islam). yang memberikan kuliah Filsafat Islam. (Abdul Wahab ‘Azam, op.cit., hal. 19).
Pada tahun 1905, dalam usia 35 tahun, Iqbal melanjutkan studi ke
Eropa. Ia memasuki Universitas Cambridge di Inggeris. Di sinilah ia belajar
filsafat dengan Prof. Mac. Toggart dan memperoleh gelar Doktor dalam bidang
filsafat moral, kemudian ia pergi ke Jerman dan belajar di Universitas Munich
di bawah bimbingan Prof. Hommel, sehingga menerima gelar Doktor setelah
mempertahankan disertasi yang berjudul The
Development of Methaphysics in Persia. Setelah itu Iqbal kembali ke London dan
mempelajari hukum hingga lulus ujian keadvokatan. Di samping itu Iqbal memasuki
School of Political Science. (Ibid.,
hal. 25. Juga. Ensiklopedi Islam, op.cit.,
hal. 236)
Dengan ini wajarlah ia muncul sebagai tokoh yang multi disiplin,
baik sebagai filosof, advokad, politikus dan penyair. Sebelum
kembali ke India, Iqbal banyak memberi ceramah bahkan sempat menjadi guru besar
dalam bahasa Arab di Universitas London. (Miss Luce Claude Maitre, op.cit., hal. 14). Selain itu ia
juga banyak menulis sajak mengenai agama Islam dan mengkritik kebudayaan Eropa. (Abdul Wahab ‘Azam, loc.cit.)
Pada tahun 1908 Iqbal kembali ke India dan disambut baik oleh para
sahabat dan kaum kerabatnya. Di kampung halamannya ini ia lebih intent sebagai
advokat. Namun tugas itu tidak menghalanginya untuk terus berkiprah sebagai
seorang pujangga, filosof dan ahli politik. Iqbal wafat pada tanggal 22 April
1938, (Ensiklopedi
Islam, op.cit., hal. 235). Banyak meninggalkan karya besar yang sangat berarti bagi perkembangan
Islam selanjutnya. Karya-karya itu antara lain The Development of Metafysic in Persia (London 1908), Asrar-i Khudi (Rahasia Pribadi, Lahore,
1915), Rumz-i Bekhudi Payami Masyriq (Pesan
dari Lahore,1923), The Reconstruction of
Religious Thought in Islam, ( London,1934), dan lain-lain.
45.
Pemikiran filsafat Iqbal
Iqbal
adalah seorang filosof. Telah banyak filsafat yang dilontarkannya,
tetapi pemikiran-pemikiran filsafatnya banyak perbedaannya dengan pemikiran
filosof zaman klasik seperti al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Mereka pada
umumnya mengembangkan filsafat Yunani kemudian mewarnainya dengan Islam.
Sedangkan Iqbal menentang sistem pemikiran filsafat Yunani tersebut, karena ia
menganggap filsafat Yunani tersebut meneggelamkan penglihatan para filosof
Muslim pada al-Qur’an. (Muhammad Iqbal, op.cit., hal. 34).
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa Socrates hanya
memusatkan perhatian pada dunia manusia semata. Baginya studi yang wajar bagi
manusia adalah manusia itu sendiri, bukan selain manusia. Padahal al-Qur’an
juga berbicara tentang tawon, yang merupakan seekor binatang yang juga menerima
ilham dan petunjuk dari Tuhan. (Ibid., hal. 34. Lih juga. Q.S. 16:68).
Iqbal juga mengkritik pemikiran Plato yang
mencemoohkan tanggapan indera. Menurut Plato, indera hanya memberikan opini
semata, bukan pengetahuan sebenarnya. Padahal pandangan dan pendengaran itu
merupakan anugerah Ilahi yang sangat berharga dan indera-indera bertanggung
jawab kepada Tuhan dalam setiap aktivitasnya di dunia. (Ibid., hal. 35. Lih juga. QS. 36:65).
Penolakannya terhadap filsafat Yunani,
berimplikasi pula pada kritikannya terhadap filosof Muslim yang banyak
mengambil pemikiran-pemikiran filsafatnya dari Yunani. Ibn Rusyd misalnya,
dianggap Iqbal sebagai telah kehilangan pandangan mengenai hal-hal yang
bermanfaat dalam Islam, serta secara tidak sadar telah membantu pertumbuhan
filsafat yang telah melemahkan dan mengaburkan pandangan manusia terhadap
dirinya, Tuhan dan dunia. (Ibid., hal.
35)
Barangkali yang dimaksud Iqbal adalah dampak
pemikiran Ibn Rusyd di Barat yaitu kecenderungan orang untuk menjadi sekuler dan
materialis. Namun hal itu kurang pantas dibebankan kepada Ibn Rusyd karena
terlepasnya semangat berpikir rasional dari poros agama adalah semata-mata
kesalahan ilmuan Eropa.
Dengan pola pemikiran di atas, terlihat bahwa
Iqbal menekankan pemikiran filsafat yang komprehensif. Artinya bila berbicara
masalah manusia, maka harus melibatkan segala sesuatu yang terkait dengannya
dan persoalannya, bukan hanya terfokus pada intuisi atau ide sehingga
mengabaikan indera sebagai jalan mencapai pengetahuan. Iqbal menginginkan
kajian yang lengkap dan utuh, yaitu antara satu dengan yang lain merupakan
suatu sistem yang tidak terpisahkan. Berdasarkan fenomena ini dapat ditegaskan
bahwa perbedaan yang mendasar antara Iqbal dengan filosof Yunani dan filosof
Muslim klasik adalah terletak pada paradigma mereka masing-masing.
Pemikiran filsafat Iqbal berangkat dari
al-Qur’an, sedangkan filosof Yunani berangkat dari rasio semata dan para
filosof Muslim klasik mewarnainya dengan makna Qur’ani. Tetapi pada akhirnya
ternyata pemikiran filsafat Iqbal lebih bersifat Qur’ani.
Kendatipun Iqbal telah banyak mengadakan
kritikan terhadap pemikiran filsafat Plato, namun menurut analisis Gulafsyan
terdapat empat butir kesesuaian antara Iqbal dengan Plato:
1. Keduanya
memiliki teori estetika yang sama.
2. Bagi
keduanya, peningkatan pribadi tergantung pada penerapan sifat ilahi.
3. Keduanya
menentang demokrasi yang hanya di kulit saja.
4. Teori
politiknya, keduanya memberi tempat penting kepada manusia super.
(M.M. Syarif, Iqbal Tentang Tuhan dan Keindahan, terj.
Yusuf Jamil, Bandung: Mizan,1984, hal. 55).
Mengkaji
sistem pemikiran Iqbal, sebenarnya cukup rumit karena pemikirannya itu
mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga gagasan-gagasan awalnya
mempunyai perbedaan yang cukup berarti dari gagasan yang ia lontakan pada
tahun-tahun kehidupannya. Pertentangan itu diakui oleh Iqbal sendiri seperti
yang dikuti oleh Mansur ahmad:
Saya tidak merasa malu untuk menakui bahwa cukup lama
saya menganut gagasan yang secara khusus dianut oleh para sufi, dan setelah
saya merenungkannya, saya menemukan bahwa gagasan tersebut sama sekali tidak
Islami. Misalnya konsep Ibn Arabi tentang keabadian jiwa sempurna atau
Panteisme atau konsep enam tingkat emanasi atau keyakinan-keyakinan lain yang
telah dinyatakan Abdul Karim al-Jilli dalam kitabnya al-Insân al-Kâmil. (M.
Iqbal, Metafisika Persia, terj.
Jeobar Ayub, Bandung: Mizan,1990, hal. 55).
Sehubungan
dengan kontradiksi pemikiran Iqbal ini, M.M. Syarif telah membagi perkembangan
pemikiran pada tiga periode: (M.M. Syarif, op.cit.,
hal. 28).
1. Periode
pertama, berlangsung dari tahun 1901 sampai 1908. Iqbal meyakini Tuhan sebagai
keindahan yang abadi. Dia menampakkan dirinya dalam segala sesuatu. Dia
mengatakan dirinya di langit, di matahari, bulan, bintang, bumi dan seterusnya.
Jadi, masa ini pemikiran Iqbal sejalan dengan konsep wahdat al-wujûd.
2. Periode
kedua, adalah bermula antara tahun 1908 sampai 1920. Pada masa ini terjadi
perubahan sikap Iqbal ke arah perbedaan yang ia tarik antara keindahan
sebagaimana tempat pada segala sesuatu, di satu pihak, dan cinta pada keindahan
di pihak lain. Filsafatnya yang muncul pada priode ini merupakan filsafat
pribadi ( Phylosophy of de the self
),
3. Priode
ketiga berlangsung dari tahun 1920 sampa 1938. Masa ini merupakan puncak
pemikiran Iqbal. M.M Syarif menyebutkan dengan bahasa kedewasaan. Pada priode
ini ditandai dengan munculnya filsafat perubahan.
Berikut
ini akan dikemukakan pemikiran filsafat Muhammad Iqbal sebagai berikut:
1. Filsafat Pribadi (Philosophy of the self)
Pada
tahun 1908 Iqbal menaruh simpati pada konsepsi keabadian pribadi. Hal ini
bermula ketika ia belajar pada Mac Taggart, ia melihat adanya suatu ciri yang sama
antara pluralisme-teistiknya Ward dan
posisi metafisisnya Rumi. Maka
melalui bimbingan seorang pemikir Timur kuno dan ditambah oleh beberapa pemikir
Eropa Modern, Iqbal mulai mengembangkan filsafatnya sendiri yakni filsafat pribadi.(Filsafatnya yang baru ini mejauhkannya dari filsafat Platonisme dan mistik panteisme).
Menurut
Iqbal, pribadi maujud (eksis), dalam
waktu melainkan waktulah yang merupakan dinamisme dari pribadi. Menurut Iqbal,
pribadi menuntut dari dirinya sendiri sesuatu yang bukan pribadi. Pribadi
adalah aksi yang seperti pedang merambah jalannya dengan menaklukkan kesulitan,
halangan dan tantangan. Waktu sebagai aksi adalah hidup dan hidup adalah
pribadi. Karena itu waktu, hidup dan pribadi, ketiganya dibandingkan dengan
pedang. Dunia yang terindera adalah ciptaan pribadi. Karena itu segala
keindahan alam merupakan bentukan hasrat-hasrat kita sendiri. Hasrat
menciptakan mereka, bukannya mereka yang mempunyai hasrat. Penciptaan sesuatu
yang bukan pribadi itu adalah rangka penyempurnaan pribadi itu sendiri. (Ibid., hal. 23).
Secara
jasmaniyah sebagaimana juga rohaniah manusia, adalah pusat yang mengandung
diri. Akan tetapi dia belum merupakan pribadi yang sempurna. Orang yang paling
dekat dengan Tuhan adalah orang yang paling sempurna, yaitu bukan dalam arti ia
diserap ke dalam Tuhan, tetapi ia menyerap Tuhan sendiri ke dalam egonya. (Miss Luce dan
Claude Maitre, op.cit., hal. 24).
Di sini kelihatan bahwa pemikiran Iqbal
berangkat dari al-Qur’an. Hal ini dapat dibandingkan dengan surat al-Tin,
misalnya gagasan-gagasan ini juga menggambarkan penolakannya terhadap khulul
dalam pemikiran tasauf.
Menurut Iqbal, dilihat dari segi kejiwaan, kepribadian
manusia itu adalah keadaan resah. Kelangsungan kepribadian adalah tergantung
pada keadaan ini. Apabila keadaan ini sirna, maka timbullah keadaan santai yang
membahayakan terhadap pribadinya. Dalam keadaan resah inilah terdapat
kesempurnaan manusia. (Abdul wahab ‘Azam, op.cit., hal. 52).
Iqbal menuntut pribadi bekerja keras dan
mengurangi suasana santai. Masalah ini dapat dilihat secara jelas dalam bait
syairnya berikut ini:
Janganlah
berkumpul dengan handai tolan di darat
Di sana
melodi kehidupan berjalan lambat
Terjunlah
ke tengah segera, lawanlah ombak gelombang
Keabadian
adalah kemenangan dalam perjuangan
Dengan
kerja keras membanting tulang
Kau
capai prestasi hebat yang jarang,
Walaupun
mungkin di sana terselip dosa
Ia akan
memberikan ganjarannya sendiri.
(Miss Luce
dan Claude Maitre, op.cit., hal. 26).
Tuhan
adalah pribadi mutlak dan ego tertinggi. Dia tidak lagi dianggap sebagai
keindahan luar. Tuhan dianggap sebagai kemauan abadi. Keindahan merupakan sifatnya yang mencakup nilai estetis dan nilai-nilai moral sekaligus. Di samping
itu keesaan menjadi tekanannya pula. Lebih lanjut Iqbal menjelaskan : “Tuhan
menyatakan dirinya bukan dalam dunia yang terinderai melainkan dalam pribadi
terbatas, dan karena itu usaha mendekatkan diri kepada-Nya hanya dimungkinkan
lewat pribadi. Dengan demikian mencari Tuhan bersifat kondisional
terhadap pencarian diri sendiri. (M.M.
Starif, op.cit., hal. 35).
Penulis melihat bahwa pemikiran Iqbal di atas merupakan buah dari makna ayat : “… wafî anfusikum afalâ tubshirûn”, (QS. Al-Zariyat ayat 21).
Yaitu Allah mendorong manusia untuk mengkaji dirinya sendiri yang cukup unik. Dari kajian itu muncul
pengetahuan tentang Tuhan dan selanjutnya dirasakan pula kebutuhan
yang sangat kuat kepadanya. Untuk itu manusia harus mencapai martabat
yang yang paling tinggi dalam rangka
mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Di sini
akan terjadi saling mendekatkan antara manusia dengan Tuhan. Tetapi setelah menemukan Tuhan, orang tidak boleh membiarkan
dirinya terserap ke dalam Tuhan dan
menjadi tiada. (M.M. Syarif, op.cit.,
hal. 36)
Di
sinilah Iqbal dengan lantang menolak teori fana
dan baqa Abu Yazid al-Bustami dan
al-Hallaj. Menurut Iqbal seharusnya manusialah
yang menyerap sebanyak mungkin sifat Tuhan kedalam dirinya.
2.
Filsafat Perubahan
Filsafat
perubahan ini muncul dan dikembangkan pada tahun 1920 hingga 1938, yaitu
tahun-tahun terakhir dari kehidupa Iqbal. M.M. Syarif menyebut masa ini dengan
masa kedewasaan.
Filsafatnya
ini menjelaskan bahwa Tuhan adalah hakikatnya sebagai suatu keseluruhan, dan
hakekat itu pada dasarnya bersifat spritual. Dia adalah Ego Mutlak, yaitu Dia
meliputi segalanya dan tidak ada sesuatu di luar Dia.
Ego
Mutlak itu tidaklah statis, tetapi dia merupakan jiwa kreatif yang bebas. Dia
tidak terbatas, baik dalam ruangan ataupun tidak. Dia terus bergerak dengan
kreatif tetapi gerak itu tidaklah berasal dari yang tidak bergerak, sebab gerak
gerak bersifat asli dan statis adalah hasil proses turunan. (Ibid.,
hal. 38).
Berangkat dari uaraian ini, dapat dijelaskan bahwa ego
tersebut berubah terus menerus dalam arti perubahan yang tidak serial yaitu
perubahan di luar lingkaran waktu dan tempat atau di luar perubahan terjadi
pada ego mutlak tidaklah dalam arti ketidaksempurnaan, tetapi dalam arti kreasi
yang terus menerus, karena dia tidak dikelilingi oleh selain Dia. Filsafat ini kelihatannya tidak menerima syllogisme, al-alam mutaghoyyir wa kullu
mutaghoyyir hadits, al-‘alam hadis.
Di dalam
filsafatnya ini Iqbal menggambarkan bahwa Tuhan serba Maha. Bahkan dalam
menyebut Tuhan sebagai ego yang terus berubah, ia maksudkan sebagai gambaran
bahwa Tuhan itu tidak statis, karena statis itu sendiri merupakan suatu
kekurangan. Pemikiran filsafat Iqbal mengenai Tuhan berangkat dari ayat-ayat
al-Qur’an yang betul-betul menggambarkan Tuhan serba Maha, seperti yang
terlihat dalam sifat-sifatNya pada al-asma
al-husna.
Pemikiran
Tasauf Iqbal
Memperbincangkan
masalah pemikiran tasauf Iqbal, sangat sulit dipisahkan dari pemikiran
filsafatnya terutama filsafat ketuhanan. Dengan
latar belakang keluarga seperti dipaparkan sebelumnya, serta kondisi India
ketika itu, Iqbal sangat menyukai tasauf. Ia menganggap para sufi sebagai pakar
ilmu jiwa di kalangan Muslim. (Abdul
Wahab ‘Azam, op.cit., hal. 5).
Kecintaannya terhadap tasauf terlihat dalam suratnya
kepada Hasan Nizhami, seperti yang diikuti oleh Abdul Wahab ‘Azam berikut ini:
Sesuai dengan sifat dan pendidikan saya, saya
cenderung pada tasauf. Filsafat Eropa membuat saya semakin cenderung kepadanya.
Sebab filsafat Eropa mengarah kepada Panteisme. Namun pengkajian terhadap
al-Qur’an yang mulia dan pentela’ahan terhadap sejarah Islam yang teliti
membuat saya menyadari kesalahan saya. Demi al-Qur’an, saya berpaling dari
pemikiran-pemikiran saya yang pertama, berusaha kepada kecenderungan saya yang
asal. Dan sayapun melepaskan diri dari
jalan para orang tua saya. (Ibid., hal.
57).
Isi surat Iqbal di atas tidak saja memberikan
gambaran mengenai kecintaannya kepada tasauf, tetapi sekaligus memberikan
informasi tentang corak pemikiran tasaufnya. Iqbal menolak atau tidak menerima
tasauf panteisme yang banyak berkembang di India. Penolakannya ini terlhat
jelas dalam filsafat pribadinya. Lebih tegas ia mengatakan bahwa panteisme itu
bertentangan dengan al-Qur’an.
Iqbal
membagi tasauf kepada dua macam yaitu tasauf Islam dan mistik asing. Wahdat al
wujud bukanlah bagian dari ajaran al-Qur’an, sebab al-Qur’an membedakan secara
tegas antara khaliq dengan makhluk. Selanjutnya Mansoer Ahmad mengkritik sistem
pemikiran tasauf Iqbal, karena ia menganggap Iqbal telah mengaburkan perbedaan
mistisisme sebagai jalan pensucian jiwa di satu sisi dan mistisisme sebagai
teori metafisika di sisi lain.
Masalah
Iman dan Akal
Seperti yang telah dipahami bahwa tulisan Iqbal
dalam The reconstruction of religious
thought in Islam, merupakan buku filsafat yang menjelaskan tentang usaha
mengembalikan bangunan filsafat Islam menjadi bangunan baru yang berpegang
kepada nilai-nilai filsafat Islam dan berlandaskan kepada perkembangan pengetahuan
manusia dalam berbagai segi.
Dalam buku tersebut Iqbal membahas tentang
pengetahuan yang di dapat melalui pengalaman inderawi dan pengetahuan yang
diperoleh melalui pengalaman agama atau ajaran sufi, kemudian membandingkannya. (Bustami Muhammad
Said, Mafhum Tajdiduddin, terj. Ibn Marjan,
Jakata: Wacana Lazuardi, 1995, hal. 150).
Jadi dapat dikatakan bahwa buku tersebut
merupakan buah usaha Iqbal untuk mendamaikan dua kutub yang sering
dipertentangkan dalam Islam yaitu agama dan filsafat.
Iqbal merupakan seorang pemikir filosofis Islam
yang hidup di abad modern. Ia adalah tokoh sintesis yang mendasarkan diri pada
watak spritual dan intelektual. Oleh karena itu ia menentang keras
intelektualisme dan akal sebagai sesuatu yang kosong, tetapi harus diisi dan
dipenuhi dengan iman. Hal ini terlihat dalam bait puisinya pada Bali-i
Jibri seperti yang dikutip Fazlur Rahman.
Iman
memberikan kekuatan kekuatan untuk melawan api seperti Ibrahim
Iman
adalah mabuk pemberian Tuhan yang berdaya guna sendiri
Dengarkan,
wahai peradaban modern yang pikun
Kurang
iman adalah lebih buruk dari perbudakan. (Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1984, hal 331).
Di sini terlihat bahwa menurut Iqbal iman itu
harus berjalan dengan akal, namun
penggunaannya dalam porsi yang berbeda. Artinya bila ditelaah dari
tulisan-tulisan Iqbal, kadang-kadang ditemukan ia memposisikan iman itu lebih
penting dari akal dan pada lain tempat ia menekankan akal, tergantung pada
konteks di mana ia berbicara dan jenis kelompok yang diajak berbicara.
Lebih lanjut Iqbal menawarkan tiga macam posisi
yang menguhubungkan antara iman dan akal:
a. Akal dan
iman itu berbeda arah
b.
Akal
lebih rendah kedudukannya dari iman
c.
Antara
iman dan akal terdapat hubungan organis yang saling membutuhkan.
(Ibid., hal. 331).
Kemudian mengenai surga dan neraka, Iqbal
mengatakan bahwa surga dan neraka itu merupakan suatu yang tidak bertempat.
Keduanya digambarkan secara inderawi di dalam al-Qur’an hanyalah merupakan
perkara kejiwaan, yaitu merupakan suatu sifat atau keadaan saja. (Busthami, loc.cit). Atau dengan lain surga dan neraka itu immaterial.
makasih... makalh yang kamu buat bermanfaat buat orang semua
BalasHapustrimakasih info nyaaaaa.. :)
BalasHapus