Minggu, 28 April 2013

Filsafat Islam UIN SUSKA RIAU


                                                                     FAKULTAS  USHULUDDIN

Mata Kuliah                     :  Filsafat Islam I,II,III dan IV
Jumlah  SKS                      : 8 SKS
Smester                            : 3,4,5 dan 6
Prodi/Jurusan                   : Aqidah dan Filsafa
Kelompok Mata Kuliah    : MKKP
Prasyarat                          : Lulus Filsafat Umum
Dosen                               : Drs. Saleh Nur, MA
Kosma                              : Abdul Rahman Sayuti

A.    Deskripsi  Mata Kuliah

Mata  kuliah ini merupakan komponen Mata Kuliah Keahlian Propesi  ( MKKP ) pada Program S1  Fakultas  Ushuluddin  Jurusan Aqidah dan Filsafat   Universitas Islam Negeri   Sultan Syarif
Kasim , Riau. Jumlah SKS keseluruhan adalah delapan SKS,  dilaksanakan  dalam empat  smester  dimulai pada smester tiga dengan rata-rata dua SKS persmester.  Setelah mengikuti  perkuliahan ini mahasiswa diharapkan dapat memperluas cakrawala berfikir dan mempunyai  kemampuan memahami  ajaran Islam secara komprehensif dan filosofis yang pada gilirannya terampil dan bijak menyampaikannya kepada masyarakat sesuai dengan perkembangan ilmu  pengetahuan dan tekhnologi.

Materi perkuliahan pembahasannya dimulai dengan memperkenalkan filsafat Islam kepada mahasiswa, faktor-faktor penyebab munculnya, kaitannya dengan filsafat Yunani, dengan   ilmu kalam dan tasawuf.  Kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang filosof Islam dibelahan dunia Islam bagian timur dan barat, dan terakhir adalah kajian filsafat Islam  pasca Ibnu Rusyd, Nashiruddin Thusi, Suhrawardi al-Maqtul, Mulla Shadra dan Muhammad Iqbal. Pembahasannya mencakup biografi, filsafat  dan hasil karyanya.

Pelaksanaan kuliah adalah dengan pendekatan ekspositori, kecerdasan dan kontektual yang dilengkapi dengan berbagai media yang ada.  Terakhir laporan buku dan makalah,  adalah untuk mengetahui  seberapa jauh penguasaan materi kuliah  pada tiap smester disamping evaluasi  ujian  tengah smester dan ujian smester.


Buku Sumber Utama :

Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Dr, Al-Falsafah al-Islamiyah, Dar al-Qalam, Kairo, 1962
Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi, Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyah, Maktabah al-           Qahirah al-Haditsah, Kairo, 1957
Al-Ghazali, Maqashidul Falasifah, Darul Ma’arif, Mishr, 1961
 Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Darul Ma’arif, Mishr, 1957
Abdur-Raziq, Musthafa, Tamhied li Tarikhil Falsafah al-Islamiyah, Lajnah Ta’lif wat-Tarjamah wan-Nasyr, Kairo, 1919
Ibrahim Madkor, Dr, Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhaj wa Tathbiequh, Darul Ma’arif, Mishr, 1968
Ibnu Rusyd, Tahafut ut-Tahafut, al-Halaby, Mishr, tt.
Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973
Harun Nasution, Theologi Islam, Universitas Indonesia, Jakarta, 1972
Nadim al-Jisr,Syech, Qishshatul Iman, Kisah Mencari Tuhan, alih bahasa  A.Hanafi, MA,  Bulan Bintang, Jakarta, 1970
Hossein Nasr, Seyyed, Science and Civilization in Islam, New American Library, New York, 1970
Vergilius Ferm, ed, A History of Philosophical Systems, Little Field, Adam & Co, New Jersey,1961

B.     Filsafat Islam  I   ( Smester  III )

1.      Pengertian filsafat Islam  :
Pemikiran yang lahir dalam lingkungan/biah Islam ( dunia Islam ) untuk menjawab tantangan zaman, yang membahas hubungan antara Allah dan alam semesta. Pembahasan ini meliputi antara hubungan antara wahyu dan akal, aqidah dan hikmah, agama dan filsafat.  ( Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah Maanhaj wa Tathbiequh, Darul Ma’arif, Mishr, 1968, hal.19)

Filsafat Islam adalah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari oleh ajaran Islam ( Ahmad Fuad al-Ahwani, Al-Falsafah al-Islamiyah, Dar al-Qalam, Kairo, 1962, hal.10 ).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafat Islam adalah hasil pemikiran  filosof muslim tentang masalah ketuhanan, kenabian, manusia  dan alam yang disinari oleh ajaran Islam.

Setidaknya ada tiga ciri pokok filsafat Islam :

Pertama, para filosof muslim mempunyai kesamaan dalam melihat kebenaran al-Qur’an, dan ajaran Islam sehari-hari. Tidak seorangpun dari para filosof yang berani meragukan al-Qur’an atau menyimpang dari ajaran pokok Islam – barangkali hanya Abu Bakar al-Razi, tetapi itupun masih diperdebatkan.  Kalaupun mereka harus berurusan dengan hal-hal  yang  sensitif – akibat tantangan filsafat Aristoteles maupun Neo Platonisme,  seperti masalah penciptaan waktu dan kebangkitan jasmani – mereka akan melakukan tafsir alegores ( ta’wil ).

Kedua, para filosof Islam percaya bahwa ada benang merah yang menghubungkan antara filsafat Yunani dengan Islam.  Misalnya al-Farabi mengatakan bahwa Plato dan Aristoteles telah mengatakan doktrin yang sama dengan al-Qur’an, walaupun dengan bahasa yang berbeda – tentang apa yang harus dicari dalam kehidupan yaitu tentang apa yang disebut  “kebenaran”, bahwa kebenaran berada dibalik yang lahiriah ini.

Ketiga, filsafat  Islam  seperti halnya filsafat Yunani bertujuan mendapatkan pengetahuan dalam rangka hikmah ( mendapatkan kearifan ). Dalam pandangan filsafat Yunani setiap pengetahuan berinduk pada metafisika. Filsafat Islam pun berinduk   pada metafisika Islam,  seperti kata Fazlur Rahman, bahan-bahan atau ide-ide filsafat Islam memang diambil dari filsafat Yunani, sehingga materi maupun isinya bersifat samasekali Yunani. Tetapi konstruksi aktualnya bermerk Islam, sepanjang batas-batas metefisika yang dimungkinkan.

2.      Tentang penamaan filsafat Arab atau filsafat Islam

Adapun dalam memberi nama terhadap filsafat yang lahir dan berkembang dalam dunia Islam, terutama di Timur Tengah ada dua pendapat :

Pertama, yang menamakannya dengan filsafat Arab beralasan bahwa filsafat ini muncul dan berkembang dizaman kejayaan bangsa Arab dan ditulis dalam bahasa Arab. Seperti Hana al-Fakhoury dan Dr. Khalil Jaar dalam bukunya Tarikh al-Falsafah al-‘Arabiyah,  Maurice De Wulf dalam bukunya Histoire de la Philosophie Mediavale,  dan Emile Brechier dalam bukunya Histoire de la Philosophie.

Kedua, yang menamakannya dengan filsafat Islam beralasan bahwa filsafat ini lahir dalam zaman kejayaan Islam dan dalam dunia Islam serta kebanyakan filosofnya  penganut Islam yang bukan orang Arab.  Mereka ini antara lain  Horten dalam Inseklopedi Islam,  De Boer dalam History of Philosophy in Islam,  Carra de Vaux dalam  Les Panseurs de L’Islam.  Begitu pula filosof Islam Ibnu Sina dalam Asy-Syifa, menyebutnya dengan al-Mutalasifah al-Islamiyah  dan Syahrastani dalam al-Milal wan-Nihal, menyebutnya dengan  al-falasifah al-Islamiyah. Kami lebih cendrung menyebutnya dengan Filsafat Islam karena filsafat tersebut lahir dan berkembang dalam dunia Islam dalam zaman kejayaan Islam dan dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan ajaran Islam. Tambahan lagi banyak ahli pikir Islam itu sudah menamakannya dengan filsafat Islam.

3.       Faktor-faktor pemicu munculnya filsafat Islam

Ali Sami Nasyar, dalam bukunya Nasy’atu al-Fikri al-Falsafi Fi-al-Islam, membagi factor
pemicu menjadi dua bagian ; eksternal dan internal. Faktor pertama lebih memiliki andil besar  dalam membidani lahirnya filsafat dalam Islam. Karena Islam tidak mendorong berdirinya aliran filsafat metafisika. Metafisika Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits. Metafisika dalam Islam adalah masalah tauqifiyyah, mengikuti dan mematuhi apa yang telah digariskan  al-Qur’an dan al-Hadits tidak boleh melampaui atau keluar dari keduanya,  karena itu akal tidak memiliki andil samasekali dalam masalah metafisika. Tetapi dengan munculnya metafisika dari kalangan ulama Islam, maka munculah para penafsir dan komentator metafisika. Mereka melakukan kegiatan besar dalam rangka mengokohkan metafisika al-Qur’an dan menjelaskannya.  Usaha-usaha yang dilakukan Mu’tazilah merupakan latar belakang yang menopang berdirinya pemikiran filsafat Islam. Filsafat Islam itu sendiri  merupakan suatu cara memberikan penjelasan tentang Islam secara rasional dan liberal – lebih dari kalam jelas bersifat keagamaan. Pada sisi lain, mereka menilai bahwa orang yang berkecimpung dalam masalah metafisika telah terjerumus kedalam jalan yang salah. Untuk itu lebih baik menjauhinya ( kaum salaf ). Namun perlu dicatat, meskipun mereka menolak aliran metafisika, mengingkari ilmu kalam, mereka sesungguhnya memiliki aliran kalam dan filsafat.

Diantaraaa factor ekternal lain adalah filsafat Yunani, tepatnya setelah terjadinya gerakan penerjemahan buku-buku Yunani kedalam bahasa Arab dimasa Al-Mansur khalifah Abbasiyah dan mencapai puncaknya dimasa Al-Makmun.

Perdebatan antara Islam dan Yahudi dan Islam dengan Nasrani dalam menjelaskan persoalan-persoalan prinsip kiranya juga ikut andil dalam melahirkan filsafat Islam.
Selain Yahudi, Nasrani dan filsafat Yunani, gnostisisme timur  ( Irak dan Iran ) aliran ini juga mencoba menghancurkan struktur Islam sejak Islam berhasil memporak porandakan kepercayaan dan ritual aliran ini. Aliran ini sangat menentang Islam sebagai agama tauhid, karenanya para pemikir muslim berupaya untuk mempertahankan dan menjelaskan hakikat-hakikat perbedaan dikalangan antar pemeluk agama dan aliran. Perbedaan-perbedaan itu telah mempunyai andil pula dalam kemunculan dan partum,buhan filsafat Islam.

4.       Hubungan filsafat Islam dengan ilmu ke-Islam-an lain

Hubungan filsafat Islam dengan ilmu kalam ;  Pada abad ke-6 Hijriah terjadi pembauran antara ilmu kalam dengan filsafat. Pembahasan  problema  ilmu kalam adalah dengan menekankan pada penggunaan semantic ( logika ) Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode yang ditempuh para filosof. Kendatipun  ilmu kalam tetap menjadikan nash-nash agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam kenyataannya penggunaan dalil dalil  aqli yang tampak pada perbincangan mutakallimin. Atas dasar itu sejumlah pakar  memasukan ilmu kalam dalam lingkup filsafat Islam.

Hubungan filsafat Islam dengan tasawuf ;  Tasawuf  adalah ilmu yang mempelajari  cara dan bagaimana seorang muslim berada sedekat mungkin dengan Allah. Ada tasawuf amali dan ada pula tasawuf falsafi. Melihat kepada pembagian ini, menggambarkan adanya unsur-unsur filsafat dalam ajaran tasawuf. Hal ini akan lebih jelas lagi terlihat ketika pendekatan rasional digunakan dalam menjelaskan maqamat ( al-fana, baqa, ittihad, hulul, wihdat al-wujud  dsb )
Hubungan filsafat Islam dengan ilmu fiqih ;  Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an                           berkenaan dengan hukum diperlukan ijtihad, yaitu upaya menggunakan akal  dan prinsip kelogisan  untuk mengeluarkan  ketentuan-ketentuan hukum dari sumbernya. Syekh Mustafa Abdur-Raziq dalam bukunya  Tamhied li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, menjelaskan bahwa ilmu ushul fiqh sepenuhnya diciptakan dan diletakkan dasar-dasarnya  oleh Asy-Syafi’ie, tentu akan dapat dilihat dengan jelas adanya berbagai gejala pemikiran filsafat.
5.      Al-Kindi  ( 185.H/801.M-257.H/873.M )
Riwayat hidup dan karyanya
Al-Kindi adalah salah satu dari 12 pemikir terbesar di abad pertengaahan , kata sarjana Italia era renaissance, Geralomo Cardano ( 1501-1575 ). Di mata sejarawan Ibnu Nadim, al-Kindi merupakan manusia terbaik pada zamannya. Ia menguasai beragam  ilmu pengetahuan. Nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak bin Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin Al-Asy’ats bin Qais Al-Kindi. Keluarganya berasal dari suku Kindah – salah satu suku Arab yang besar di Yaman. Ayahnya bernama Ibnu As-Sabah, pernah menduduki jabatan sebagai Gubernur Kufah dimasa pemerintahan Al-Mahdi (775-785 ) dan Harun Al-Rasyid ( 786-809 ). Kakeknya Asy’ats bin Qais dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw.

Pendidikan dasar ditempuh Al-Kindi ditanah kelahirannya. Kemudian dia melanjutkan pendidikan di Baghdad. Ia menguasai tiga bahasa Yunani, Suryani  dan Arab, suatu kelebihan yang jarang dimiliki orang pada masa itu. Al-Kindi hidup dimasa kejayaan Dinasti Abasiyah di Baghdad. Sejak Khalifah Al-Amin (  809-813 ), Al-Ma’mun ( 813-833 ), Al-Mu’tasim, Al-Wasiq ( 842-847 ) dan Mutawakkil ( 847-861 ). Berkat kemahirannya dalam berbagai bidang ilmu dan bahasa dia diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan.  Namun setelah pemerintahan Al-Mu’tasim berakhir dan ketika Khalifah Al-Mutawakkil tak lagi menggunakan paham Mu’tazilah ebagai mazhab resmi kerajaan Al-Kindi tersingkir, dan ia dipecat dari jabatan yang pernah ia pegang.

Al-Kindi melahirkan banyak karya dalam berbagai bidang ilmu seperti filsafat, logika, ilmu hitung, music, astronomi, medis,  astrologi, psikologi, politik dan meteorology. Bukunya yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul, filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul, logika sebanyak sembilan judul  dan fisika 12 judul. Sejarawan Felix Klein-Franke, menduga bahwa lenyapnya  sejumlah karya Al-Kindi akibat dimusnanhkan rezim Mutawakkil yang tak senang dengan paham Mu’tazilah. Tetapi juga bisa jadi akibat serangan Bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulago Khan yang membumi hanguskan kota Baghdad dan Baitulhikmah ( semacam perpustakaan ) kala itu.

6.      Filsafat Ketuhanan al-Kindi

a.       Baharunya alam/alam tidak qadim

Al-Kindi  menjelajah hampir seluruh bidang filsafat Yunani, meliputi ontology, epistemology dan axiology. Dalam masalah ketuhanan, dimulainya dengan mematahkan teori Aristoteles  tentang alam qadim. Menurut Aristoteles bahwa alam ini  tidak mempunyai awal  dan ada sejak dulunya ( qadim ). Penjelasan  Al-Kindi, alam terdiri dari tiga unsur yaitu jisim ( benda/fisik/materi ), zaman dan harakah ( gerak ). Ketiga unsur  ini adalah mutanahi  ( mempunyai awal dan berkesudahan ). Alam ini kata Al-Kindi tidak terlepas dari ketiga unsur ini, setiap jisim bergerak dan setiap gerak menimbulkan zaman atau masa. Jadi bila ada jisim sudah tentu ada gerak dan bila ada gerak berarti dilmulailah adanya zaman, masa atau waktu.  Zaman terjadi karena perulangan gerak/harakah, bila ada gerak ada zaman jika tidak ada gerak tidak ada zaman atau masa. Benda tidak mungkin mendahului  gerak  dan gerak sejalan dengan masa. Jadi salah satu diantara yang tiga itu tak mungkin terdahulu dari yang lain. Jadi jisim, gerak dan zaman adalah baharu.  Pemikiran inilah yang merupakan focus dan landasan dasar pembahasan pembuktian bahwa alam ini baharu, dan bila sudah dapat dibuktikan alam ini baharu, pastilah ada al-muhdits,  penciptanya.

b.      Dalil-dalil adanya Tuhan

Setelah terbukti bahwa alam itu baharu, tentu sudah pasti ada yang menciptakannya. Menurut Al-Kindi, Tuhan menciptakan alam  dari tiada menjadi ada. Dan ini hanya semata-mata perbuatan Tuhan. Dia-lah akhir dari segala sebab. Dalam membuktikan wujud Tuhan Al-Kindi  sejalan dengan mutakallimun ( para ahli kalam )

Disamping ia juga menggunakan ayat-ayat al-Qur’an yang menyuruh untuk memperhatikan kejadian alam serta peristiwa peristiwa yang terjadi pada alam tersebut, seperti keaneka ragaman dan kerapian ciptaannya.

c.       Sifat-sifat Tuhan

Dalam hal sifat Tuhan Al-Kindi sejalan dengan  paham Mu’tazilah, Ke-esa-an adalah sifat yang paling utama, tak tersusun dari yang lain. Tuhan bukan genus dan bukan Species. Tuhan hanya satu, tidak ada yang serupa dengannya , Tuhan itu unik, Ia Esa dan daripada-Nya mengandung arti banyak.

7.      Keselarasan antara filsafat dan agama

Al-Kindi berusaha memadukan antara filsafat dengan agama. Filsafat berdasarkan akal pikiran adalah pengetahuan yang benar ( khowledge of truth ) dan aQur’an yang membawa argument-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak  mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidaklah dilarang bahkan menjadi suatu keharusan. Bertemunya filsafat dan agama dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan keduanya.

8.      Filsafat Jiwa

Menurut Al-Kindi, roh itu tidak tersusun  mempunyai arti penting,s empurna dan mulia. Substansi roh berasal dari Tuhan. Hubungan roh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Jiwa bersifat Spiritual, Ilahiah, terpisah dan berbeda dari badan. Jiwa lain dari badan ia mempunyai wujud sendiri. Keadaan badan mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah, sementara roh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah.

9.      Al-Razy  ( 864-926 M )
Riwayat hidup dan karyanya

Abu Bakar Muhammad bin Zakaria A-Razy,  disamping terkenal  sebagai seorang filosof, ia juga seorang dokter dan ahli kimia yang kenamaan. Al-Razy dilahirkan pada tahun 250 H./864 M. di Ray dekat Teheran dan meninggal tahun 322 H/926 M.  Selain Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Al-Razy, masih ada tiga orang  yang senama dengannya, Ahmad bin Muhammad Al-Razy ( 878-955 M ), Isa bin Muhammad Al-Razy dan Fakhruddin Al-Razy. ( Shorter Encyclopaedia of Islam, p.470 )

Karya Al-Razy meliputi berbagai bidang disiplin ilmu antara lain ; Al-Hawy, berisikan Encyclopedi ilmu kedokteran, Al-Judary, berisikan pembahasan tentang penyakit cacar dan tentang filsafat ditemukan dalam buku  Rasaa-il Al-Razy al-Falsafiyah,  Al-Thibb al-Rohany,  Al-Sierah al-Falsafiyah dan  Maqalat fie ma Ba’da al-Thabi’ah

10.  Al-Razy, filsafat lima yang kekal

Pembahasan dalam masalah ketuhanan dalam filsafat Al-Razy, adalah pendapatnya tentang  adanya lima yang kekal , sbb :

a.       Al-Baary Ta’ala, Allah Ta’ala
b.      Al-Nafs al-Kulliyah, jiwa universal
c.       Al-Hoyouli al-Oula, materi pertama
d.      Al-Makaan al-Muthlaq, tempat absolute
e.       Al-Zaman al-Mutlaq, masa absolute
Menurut Al-Razy bahwa teori alam qadim adalaah sebagai akibat pasti dari filsafat adanya Tuhan, yang merupakan Al-Mabda’ al-Wahid al-Tsabit ( Basis Yang Esa Yang Tetap ). Meskipun dia menyatakan adanya lima yang qadim, tetapi dia membedakan antara qadimnya Allah dengan qadimnya  al-Hoyouli al-Oula ( materi pertama ). Menurut Al-Razy  tidak mungkin menafsirkan atau menjelaskaan penciptaan berdasarkan masa kecuali berbilangnya sifat yang qadim tersebut.
Adapun jiwa universal adalah merupakan  al-Mabda’ al-Qadiem al-Tsaniy, ( basis qadim yang kedua ). Disini terdapat daya hidup/kehudupan, tapi sulit diketahui karena tanpa rupa. Tetap karena ia dikuasai oleh naluri untuk bersatu dengan materi pertama, maka terjadilah pada zatnya form  ( bentuk/rupa ) yang dapat menerima  fisik, tetapi materi pertama sendiri tanpa fisik. Maka Allah ciptakanlah alam semesta ini termasukl tubuh manusia yang ditempati oleh jiwa.
11.  Al-Razy, wahyu dan kenabian
Al-Razy adalah filosof yang berani mengeluarkan pendapatnya, meskipun pendapat itu bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam yaitu :
a.       Tidak percaya pada wahyu
b.      Al-Qur’an tidak mu’jiat
c.       Tidak percaya pada Nabi-nabi
d.      Adanya hal-hal yang kekal selain dari Tuhan ( Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hal.20-21 )
Syekh Nadiem Al-Jisr dalam bukunya  Qishshatul-Iman Baina al-Falsafah wa-al-‘Ilm wa-al-Qur’an, menyatakan bahwa Al-Razy termasuk orang-orang yang beriman, karena ia menyatakan bahwa adanya akal pada sebagian makhluk hidup dan kemampuannya untuk merapikan ciptaannya menunjukkan atas adanya Yang Maha Pencipta yang telah menciptakan makhluknya dengan sebaik-baiknya. Pernyataan ini sudah cukup bagi saya untuk menyatakan bahwa Al-Razy termasuk orang yang beriman. ( Syekh Nadiem Al-Jisr, Qishshatul-Iman Baina al-Falsafah wa al-‘Ilm wa-alQur’an, Kisaah Mencari Tuhan, alih bahasa  A. Hanafi, MA. Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hal.50 )
12.  Al-Farabi  ( 870-950.M )
Riwayat hidup dan karyanya
Abu  Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan, nama sukunya Farabi terambil dari nama tempat lahirnya Farab di Turkistan. Lahir tahun 870 Masehi dan meninggal  tahun 950 M. Ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Farabi. Ayahnya seorang opsir tentara Turki dan ibunya berasal dari desa kelahirannya.
Sejak kecil  Al-Farabi suka belajar dan mempunyi kecakapan yang luar biasa dalam lapangan bahasa.  Permulaan pelajaran yang ia terima adalah tentang bahasa Arab dari Abu Bakar As-Saraj.  Disamping itu dipelajarinya pula ilmu filsafat dan logika dari seorang sarjana Kristen Abu Bisyr Mattius bin Yunus  yang terkenal sebagai penerjemah buku-buku Aristoteles dan filosof Yunani lainnya. Belum puas belajar filsafat kepada Mattius bin Yunus pada tahun 920 M. ia pergi ke Harran – salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil, untuk memperdalam pengetahuannya dalam bidang filsafat  kepada seorang Kristen Yuhanna bin Jilan. Setelah itu ia kembali ke Baghdad untuk meperdalam ilmu filsafat dan mantiq/logika. Ia menghabiskan waktu sekitar 30 tahun berdiam disini, jangka waktu tersebut digunakannya untuk mengulas buku-buku filsafat, mengarang serta memberikan pelajaran. Tahun 941 M. ia pindah ke Damaskus, dan disini ia mendapat kedudukan yang baik dari Saifud-Daulah, Khalifah Dinasti Hamdan di Halab ( Aleppo ). Ia menetap di kota ini sampai wafat diusia 80 tahun.
Karya-karya Al-Farabi sebagian besar terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Plato, Aristoteles dan Galenus, meskipun ia lebih terkenal sebagai pengulas filsafat Aristoteles. Ia sangat berjasa dalam ilmu logika sehingga digelari dengan guru kedua, dimana Aristoteles digelar sebagai guru pertama.  Ibnu Sina menulis dalam autobiografinya seperti yang diungkapkan oleh Arthur Hyman dan James J. Walsh ;  meskipun dia  ( Ibnu Sina ) sekarang sudah menjadi filosof komplit, tetapi tentang ilmu metafisika Aristoteles masih belum memuaskannya. Dibacanya sampai 40 kali berulang-ulang, tetapi sesudah dibelinya dari pedagang buku yang menawarkan kepadanya satu buku karangan Al-Farabi  Tentang Tujuan Ilmu Metafisika” barulah terang baginya dan dia merasa puas berkat membaca buku itu. ( Arthur Hyman & James J.Walsh, Philosophy in the Middle Ages, Published by Happer, New York, 1967, p.236 ).

Adapun karya-karya Al-Farabi  antara lain ;
Maqalat fi Aghradi ma Ba’da ath-Thabi’ah,  Al-Jam’u Baina  Ra’yai al-Hakimaini, Ara’u Ahlil Madinah al-Fadhilah, Tahqiequ Ghardi Aristhathaleis fi Kitabi ma Ba’da ath-Thabi’ah, As-Siyasatul Madaniyah, Risalah fi-al Aqli,  ‘Uyun al-Masail. Dll.
Dari sekian buku karangan al-Farabi tersebut pembahasan dalam masalah ketuhanan terdapat dalam bukunya “Kitab fi ma Ba’da ath-Thabi’ah”,yang dibaginya  kedalam tiga bahagian ;
a.       Mencari hal yang ada dan sesuatu yang berlaku bagi ayang ada itu.
b.      Mencari dasar-dasar alasan ( dalil/argument ) dalam ilmu penyelididkan perkara juz’i.
c.       Mencari dari hal yang ada yang tidak bertubuh  dan tidak pula menempati tubuh.

13.  Kesatuan Filsafat Al-Farabi
Al-Farabi dikenal juga dengan seorang filosof sinkretisme yang memepercayai akan kesatuan filsafat. Ia mengkombinasikan ajaran filosof sebelumnya seperti Plato, Aristoteles dan Neo Platonisme dengan pikiran-pikiran ke-Islam-an.  Hal ini kelihatan dalam soal logika dan fisika ia mengikuti Aristoteles, dalam soal etika dan politik ia mengikuti Plato dan dalam soal metafisika ia mengikuti Plotinus, pendiri dan tokoh aliran Neo Platonisme.
Al-Farabi  bukan saja mempertemukan  berbagai macam aliran filsafat, tetapi berkeyakinan bahwa aliran yang bermacam-macam itu hakikatnya adalah satu, yaitu  untuk mencari kebenaran yang Esa.  Usaha usaha ini nampak jelas  sewaktu membahas filsafat Plato dan Aristoteles, begitu pula antara filsafat dengan wahyu, dimana kadang-kala Al-Farabi menggunakan interpretasi batini. Yakni dengan menggunakan ta’wil bila menemukan pertentangan pendapat antara keduanya.
Persoalan ini seharusnya mesti ditinjau dari segi idealnya, sebab filosof-filosof muslim ketika itu banyak yang berpendapat bahwa Islam dengan Al-Qur’an dan Sunnahnya itu adalah hak dan  benar disamping  berpendapat pula bahwa  filsafat itu juga benar, dan kebenaran itu tak boleh lebih dari satu. Karena itulah Al-Farabi sampai menggunakan interpretasi batini untuk mempertemukannya, meskipun untuk beberapa kasus  sukar  kelihatannya. Filsafat  berpikir tentang kebenaran, agama juga tentang kebenaran, … Akan tetapi menyesuaikan agama dengan akal bukanlah berarti menerima kelebihan filsafat atas agama. … ( Mohd. Iqbal,  Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terjemahan Osman Raliby, Bulan Bintang, Jakarta, 1966, hal.2 ).


14.  Filsafat Ketuhanan Al-Farabi
a.       Dalil-dalil adanya Tuhan

Dalil yang digunakan Al-Farabi untuk membuktikan adanya Allah adalah dalil wujub dan imkan ( wajibul wujud dan mumkinul wujud ). Yang dimaksud dengan dalil wajibul wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak mesti ada. Wujud ini adalah wujud  yang tabiatnya sendiri menghendaki wujudnya. Adanya dengan sendirinya, Essensinya tak dapat dipisahkan dari wujudnya.  Ia tak dimulai oleh tidak berwujud kemudian lantas berwujud. Akan tetapi ia berwujud selama-lamanaya. Menurut  Al-Farabi  sesuatu yang ada ini tidak terlepas dari dua kemungkinan diatas, kalau tidak wajibul wujud pastilah mumkinul wujud, atau sebaliknya.  Tidak ada kemungkinan ketiga ataau wujud lain selain yang dua macam tersebut.

b.      Sifat-sifat Tuhan
Sifat-sifat Allah menurut Al-Farabi tidak berbeda dengan zat-Nya, karena Allah adalah Esa. Dalam hal ini Al-Farabi sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang tidak membedakan antara Zat dan Sifat.  Allah itu ditinjau dari segi essensi-Nya adalah akal actual, karena wujud-Nya tidak membutuhkan materi.  Justeru demikian Allah tidak mempunyai sifat  yang dihubungkan kepada-Nya.  Untuk tahu dan yakin tentang wujud Allah tidak perlu dengan menisbahkan sifat-sifat tertentu kepada-Nya, sebab pengetahuan tentang  Allah lebih nyata dan yakin dari pada pengetahuan tentang selain Allah, Al-Farabi menjelaskan :
Karena Tuhan adalah wujud yang paling sempurna, maka pengetahuan kita tentang Dia adalah pengetahuan sempurna, seperti halnya dengan pengetahuan kita tentang ilmu matematika, lebih sempurna dari pengetahuan kita tentang ilmu fisika, karena obyek ilmu pertama lebih baik daripada obyek ilmu kedua. Akan tetapi keadaan kita ketika menghadapi wujud pertama sama halnya dengan keadaan kita ketika berhadapan dengan sinar yang sangat menyilaukan mata dan oleh karena itu kita tidak dapat tahan untuk melihatnya, karena lemahnya penglihatan kita. Hal ini disebabkan karena kelemahan yang timbul dari percampuran kita dengan benda yang cukup menghambat dan membatasi pengetahuan kita. (  Syech Nadiem Al-Jisr, op-cit, hal.74-75 ).
Didalam bukunya “Ara-u Ahlal Madinah al-Fadhilah” seperti yang dikutip Hana al-Fakhury, Al-Farabi menjelaskan : 
Sesungguhnya Allah itu Maha Tahu, Dia tidak membutuhkan sesuatu yang lebih diluar zat-Nya untuk tahu. Begitu pula Dia tidak membutuhkan  sesuatu yang memberitahukan untuk diketahui. Ilmu Tuhan itu adalah essensi-Nya. (Hanna al-Fakhury, Tarekh al-Falsafah al-‘Arabiyah, Dar al-Ma’arif, Beirut, 1957,hal.109).
Mengenai   asmaul husna”  Al-Farabi memberi  penjelasan,  kita boleh saja menyebut nama-nama Tuhan sebanyak yang kita kehendaki. Tetapi ini hanya memberikan isyarat tentang macam-macam hubungan Tuhan dengan makhluk dari segi keagungan-Nya. Nama-nama tersebut  tidak merupakan bagian pada Zat Tuhan atau dengan kata lain adanya sifat-sifat yang berbeda dengan Zat-Nya.
Menyangkut tentang ilmu Tuhan, Al-Farabi berpendapat Tuhan hanya mengetahui  semua yang ada secara umum ( universal, kulliyat ). Tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa kecil  ( rincian ) yang terjadi di alam. Sekiranya ilmu Tuhan  itu menyangkut peristiwa-peristiwa kecil, ini berarti bahwa ilmu Tuhan dapat berobah pada setiap kali terjadinya perobahan peristiwa yang terjadi di ala mini dan ini berarti ilmu Tuhan tidak absolute  lagi. Sedang ilmu Tuhan itu adalah essensi-Nya dan essensi wujud itu adalah qadim.  Jikalau ilmu itu berobah, maka Zat yang mempunyai ilmu juga berobah, sedangkan pada Zat Tuhan mustahil terjadi perobahan.  Persoalan inilah kiranya yang banyak mengundang perdebatan antara golongan golongan Islam, sehingga golongan fuqaha dan ahlul hadits menentang filsafat dan para filososfnya.
c.       Teori emanasi
Dengan teori ini Al-Farabi mencoba menjelaskaan bagaimana yang banyak ( pluralis ) bisa timbul dari Yang Satu, Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berobah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat kepada apapun. Kalau demikian sifat hakikat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Tunggal dan Maha Esa ?  Bagaimana keluarnya wujud yang hadits ini dari wujud yang qadim ? Al-Farabi mengatakan alam tercipta secara emanasi.  Dimana ala mini memancar dari Wujud Pertaama melalui rentetan proses dimana jenis yang satu keluar dari jenis yang lebih tinggi secara berurut.  Al-Farabi mengklasifikasikan yang wujud ini kepada dua rentetan :
Pertama  : 
Rentetan wujud yang essensinya  tidak berfisik, dimana varitas yang lebih tinggi melahirkan varitas yang lebih rendah secara berurut, dan ini ada dua jenis :
1.      Tidak berfisik dan tidak menempati fisik  yaitu ; Al-Maujud al-Awwal , Wujud Pertama, al-Ilah, Illat, Sebab Pertama. Inilah yang disebut  Allah Sw. Kemudian al-‘Aqlul Awwal  ( akal pertama ) dan al-Uqoul al- Aflaak.
2.      Tidak berfisik tetapi menempati fisik  yaitu ;  An-Nafs  ( jiwa/roh ), al-Shourah ( bentuk/form ) dan al-Maaddah ( materi )
Kedua :
Rentetan wujud yang berfisik, terdiridari  :
1.      Al-Ajsaam al-Samawiyah ( benda-benda langit , bintang gemintang )
2.      Al-Hayawaan  al-Nathiq  ( manusia, hewan yang berfikir )
3.      Al-Hayawaan ghairu al-Nathiq ( hewan yang tidak berfikir )
4.      Al-Ajsaam al-Nabaat  ( tumbuh-tumbuhan )
5.      Al-Ajsaam al-Ma’aadin ( benda-benda tambang )
6.      Al-Anashir al- Arba’ah ( unsure yang empat, air, udara, tanah dan api )

                     Al-Farabi menjelaskan proses emanasi  seperti berikut  :
Allah al-Wujud al-Awwal, sebagai  Akal Aktif berfikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran Ini lahir Wujud Kedua yang mempunyai substansi yang disebut Akal Pertama.
Akal  Pertama  ini Mumkin Wujud  dilihat dari essensinya tetapi  ia wujud dengan Wujud Pertama (Allah Yang Esa ). Beginilah Al-Farabi membedakan Wujud Allah dengan wujud lain.   Wujud Kedua berfikir tentang Wujud Pertama maka lahirlah Wujud Ketiga yang disebut  Akal Kedua.  Wujud Kedua ( Akal Pertama ) berfikir tentang Tuhan lahir langit pertama Wujud Ketiga  ( Akal Kedua ) berfikir tentang Tuhan lahirlah Wujud Keempat ( Akal    Ketiga ) dan ketika berfikir tentang diriny  lahirlah bintang-bintang.    Begitulah seterusnya Semenjak dari Wujud Ketiga ( Akal Kedua ) sampai dengan Wujud Kesepuluh ( Akal Kesembilan ) dan lahirnya bulan. Akhirnya dari Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh .  Berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh   muncullah.  Bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsure, api, Udara, air dan tanah ( Harun Nasution,Op-cit, hal.23-24 ).
Demikiaanalah filsafat emanasi Al-Farabi, walaupun ia terpengaruh oleh filsafat.   Ketuhanan Plato, Aristoteles dan Plotinus, namun ia dengan tegas menyatakan  bahwa       Yang Wajibul Wujud Lizatihi hanyalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
15.  Pemikiran Al-Farabi tentang jiwa

Pendapat  Al-Farabi tentang jiwa dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus Jiwa bersifat rohani, bukan materi,  terwujud setelah adanya badan, dan jiwa tidak berpindah-pindah dari satu badan kebadan lainnya. Jiwa manusia disebut al-Nafs al-Nathiqah yang berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad beerasal dari alam khalaq, berbentuk, berupa, berkadar dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.

16.  Teori kenabian Al-Farabi 
Teori Kenabian  merupakan bagian terpenting dari filsafat Al-Farabi  karena dibangun dari dasar-dasar psikologi dan metafisika dan erat kaitannya dengan pembahasan tentang akhlak.  Ketika membicarakan negeri utama Al-Farabi  mengatakan bahwa manusia dapat  berhubungan dengan  al-aql al-fa’al, sekalipun hanya terbatas pada orang tertentu. 
Hubungan  tersebut dapat ditempuh dengan dua jalan ; jalan pikiran dan jalan imajinasi atau jalan pikiran dan inspirasi.  Orang yang dapat berhubungan dengan al-aql al-fa’al ialah manusia yang mempunyai  hati dan jiwa yang bersih  yang dapat menembus dinding-dinding alam gaib dan mencapai alam cahaya.  Orang yang seperti inilah menurut Al-Farabi yang diserahi untuk memimpin Negeri Utama, seperti yang dikonsepsikannya.  
Disamping dengan al-aql al-fa’al , adalah dengan imajinasi. Imajinasi erat kaitannya dengan kecendrungan dan perasaan dan ada pengaruhnya pada gerak pikiran dan kemauan serta mengarahkannya pada obyek tertentu.  Imajinasi  menyimpan obyek-obyek  inderawi  dan gambaran-gambaran alam luar yang masuk melalui pikiran melalui indera-indera, dan terkadang tidak hanya menyimpan gambaran-gambaran pikiran tetapi membuat gambaran baru sama sekali yang tidak ada keserupaannya  dengan obyek-obyek inderawi, dalam hal ini Al-Farabi telah membagi imajianasi kepada  dua bentuk sebagaimana yang dikatakan juga oleh sarjana-sarjana psikologi modern yaitu imagination creatrice ( imajinasi pencipta ) dan imagination conservatrice ( imajinasi penyimpang ).
Hubungannya dengan soal kenabian ialah bagaimana pengaruh imajinasi terhadap impian dan pembentukannya, sebab apabila hal ini bisa ditafsirkan secara ilmiah maka soal kenabian dan kelanjutan-kelanjutannya dapat pula ditafsirkan.  Sebagaimana diketahui bahwa ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi pada waktu tidur atau pada saat terjaga, atau dalam bentuk impian yang benar atau wahyu.
Perbedaan antara kedua cara ini bersifat relative dan hanya mengenai tingkatannya tetapi tidak mengenai essensinya . Impian yang benar tidak lain adalah merupakan salah satu bentuk kenabian yang erat hubungannya dengan wahyu. Apabila kita dapat menerangkan  salah satunya berarti kita dapat menerangkan dan memahami yang lain dari hubungan kedua cara tersebut.
Apabila kekuatan imajinasi seseorang telah mencapai akhir kesempurnaan, maka tidak ada halangannya bagi seseorang untuk  menerima dari  al-aql al-fa’al  peristiwa-peristiwa sekarang atau mendatang atau obyek-obyek inderawi yang merupakan salinannya.  Ia dapat pula menerima salinan-salinan  dan obyek-obyek pikiran  dan wujud-wujud lain yang mulia, dengan penerimaan-penerimaan itu maka orang tersebut mempunyai  ramalan ( Nubuwwah )  terhadap perkara-perkara ketuhanan. Ini adalah tingkatan yang paling sempurna  yang bisa dicapai oleh kekuatan imajinasi dan dicapai oleh manusia untuk berhubungan dengan al-aql al fa’al  dan ini hanya bisa dilakukan oleh seorang nabi. Imajinasi yang kuat teersebut memungkinkan seorang nabi menerima pengetahuan dan kebenaran-kebenaran  yang nampak dalam bentuk wahyu dan impian yang benar.
Dibawah tingkatan nabi-nabi dan  karena itu mereka tidak dapat berhubungan dengan al-aql al-fa’al kecuali pada waktu tidur, dan terkadang mereka sukar untuk mengutarakan apa yang diketahuinya. Adapun orang awam maka imajinasinya lemah sekali  karena itu mereka tidak sampai berhubungan dengan al-aql al-fa’al baik waktu malam maupun siang.
Demikianlah teori kenabian Al-Farabi, sesungguhnya teori ini juga berkaitan dengan soal-soal kemasyarakatan dan kejiwaan seperti yang diungkapkannya dalam buku “Ara-u Ahl-al-Madinah al-Fadhilah”.  Menurut Al-Farabi nabi dan filosof adalah orang yang pantas untuk mengepalai negeri utama, dimana kedua-duanya dapat berhubungan dengan aql al fa’al  yang menjadi sumber syariat dan aturan yang diperlukan dalam kehidupan. Perbedaan antara  keduanya terletak pada imajinasi yang sempurna bagi seorang nabi  dan filosof hanya mengandalkan pembahasan pemikiran.            
C.     Filsafat Islam II  ( Smester IV )

17.  Ibnu Sina  ( 980-1037 M. )
Riwayat hidup dan karyanya
Abu Ali Husein bin Abdillah ibnu Sina, dilahirkan di Afsyana suatu tempat yang terletak dekat Bukhara pada tahun 370 H./980 M. dan meninggal di Hamazan 428 H/1037 M. Ibnu Sina  memiliki otak yang cemerlang dan kecerdasan yang tinggi. Orang tuanya bekerja sebagai pegawai tinggi pada Dinasti Samawi, dan memberikan dorongan yang kuat pada Ibnu Sina dalam belajar. Sehingga diusia 10 tahun dia sudah menghafal Al-Qur’an dan mempelajari sastera Arab. Setelah mendalami ilmu fiqih dia mempelajari logika, geometri dan astronomi kemudian dilanjutkannya dengan mendalami ilmu matematika, fisika, kedokteran dan filsafat. Karena kecemerlangan otaknya dalam usia 17 tahun dia sudah menguasai berbagai bidang disiplin ilmu sehingga digelar dengan al-Syeikh al-Rais yang berarti imam ilmu pengetahuan.

Ibnu Sina mewariskan berbagai bidang ilmu, dan diantara karangannya yang terpenting ialah  Asy-Syifa” yang merupakan encyclopedia ilmu pengetahuan yang berisikan berbagai disiplin ilmu. Ibnu Sina juga terkenal sebagai seorang dokter ahli. Bukunya “ Al-Qanun fie al-Thibb ” adalah encyclopedia dalam ilmu kedokteran dan merupakan sumber terpenting dalam ilmu kedokteran sepeninggalnya.

Usaha yang dilakukan Al-Farabi untuk mempertemukan filsafat dengan agama dilanjutkan dan dikembangkan oleh Ibnu Sina, termasuk dalam bidang ketuhanan.  Tentang masalah ketuhanan diungkapkannya  dalam bukunya “Al-Isyaarat wa-al Tanbihaat”dan lebih detail lagi dalam “Asy-Syifa” pada bahagian “Ilaahiyat” ( ketuhanan ).                             

18.  Filsafat Ketuhanan Ibnu Sina

a.      Pembuktian wujud Tuhan
Untuk membuktikan wujud Tuhan Ibnu Sina sejalan dengan Al-Farabi dan mengemukakan dalil yang sama, lebih lanjut Ibnu Sina mengatakan  kita tidak perlu mencari dalil untuk menetapkan adanya Tuhan dengan salah satu makhluk-Nya.   Kita seharusnya mengambil adanya Wujud Yang Pertama yaitu Yang Wajibul Wujud dari Yang  Mumkinul Wujud  dan apa yang wujudnya bisa diterima oleh akal. Alam ini adalah Mumkinul Wujud yang memerlukan suatu sebab yang mengeluarkannya menjadi wujud, karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Meskipun makhluk itu bisa menjadi bukti wujud-Nya, namun pembuktian yang pertama lebih kuat dan lebih lengkap.
Ibnu Sina sependapat dengan Al-Farabi bahwa alam ini qadim yang wujudnya  disebabkan  oleh Penyebab Pertama. Filsafatnya yang menyatakan alam ini qadim diserang oleh Al-Ghazali, dan menurut Al-Ghazali  apa yang dikatakan oleh Ibnu Sina tidak lain adalah kegelapan diatas kegelapan dan orang yang meyakini hal itu adalah kafir.
Menurut Syekh Nadim Al-Jisr, secara lahiriah memang Ibnu Sina sependapat dengan Aristoteles bahwa alam ini qadim, tetapi pada hakikatnya ia tidak mengikuti Aristoteles. Ibnu Sina  menafsirkan  alam dengan suatu tafsiran yang indah sekali dan menunjukkan pandangan yang jauh, pikirannya yang sehat dan imannya yang benar, Ibnu Sina mengatakan :
Adapun pengertian qadim terbagi kepada :
1.         Qadim bil Qias, yaitu qadim relative  ( bila dibandingkan dengan yang lain ) dimana masanya sesuatu pada waktu yang lampau lebih panjang dari masa sesuatu yang lain, jadi yang pertama lebih dahulu jika dibandingkan dengan yang kedua.
2.         Qadim Muthlaq, terbagi kepada dua bentuk ;  qadim dari segi zaman dan qadim dari segi zat, tingkatan dan martabat.
Qadim dari segi zaman ialah sesuatu yang tidak mempunyai permulaan waktu, sedang qadim dari segi zat, martabat dan tingkatan, tidak tergantung kepada sesuatu yang lain yaitu Yang Esa dan Yang Haqq, Maha Tinggi Tuhan dari apa yang dikatakan oleh orang-orang yang zalim. ( Syekh Nadim Al-Jisr, Op-cit, hal.53 )
          
b.      Sifat-sifat Tuhan
Mengenai sifat Tuhan Ibnu Sina sejalan dengan Al-Farabi, ia menjauhkan dan mensucikan Tuhan dari segala sifat yang dikaitkan dengan zat-Nya. Demikian pula halnya dengan ilmu Tuhan, bahwa Tuhan hanya mengetahui yang kulliyat ( absolute, total, general ) saja dan menolak bahwa ilmu Tuhan berhubungan dengan yang juziyat ( particular atau detail ). 
c.       Teori  emanasi
Meskipun Ibnu Sina sejalan dengan Al-Farabi dalam menjembatani filsafat Plato dan Aristoteles, teapi mereka berbeda pendapat dalam menginterpretasikan timbulnya yang banyak dari Yang Satu. Menurut Ibnu Sina dari Wujud Awwal hanya lahir Akal Pertama saja, dan dari Akal Pertama-lah lahirnya akal, jiwa dan tubuh. Akal Pertama mempunyai dua sifat, Wajib Wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan Mumkin Wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran ; Tuhan, dirinya sebagai Wajib Wujudnya dan dirinya sebagai Mumkin Wujudnya. Dari pemikiran tentang  Tuhan timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai Wajib Wujudnya timbul jiwa-jiwa, dari pemikiran tentang dirinya sebagai Mumkin Wujudnya timbul langit-langit ( Harun Nasution, Op-cit, hal.30 )
Filsafat emanasi Ibnu Sina menghasilkan sepuluh akal dan Sembilan planet, Sembilan akal mengurus Sembilan planet dan akal kesepuluh mengurus bumi. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh  adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi beserta isinya.
19.  Pemikiran Ibnu Sina tentang jiwa

a.       Jiwa tumbuh tumbuhan ; mempunyai tiga daya, makan, tumbuh dan berkembang biak.
b.      Jiwa binatang, mempunyai  dua daya ; gerak ( al-mutaharrikat ) dan menangkap ( al mudrikat ).
c.       Jiwa manusia, mempunyai dua daya ; praktis ( yang berhubungan dengan badan ) dan teoritis, yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak.

20.  Teori kenabian Ibnu Sina
Menurut Ibnu Sina  didunia ini ada tiga kelompok manusia, pertama  orang yang tidak mempunyai kecakapan teoritis dan praktis, kedua   orang yang punya kecakapan teoritis dan praktis hanya pada dirinya sendiri dan tidak mampu menyempurnakan orang lain, ketiga  adalah orang yang mempunyai kecakapan teoritis dan praktis sekaligus serta mampu mentranspormasikannya  kepada orang lain. Inilah sesungguhnya  yang disebut Nabi.  Pada intinya Nabi adalah seseorang yang kekuatan kognitifnya mencapai akal aktif, yakni malaikat Jibril. Hakikat akal aktif itu  sesungguhnya batasan antara demensi ketuhanan dan kemanusiaan. Pendeknya seorang Nabi adalah orang yang mampu  berkomunikasi bukan saja dengan Tuhan tetapi juga kepada manusia. Bagi Ibnu Sina tugas kenabian sesusngguhnya juga memerankan fungsi politik dalam arti mempu menuntun manusia untuk mengetahui hokum baik buruk dan memberikan teladan kepada mereka untuk melaksanakannya.      
21.  Ibnu Miskawaih
Riwayat hidup dan karyanya
Abu  Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’qub ibnu Miskawaih, lebih pupuler dengan sebutan Ibnu Miskawaih.  Ia dilahirkan  tahun 330 H./941 M. di kota Rayy, Iran dan meninggal  di Isfahan, Iran  421 H/1030 M. Dalam berbagai literature tidak dijelaskan secara rinci riwayat kehidupannya, namun ada beberapa hal yang perlu dijelaskan bahwa Ibnu Miskawaih belajar sejarah kepada Abu Bakar Kamil al-Qadhi dan belajar filsafat pada Ibnu al-Khammar, mufassir karya-karya Aristoteles kenamaan waktu itu.
Ibnu Miskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir, tetapi ia juga seorang penulis yang pruduktif. Daalam buku-buku sejarah filsafat Islam disebutkan beberapa karya tulisnya antara lain ;  Al-Fauz Al-Akbar wa al-Ashgar, Tajarib al-Umam, Tahzib al-Akhlaq, Thaharah An-Nafs.
22.  Filsafat Ibnu Miskawaih

a.       Tentang Ketuhanan
Menurut Ibnu Miskawaih Tuhan adalah zat yang tidak berjisim, azali dan pencipta. Tuhan Esa dalam berbagai aspek. Tuhan tidak terbagi dan tidak mengandung makna kejamakan dan ada-Nya tidak bergantung pada yang lain, sementara yang lain bergantung kepada-Nya. Segala seuatu dialam ini ada gerak, gerak merupakan sifat bagi alam yang menimbulkan perubahan pada sesuatu dari bentuknya semula. Ini adalah bukti tentang adanya Tuhan yang menciptakan alam. Pendapat seperti ini kelihatannya  sama dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa segala sesuatu dalam alam ini selalu dalam perubahan.
Sebagai seorang filosof  muslim Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah dari tiada menjadi ada, dalam hal ini Ibnu Miskawaih sejalan dengan Al-Kindi dan berbeda dengan Al-Farabi bahwa Tuhan menciptakan alam dari sesuatu yang asudah ada.
b.      Kenabian
Teori kenabian Ibnu Miskawaih adalah upayanya untuk memperkecil perbedaan antara nabi dan filosof dan memperkuat hubungan keharmonisan antara akal dan wahyu.  Menurut Ibnu Miskawaih, nabi adalah seorang muslim yang memperoleh hakikat kebenaran seperti juga yang diperoleh oleh para filosof. Hanya saja bedanya kalau nabi mendapatkan kebenaran ditirunkan dari atas kebawah yakni dari Akal Aktif langsung kepada nabi sebagai rahmat Allah Swt. Sementara filosof mendapatkan kebenaran dari bawah keatas, dari daya inderawi menaik kepada khayal/imaginasi dan menaik lagi kepada daya fikir yang dapat berhubungan dan menangkap kebenaran dari Akal Aktif. Menurut Ibnu Miskawaih filosof adalah orang yang paling cepat menerima dan mempercayai apa yang dibawa oleh nabi, karena nabi membawa  ajaran yang tidak bertentangan dengan akal pikiran.  Sungguhpun demikian tidak berarti bahwa manusia tidak membutuhkan nabi, karena hanya  melalui seorang nabi ( sekaligus wahyu ) manusia dapat mengetahui hal-hal yang bermanfaat dan dapat membawa manusia kepada kebahagiaan. Ajaran ini tidak dapat dipelajari oleh semua manusia, kecuali oleh para filosof, karena filsafat tidak dijangkaau oleh semua lapisan masyarakat.
c.       Jiwa
Jiwa menurut Ibnu Miskawaih adalah jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi, ia akan selalu hidup, tidak bisa diraba dengan panca indera karena ia bukan jisim. Jiwa tidak mempunyai unsure, unsure hanya terdapat dalam materi. Jiwa dapat menyerap materi yang kompleks dan non materi yang sederhana. Jiwa dapat menangkap apa yang bisa ditangkap panca indera dan jiwa juga dapat menangkap apa  yang tak bisa ditangkap panca indera. Tentang pembalasan di akhirat Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa jiwalah yang akan menerima balasan sebab kelezatan jasmaniyah bukanlah kelezatan yang sebenarnya.
23.  Filsafat akhlak  Ibnu Miskawaih
Pembahasan tentang akhlak oleh Ibnu Miskawaih didasarkan pada ajaran Islam yang dikombinasikan dengan filsafat Yunani dan pemikiran Persia. Akhlak menurut konsep Ibnu Miskawaih adalah, suatu sikap mental atau keadaan yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsure, unsure naluriah dan unsure lewat kebiasaan dan latihan. Berdasarkan ide tersebut, secara tidak langsung Ibnu Miskawaih menolak pandangan orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah.  Bagi Ibnu Miskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak terpuji dengan jalan pendidikan dan latihan.
Ibnu Miskawaih juga menjelaskan sifat-sifat utama, sifat ini menurutnya erat kaitannya dengan jiwa, dimana jiwa memiliki tiga daya  ; daya marah, daya berfikir dan daya keinginan.
24.  Ibnu Bajah  ( 1082-1138 M.)
Riwayat hidup dan karyaanya
Avempace, begitulah ilmuan Barat biasa menyebut Ibnu Bajjah, ilmuan muslim terkemuka di era kejayaan Islam Spanyol. Ziaduddin Sardar dalam bukunya  Science in Islamic Philosophy, menabalkan Ibnu Bajjah sebagai  sarjana muslim multi talenta. Ia dikenal sebagai astronom, musisi, dokter, fisikawan, psikolog, pujangga, filosof ahli logika dan matematik. Ilmuan dan filosof ini lahir di Saragosa, Spanyol tahun 1082, dan mengembangkan beragam pengetahuan di zaman kekuasaan Dinasti Murabbitun.
Sebagai seorang ilmuan Ibnu Bajjah sangat pruduktif dan banyak menghasilkan beragam karya. Karya-karya Ibnu Bajah yang ditulis dalam bahasa Arab banyak mempengaruhi peradaban Barat. Tulisannya banyak diterjemahkan kedalam bahasa Yahudi dan Latin. Kini manuskrip asli dan terjemahannya masih tersimspan di Perpustakaan Bodlein, Perpustakaan Berlin dan  Perpustakaan Escurial, Sspanyol.
Hasil karya yang paling popular adalah  Risalah al-Wida, dalam buku ini Ibnu Bajjah menceritakan tentang ketuhanan, keberadaan manusia, alam dan uraian mengenai  bidang pengobatan. Selain  itu adalah kitab Tadbir al-Mutawahhid, kitab ini  mengupas pandangannya dalam bidang politik dan filsafat. Kemudian ia juga menulis buku yang berjudul Al-Nafs, yang membicarakan persoalan jiwa,  hubungan jiwa dengan Tuhan dan pencapaian manusia yang tertinggi dari keberadaan manusia dalam mencapai kebahagiaan. Dia juga menulis buku Risalah al-Akhlaq dan Al-Ghayah al-Insaniyah.
25.  Filsafat Ibnu Bajah

a.       Masalah metafisika
Dalam masalah metafisika  Ibnu Bajjah hampir sejalan dengan Al-Farabi. Menurut Ibnu Bajjah yang ada ini terbagi kepada dua macam ; bergerak dan yang tidak bergerak. Adapun yang bergerak ialah materi yang sifatnya terbatas, dan gerakan yang terbatas itu tidak mungkin dari dirinya sendiri tetapi sebab  gerakan haruslah berasal dari kekuatan yang tidak terbatas, yaitu Akal. Akal memberi  gerak kepada jisim.
b.      Tentang  epistemology
Didalam bukunya Tadbir al-Mutawahhid, beliau mengemukakan teori  al-Ittishal  yaitu bahwa manusia mampu berhubungan dan meleburkan diri  dengan Akal Fa’al  atas bantuan ilmu dan pertumbuhan kekuatan insaniah. Sehubungan dengan teori ittishal tersebut , Ibnu Bajjah mengajukan satu bentuk epistemology yang berbeda dengan corak yang  dikemukakan oleh Al-Ghazali di Dunia Islam Timur. Bagi Al-Ghazali bahwa ilham adalah sumber pengetahuan yang lebih penting dan lebih dipercaya, sementara Ibnu Bajjah berkeyakinan sesungguhnya perseorangan mampu berada pada puncak pengetahuan dan melebur diri  pada Akal Fa’al bila ia telah bersih dari sifat kerendahan dan keburukan.
c.       Tentang akhlak
Tujuan hidup manusia  menurut  Ibnu Bajjah adalah memperoleh kebahagiaan. Untuk itu diperlukan usaha yang bersumber dari adanya kemauan bebas dan  pertimbangan akal dan jauh dari nafsu hewani.  Perbuatan manusia menurut Ibnu Bajjah terbagi kepada dua ; perbuatan hewani dan perbuatan manusiawi.  Watak sejati manusia pada hakikatnya bersifat intelektual yang merupakan karakteristik semua bentuk spiritual.  manusia spiritual  inilah yang menurut Ibnu Bajjah yang benar-benar dapat mencapai kebahagiaan. Ibnu Bajjah menjelaskan bahwa kemajuan intelektual bukanlah semata-mata atas usaha manusia, tetapi disempurnakan Tuhan dengan memasukkan cahaya kedalam hati manusia itu.

d.      Politik
Pengertian al-Mutawahhid, oleh Ibnu Bajjah tidak dimaksudkan bahwa seseorang harus menjauhkan diri dari masyarakat, tetapi ia harus senantiasa berhubungan dengan masyarakat.  Menurut Ibnu Bajjah seseorang harus mampu mengendalikan diri dan hawa nafsunya, tidak terseret kedalam arus perbuatan rendah dimasyarakat, tetapi jika masyarakat itu bobrok, maka seseorang harus menyepi dan menyendiri.  Seseorang harus menjadi contoh, berpusat pada dirinya bahwa ia dapat menjadi panutan orang lain.  Orang yang mempunyai  sifat mulia menurut Ibnu Bajjah cirri-cirinya adalah ; selalu menjaga kesehatan, sederhana dalam memenuhi kebutuhan hidup dan bergaul dengan orang berilmu serta menjauhi orang-orang yang mementingkan kehidupan duniawi.
26.  Ibnu Thufail   ( 1110-1185 M.)
Riwayat hidup dan karyanya
Abu Bakar Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail, dilahirkan di Guadix ( Arab : Wadi Asy)  Granada, Spanyol tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa Latin Ibnu Thufail lebih popular dengan sebutan Abubacer.  Selain terkenal sebagai seorang filosof ia juga seorang dokter, ahli matematika dan kesusasteraan.  Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris pribadi Gubernur Cueta ( Arab : Sabtah ) dan Tangier,  Abu Yaqub Yusuf Al-Mansur, khalifah kedua dari Dinasti Muwahhidun ( 558 H/1163 M – 580 H/1184 M.) selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.
Pada masa Khalifah Abu Yaqub Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar di pemerintahan, karena Khalifah sendiri  sangat mencintai ilmu pengetahuan dan memberi kebebasan berfilsafat.  Sikapnya itu membuat Spanyol, seperti yang dikatakan Briffault sebagai tempat kelahiran kembali negeri Eropa.  Pemikiran Ibnu Thufail dituangkan dalam risalah-risalah ( surat-surat ) yang dikirimkan kepada muridnya ( Ibnu Rusyd ), sehingga tidak dikenal banyak orang . Namun karya populernya yang dapat ditemukan sampai sekarang adalah Risalah Hayy ibn Yaqzhan fi Asrar al-Hikmah Al-Mashriqiyah, yang ditulis pada abad ke-6 Hijriah ( abad ke-12 M.)
27.  Filsafat Ibnu Thufail

Secara ringkas, karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau tak berpenghuni, anak tersebut disebut oleh Ibnu Thufail sebagai Hayy Ibn Yaqzan (hidup anak kesadaran). Tokoh Hayy hidup terpencil dan bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya hanya dengan menggunakan akal dan pancaindera. Hay digambarkan sebagai sosok manusia alam yang tak pernah mengenali orangtuanya. Tetapi alam telah memberinya seekor kijang yang mengasuh dan memberinya makan. Setelah dewasa, dia mengarahkan pandangannya terhadap perkara yang ada di sekelilingnya. Di sini, dia mulai memahami tentang kejadian, pengalaman, dan rahasia perubahan yang terjadi di sekelilingnya; sehingga ia tahu, bahwa di balik alam ini terdapat sebab-sebab yang tersembunyi yang menciptakan dan membentuk alam raya dan dirinya. Hayy Ibnu Yaqzan selalu membahas dan menganalisa sesuatu perkara secara sendiri melalui akalnya, sehingga dia mampu mengetahui bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan manusia itu bergantung kepada hubungannya dengan Sang Pecipta. Ia kemudian dikenalkan dengan nama Allah, sebagai Yang Maha segalanya, setelah bertemu dengan Asal, tokoh fiktif yang berperan sebagai pendakwah (da`i) yang membawa kebenaran agama. Dengan melalui lika-liku perdebatan yang kritis dan dialogis, Hayy menerima pandangan-pandangan agama yang disampaikan Asal. Hay mengakui adanya kesamaan tentang Allah sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta raya dengan “Sang-Realitas” yang berada dibalik alam raya yang diakuinya sebagai Tuhan. Dengan karakter tokoh Hayy itu, Ibnu Thufayl berhasil membuat uraian yang menarik sekaligus membantu memahami pemikiran-pemikirannya.

Ibnu Thufayl memberikan gambaran tentang sebuah simpul social, yang mengubah urutan situasi pikiran dari ketiadaan panca indera menuju kepada isolasi budaya. Tujuan utama Ibnu Thufayl adalah untuk menunjukkan apa yang dapat ditemukan oleh intelejensia manusia tanpa adanya bantuan dari pihak di luar dirinya yang bersifat ketuhanan, yang menanamkan pengetahuan – penerimaan mengenai ide-ide dan kecenderungan untuk secara aktif melakukan pencarian seperti yang telah ditegaskan al-Ghazali terhadap dirinya sendiri dan apa yang telah dilakukan oleh Aristotle dengan menyusun sebuah premis ketika dia mengawali bukunya, Metaphysics, dengan kata-kata, “seluruh manusia secara naluri ingin mencari tahu.

Pengetahuan yang dimiliki manusia melalui penginderaaan terhadap alam sekitarnya, menurut Iqbal, merupakan salah satu bentuk pengetahuan yang ditekankan dan diakui oleh Al-Qur’an, dalam rangka mencari kebenaran. Ia menyebutkan beberapa ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah tersebut,  antara lain Q.S. Al-Baqarah ayat 164.

 Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di lautan membawa apa yang berguna manusia, dan apa yang diturunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angina dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi kaum yang berpikir.”



Maka tidak ada keraguan lagi, bahwa maksud langsung dari Al-Qur’an dengan pengamatan yang seksama tentang alam itu ialah untuk membangkitkan kesadaran tentang segala sesuatu yang ada di alam itu dipandang sebagai satu lambang dari kekuasaan-Nya. Hal ini sesuai dengan esensi serta tujuan Ibnu Thufayl dalam novelnya, Hayy Ibnu Yaqzan.

Hayy Ibn Yaqzan, seperti fiksi lainnya, merupakan sebuah eksperimen pemikiran. Eksperimen pemikiran ini menurut beberapa pihak dibangun berdasarkan eksperimen pemikiran Ibnu Sina yang terkenal, yakni Manusia Mengambang. Nama tersebut diambil dari salah satu alegori yang ditulis Ibnu Sina selama dia dipenjara di puri Fardajan dekat dengan Hamadhan. Menurut argument Manusia Mengambang-nya Ibnu Sina, yang berulang kali dijelaskan dalam tulisan-tulisan Ibnu Sina yang non-alegori, bahwa para filosof menunjukkan esensi dari jiwa manusia, independensi jiwa manusia, dengan meminta para pembacanya untuk mencoba memahami diri mereka sendiri bagai mengambang di udara, terisolasi dari seluruh perasaan atau melepaskan perasaan, bahkan melepaskan diri dari seluruh kontak dengan bagian tubuh yang lain. Satu hal yang akan tersisa dari semua aktivitas ini – menurut Ibnu Sina – adalah kesadaran diri.

Namun, benarkah pemikiran Ibnu Thufayl mengekor pemikiran filosof sebelumnya, seperti yang sering dinyatakan oleh para kritikus? Mengenai komentar para kritikus yang menyatakan bahwa Ibnu Thufayl merujuk kepada pemikiran filosof terdahulu semacam Ibnu Sina seperti yang telah disebutkan di atas, tidak sepenuhnya benar. Jika kita teliti lebih dalam karyanya akan kita dapati bahwa sesungguhnya Ibnu Thufayl dalam pemikiran fisafatnya merupakan pribadi yang independent dan memiliki orisinalitas.

Syeikh Al-Azhar terdahulu Dr. Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Ibnu Thufyil Wa Falsafatuhu ( Ibnu Thufayl dan Filsafatnya ) telah memberikan penjelasan yang cukup argumentative. Adapun bukti yang memperlihatkan indepedensi Ibnu Thufayl dari pengaruh Al Farabi dapat kita baca dari sikap Ibnu Thufayl sendiri terhadap Al-Farabi yang mana ia telah memproklamirkan secara terang-terangan bahwa pemikiran yang terkandung dalam karya-karya Al-Farabi penuh dengan skeptisisme ( kastrah assyukuuk ) kemudian memberikan contoh dengan pendapat Al-Farabi yang mengatakan bahwa kebahagiaan hanya terdapat dalam dunia material yang kita tempati sekarang ini (addaar addunya) lalu mengkritiknya dengan ungkapannya.[7] Menurutnya, pendapat ini telah mendorong sikap pesimis seluruh manusia dari rahmat Tuhan dan telah menempatkan orang yang memiliki keutamaan dan seorang pendosa dalam satu level.

Adapun penilaian Ibnu Thufayl terhadap filosof lain seperti Ibnu Bajah, ia mengklaim bahwa Ibnu Bajah bukanlah orang yang lebih cerdas dan lebih mempunyai pemikiran cemerlang di banding dirinya. Adapun tentang Ibnu Sina , Ibnu Thufail telah di buat kagum olehnya karena dengan ketajaman metode rasionalnya ia berhasil melangkah dan memberikan karakter pada fase atau level uuli ashidq sekalipun ia tetap menganggap Ibnu Sina bukanlah orang yang telah menceburkan diri, menghirup dan merasakan manisnya fase tersebut.

Dari sudut pandang ini dapat kita simpulkan bahwa Ibnu Thufail mempunyai pendapat dan pemikiran yang mandiri dan tidak mengekor kepada Ibnu Sina dan ia menganggap bahwa pencapaian Ibnu Sina hanya merupakan suatu fase dari fase-fase pengetahuan yang bukan merupakan esensi pengetahuan. Adapun tentang Al-Ghazali Ibnu Thufail berpendapat dengan pernyataannya “tak di ragukan lagi bahwa Syeikh Abu Hamid (Al-Ghazali) termasuk orang yang telah merasakan puncak kebahagian dan telah sampai kepada fase termulia dan kudus (fase ulu asshidq atau pengetahuan sejati dalam konteks nilai pengetahuan).

 Akan tetapi terlepas dari apresiasi Ibnu Thufail terhadap Al-Ghazali kalau kita telaah dan bandingkan lebih jauh antara pemikiran filsafat Ibnu Thufail dan Al-Ghazali akan kita dapati perbedaan yang cukup mencolok terutama sikap mereka terhadap fase aksiomatik-rasional. Di satu sisi Al-Ghazali menolak dengan tajam fase tersebut dan menganggap bahwa penalaran rasio tidak dapat mengantarkan seseorang kepada hakekat dan keyakinan, dan pernyataan Ibnu Thufail dalam roman filsafatnya terutama ketika menggambarkan tentang fase pertama ( aksiomatik-rasional ) sangat kontra produktif dengan pendapat Al-Ghazali tersebut karena di situ Ibnu Thufail masih mengakui eksistensi penalaran rasio sebagai metode mencapai pengetahuan yang merupakan fase pertama yang harus di lewati untuk mencapai pengetahuan sejati akan tetapi lebih dari itu Ibnu Thufail masih mengakui Al-Ghazali sebagai orang yang telah mencapai esensi  pegetahuan yang luhur.

Demikianlah Ibnu Thufail menunjukkan jalan untuk sampai pada pengetahuan yang Maha Tinggi atau Tuhan. Jalan pertama melalui wahyu, dan jalan kedua melalui filsafat. Makrifat melalui akal ditempuh dengan jalan keterbukaan, mengamati, meneliti, mencari, mencoba, membandingkan, klasifikasi, generalisasi dan menyimpulkan. Jadi makrifah  adalah sesuatu  yang dilatih mulai dari yang kongkrit hingga ke-abstrak. Makrifah melalui agama terjadi melalui pemahaman wahyu dan memahami segi batinnya, zauq. Hal ini hanya bisa dirasakan dan sulit untuk dikatakan. Jadi tidak heran kalau muncul  syatahat dari mulut seorang sufi. Proses yang dilalui makrifat semacam ini tidak mengikuti deduksi atau induksi, tetapi ia bersifat intuitif.





D.    Filsafat  Islam  III  ( Smester  V )
28.  Al-Ghzali   ( 1058-1112 M.)
Riwayat hidup dan karya
Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/1058 M di Gazhaleh, suatu kota yang terletak di dekat daerah Thusi, wilayah Khurasan (Iran),  Al-Ghazali berasal dari keluarga yang sangat sederhana dan ta’at menjalankan agama. Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Namanya dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan Algazel,dan sebutan inilah yang biasa digunakan oleh orang-orang Barat (orientalis) terhadapnya.
Al-Ghazali dikenal sebagai seorang filosof, teolog, ahli hukum, penganut madzhab Imam Syafi’i, dan ahli tasawuf. Ia juga seorang tokoh sufi berpengaruh. Meskipun dia dianggap sebagai tokoh sufi, namun bukan berarti dia tidak melakukan kritikan terhadap sifat-sifat orang sufi yang melampui batas. Dia sangat kritis terhadap orang-orang sufi yang mempercayai teori inkarnasi dan penyatuan diri dengan Tuhan. Baginya, orang-orang seperti ini menjauhkan logika dan akal, serta tidak mengontrol.
Sebagaimana ulama pada masanya, kesungguhan al-Ghazali dalam hal ilmu telah terlihat semenjak kecil. Di masa mudanya dia belajar di Nisyapur, juga di Khurasan. Dia belajar fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Al-Radzakani Al-Thusi. Ketika berumur 25 tahun, Al-Ghazali berguru kepada Ali Nashr Al-Ismail, seorang ulama terkenal di Thusi. Kemudian ia menjadi murid Imam al-Haramain al-Juwaini, guru besar di Madrasah al-Nizamiah Nisyapur. Di antara mata pelajaran yang diberikan di madrasah tersebut adalah teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme dan ilmu kalam.
Dengan perantara Imam al-Juwaini, al-Ghazali berkenalan dengan Nizam al-Mulk, perdana menteri sultan Saljuk Maliksyah. Nizam al-Mulk adalah orang terkemuka di pemerintahan dan pemimpin yang benar-benar memperhatikan ilmu. Ini dibuktikannya dengan mendirikan beberapa sekolah di berbagai daerah untuk mendorong perkembangan ilmu.
Kepandaian al-Ghazali dalam berdebat dengan argumentasi yang kuat, telah menarik perhatian Raja Nizam. Selain itu, karya-karya briliyan dan orisinalitas yang dibuatnya pada masa itu semakin membuat kagum Raja Nizam, sehingga pada tahun 1091 M, dia ditetapkan menjadi rektor pada Universitas Nizamiyyah di Bagdad. Saat itu al-Ghazali berumur 33 tahun Di tempat inilah al-Ghazali mulai menulis berbagai kitab. Melalui buku-buku yang ditulisnya itu, al-Ghazali mulai dikenal di masyarakat luas.
Akan tetapi, ketika puncak kejayaan ada dalam dirinya, dia melepaskan jabatannya sebagai rektor, setelah dipegangnya selama empat tahun  Ia bermasalah dengan keraguan dalam kepercayaannya pada pendapat-pendapat teologi tradisional (kalam) yang diperolehnya dari al-Juwaini. Sebagaimana diketahui, di dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan dalam diri al-Ghazali; aliran manakah yang betul-betul benar di antara berbagai aliran kalam itu. Selain itu, al-Ghazali juga menganggap bahwa metode yang ditawarkan oleh kalam tidak cocok menjadi obat penawar keraguan yang dideritanya.
Al-Ghazali menuturkan mereka (mutakallimin) mengandalkan premis-premis yang mereka ambil alih dari lawan-lawan mereka (falasifah), yang kemudian terpaksa mengakui mereka (falasifah) baik dengan penerimaan tak kritis (taqlid) atau pun karena konsensus komunitas (ijma), atau pun dengan penerimaan sederhana yang dijabarkan dari al-Quran dan Tradisi (hadits). Sebagian dari polemik mereka ditujukan untuk membeberkan ketidak konsistenan lawan dan mencoba mengkritiknya karena konsekuensi-konsekuensi yang secara logis kurang berbobot dari yang mereka kemukakan. Tetapi, ini tidak banyak berguna bagi seseorang yang tidak menerima apa-apa sama sekali apapun kecuali kebenaran-kebenaran primer dan yang terbukti dengan sendirinya. Dengan demikian, dalam pandangan saya, kalam tidaklah mencukupi dan bukan merupakan obat bagi penyakit yang tengah saya derita.( Osman Bakar, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi, al-Ghazali dan Quthb al-Din al-Syirazi, terj. Purwanto, Mizan, Bandung: 1993, cet. Ke-3, hal. 210).
Keraguan yang dialami al-Ghazali, hampir melumpuhkan fisiknya selama dua bulan, sebagaimana yang ia kemukakan dalam riwayat hidup batinnya, al-Munqidz min al-Dhalal. Untuk menghilangkan keraguannya, ia mengasingkan diri (uzlah), mengungsi dan bermusafir selama sepuluh tahun di Syiria, Mesir serta kota-kota suci Islam.Pada tahun 484 H, al-Ghazali pergi ke Makkah menyempurnakan rukun Islamnya. Setelah selesai mengerjakan haji, ia terus ke Damaskus, Bait al-Maqdis, dan Aleksandria sambil mengajar di universitas-universitas yang ada di kota-kota tersebut.
Menurut Syaikh al-‘Aidarus, al-Ghazali tinggal di Syam (Damaskus) sekitar dua tahun, beri’tikaf di Menara Masjid Umawi dan bertahanus di sana dengan menutup pintu menara Masjid tersebut. Sementara di Bait al-Muqaddas, al-Ghazali tinggal di Kuba al-Shakhra sambil menutup pintu tempat tinggalnya tersebut. Di tempat ini, al-Ghazali tinggal selama 10 tahun dan menghasilkan berbagai kitab, salah satunya adalah ihya ulum al-Din.
Setelah 10 tahun, ia muncul kembali di daerah asalnya pada tahun 1086, dan menerima jabatan rector Nizamiyyah di Nishapur atas desakan anak Nizam al-Mulk, Fakhr al-Mulk. Di tempat asalnya itu, ia kembali mengajar selama tiga tahun dan menulis berbagai buku. Menurut Fazlur Rahman disini al-Ghazali menulis salah satu karya besarnya tentang ilmu kedokteran, al-Mustasfa.Namun, nampaknya Rahman salah mengidentifikasi karya al-Ghazali ini. Al-Mustasfa memang merupakan karya al-Ghazali dan bisa dikatakan salah satu karya terbesarnya. Akan tetapi, karyanya ini bukan membahas tentang kedokteran. Para Ulama dan para akademisi yang menela'ah tentang al-Ghazali beserta karya-karyanya, menyatakan/bersepakat bahwa al-Mustasfa adalah karya al-Ghazali tentang Ushul Fiqih.( Lihat misalnya, Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushuul al-Fiqh, Dar al-Hadits, tk, 1423 H/2003 M, hal. 17. Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid I, Logos, Jakarta, 2000, cet. II, hal. 40. Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Ramadhani Sala, tk, 1982, cet. 2, hal. 154, Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Bumi Aksara, Jakarta: 1991, Cet. I, hal. 68 dan Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma’shum et al, Pustaka Firdaus, Jakarta: 2007, cet. 10, hal. 19. Dalam buku tersebut, Abu Zahrah bahkan memasukkan kitab al-Mustasfa tersebut sebagai salah satu dari tiga kitab termashur dalam bidang ushul fiqih yang mewakili aliran teoritis murni).
Al-Ghazali meninggal di usia yang ke-53 tahun, pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H. Saat meninggalnya tersebut, menurut Osman Bakar, al-Ghazali sedang memperdalam ilmu tentang tradisi. Menurut sumber lain, saat itu al-Ghazali sedang memperlajari Shahih Bukhari dan Sunan Abu Dawud. Literature lain menyebutkan al-Ghazali meninggal dengan memeluk kitab Shahih Bukhari. ( Ibn Taimiyah, Dar’u al-Ta’arudh al-Aql wa al-Naql; Menghindari Pertentangan Akal dan Wahyu, terj. Munirul Abidi, M.Ag, Kutub Minar Pustaka Zamzami, Malang; 2004M/1425 H, cet. I, hal. 124).
Informasi ini sangat penting untuk dibahas, sebab bisa jadi al-Ghazali, sebagaimana masa-masa sebelumnya, masih mencari jalan hakikat kebenaran. Bisa jadi al-Ghazali masih belum puas dengan jalan sufistiknya. Dan pada akhirnya al-Ghazali kembali kepada jalan yang ditempuh oleh para ulama salaf, atau dalam bahasa Ibrahim Hilal, kembali kepada metode dan jalan para ulama hadits (Ahli Hadits). Al-Ghazali memang sangat lemah dalam ilmu hadits. Ini bisa dilihat dari salah satu karya besarnya Ihya Ulum al-Din. Seperti kata Ibn Taimiyah, dalam kitabnya itu, al-Ghazali seringkali menggunakan hadits-hadits dhoif (lemah)    dalam mendukung teori tasawufnya  ( Ibn Taimiyah, Naqd al-Manthiq, hal. 54, dikutip oleh Afif Muhammad, Op,Cit, hal. 28.)
Kritikan Ibn Taimiyah memang benar adanya. Namun, di lain sisi, seba gaimana   juga Ibn Taimiyah, kita juga harus bijak bersikap terhadap al-Ghazali, sebab kemungkinan besar memang al-Ghazali pada masa-masa sebelumnya tidak begitu intens bersentuhan dengan ilmu hadits. Hal ini bisa dimengerti, karena faktor dan kebutuhana saat itu memang lebih kepada teologi dan filsafat. Di akhir hayatnya itulah, beliau benar-benar ingin mencurahkan hidupnya mempelajari dan mendalami ilmu hadits. Menariknya, kitab hadits yang dipegangnya ketika meninggal adalah kitab Shahih Bukahri, sebuah kitab yang di dalamnya tidak terdapat hadits dhoif. Kitab yang oleh para ulama hadits disebut sebagai kitab besar yang nilainya (validitas/keshahihannya) paling tinggi setelah al-Quran dan hadits.  Kalau saja al-Ghazali diberi umur lebih, bisa dibayangkan betapa khazanah keislamannya akan sangat luar biasa. Dia mungkin akan menjadi ahli hadits yang mashur, dan menulis sebuah kitab mengenai ilmu hadits.
Al-Ghazali adalah pemikir paling hebat dan paling orisinil tidak saja dalam Islam, tapi juga dalam sejarah intelektual manusia. Di mata para sarjana modern Muslim dan non Muslim, al-Ghazali juga dianggap sebagai orang terpenting setelah Nabi Muhammad ditinjau dari segi pengaruh dan peranannya dalam menata dan mengukuhkan ajaran-ajaran keagamaan. Dr. Zwemer orientalis Inggris, pernah menempatkan al-Ghazali menjadi salah satu dari empat orang pilihan pihak Islam dari mulai zaman Rosulullah saw sampai kepada zaman sekarang. Empat orang itu adalah Nabi Muhammad, Imam Bukhari, Al-Asy’ari, dan al-Ghazali. (Lihat Kata Pengantar terjemahan Ihya Ulum al-Din, Jilid I, Faizan, Surabaya: 1966, hal. 5, dan M. Natsir, Op,Cit, hal 175 ).
Karya-Karya al-Ghazali
Hampir semua cabang ilmu yang berkembang pada masanya dipelajari secara seksama oleh al-Ghazali, sehingga tidak mengherankan jika ia tumbuh berkembang sebagai seorang ensiklopedis. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya karya tulis yang dihasilkannya. Ia merupakan salah satu pemikir muslim abad pertengahan yang paling produktif menulis karya, sehingga dalam usianya yang relatif pendek, telah meninggalkan karya yang berlimpah yang menjadi bahan kajian hingga sekarang.
Masalah lainnya yang menjadi bahan penelitan terhadap karya al-Ghazali adalah adanya beberapa kriteria yang ditentukan al-Ghazali sendiri dalam menulis karyanya. Al-Ghazali menggunakan bahasa dan metode yang berbeda dalam menulis sebuah kitab berdasarkan objek yang dihadapinya. Jika kitab itu ditulis untuk kalangan awam, maka bahasa dan metodenya berbeda dengan kitab yang ditulis untuk kalangan khawas, kalangan filosof, dan yang semisalnya.
Menurut Waryono Abdul Ghafur, periodesasi kronologis penulisan karya al-Ghazali, secara garis besar dibagi menjadi dua; periode Baghdad dan sebelumnya, serta periode pasca Bagdad sampai meninggal. Karya tulis yang dihasilkan pada periode Baghdad dan sebelumnya adalah; Mizan al-‘Amal, al-‘Iqtisad fi al-I’tiqad, Mahkan Naza fi al-Manthiq, al-Musfazhiri fi al-Rad ‘ala al-Batiniyyah, Hujjat al-Haq, Qawasim al-Batiniyyah, Jawab Mafsal al-Khilaf, al-Durj al-Marqum bi al-Jadawil, Mi’yar al-‘Ilmi, Mi’yar al-‘Uqul, Maqasid al-Falasifah,Tahafut al-Falasifah, al-Mankhul fi al-Ushul, al-Basit, al-Wasit, al-Wajiz, Khulasaf al-Mukhtasar, Qawa’id al-Qawa’id, ‘Aqaid al-Sughra, Ma’khaz al-Khilaf, Lubnab al-Nazar, Tahsin al-Ma’khadh, al-Mabadi wa al-Ghayat, Muqaddamat al-Qiyas, Shifa al-Ghali/’Alil fi al-Qiyas wa al-Ta’wil, al-Lubab al-Muntakhal fi al-Jidal dan Ithbat al-Nazar. Karya-karya tersebut meliputi bidang-bidang fiqh, ushul Fiqh, teologi, logika, filsafat dan logika.
Adapun karya tulis yang dihasilkan periode pasca Baghdad sampai meninggal adalah; al-Risalah al-Qudsiyyah, Ihya ‘Ulum al-Din, al-Rad al-Jami’ li Ilahiyat Isa bi Sharih al-Injil, Kimiya al-Sa’adah, al-Maqasad al-Asna fi Asma’ Allah al-Husna, al-Madnun bihi ‘ala Ghair Ahlih, al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk, Bidayat al-Hidayah, Mafsal al-Khilaf fi Usul al-Din, Jawahir al-Quran, al-Arba’in fi Usul al-Din, Asrar al-Ittiba’ al-Sunnah, al-Qistas al-Mustaqim, Asrar Mu’amalat al-Din, Faysal al-Tafriqah bayn al-Islam wa al-Zanadiqah, al-Munqiz min al-Dhalal, Qanun al-Ta’wil, al-Risalah al-Laduniyyah, al-Hikmah fi Makhluqat Allah, al-Mustasfa fi ‘ilmi al-Ushul, al-‘Imla ‘an Mushkil al-Ihya, Ma’arij al-Quds, Misykat al-Anwar, al-Darurah al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah, Mi’raj al-Saliqin, Tabliis Iblis, Ayyuha al-Walad, Kitab al-Akhlaq al-Abrar wa al-Najah min al-Shar, al-Gayah al-Quswa, Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam dan Minhaj al-‘Abidin .(Waryono Abdul Ghafur, M.Ag,; Tela’ah Kritis Kitab Rad al-Jami’ Karya al-Ghazali, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2006, cet.1, hal.66-67)
Ada yang menarik untuk dibahas mengenai karya al-Ghazali; “Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam. Ibn Taimiyah, seperti dikutip Dr. Ibrahim Hilal, dengan tegas menyatakan bahwa karya al-Ghazali ini merupakan bukti bahwa di akhir-akhir masa hidupnya, al-Ghazali kembali memandang benar pemikiran Madzhab Salaf atau Ahli Hadits, setelah beberapa lama beliau bergumul dengan cara pandang kaum filosof dan kalangan sufi. Ibrahim Hilal sendiri mendukung kesimpulan Ibn Taimiyah tersebut. Sedikitnya ada dua alasan mengapa Ibrahim Hilal mendukung hipotesa Ibn Taimiyah. Pertama, dalam buku Iljam al-‘Awam, al-Ghazali menyebutkan bahwa buku al-Maqshad al-Asna lebih dulu ditulis dari buku Iljam al-‘Awam. Kedua, dalam buku Ihya Ulum al-Din, al-Ghazali tidak pernah menyebutkan nama buku Iljam al-‘Awam, begitu juga dalam buku al-Munqidz min al-Dhalal, dan buku-bukunya yang lainnya yang memaparkan secara historis kehidupan sufinya. Padahal, menurut beberapa peneliti, jika al-Ghazali telah menulis sebuah kitab, biasanya akan disebutkan dalam kitab-kitabnya yang kemudian. Kalaulah Iljam al-‘Awam, ditulis pada masa fase awal atau pertengahan kehidupan al-Ghazali, tentunya kitab tersebut akan disebutkan al-Ghazali dalam Ihya atau al-Munqidh. Namun faktanya tidaklah demikian.
Dengan adanya buku iljam al-‘Awam, Ibrahim Hilal kemudian membuat hipotesa mengenai pola pikir al-Ghazali. Baginya, pola pikir al-Ghazali tersebut dapat dilihat dari tiga kitab yang dikarangnya. Buku Maqashad al-‘Asna; Syarh Asma Allah al-Husna yang merupakan gagasan pola pikir al-Ghazali yang bersifat filosofis. Buku Ihya dan al-Munqidz merupakan gagasan pemikiran al-Ghazali tentang metode penyingkapan dan tasawuf. Dan buku Iljam al-‘Awam merupakan gagasan pemikiran al-Ghazali tentang pola pikir Mazhab Ulama Salaf. ( lihat Dr. Ibrahim Hilal, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat; Sebuah Kritik Metodologis, terj. Ija Suntana dan E. Kusdian, Pustaka Hidayah, Bandung: 2002, cet. I, hal.103 ).
Dengan melihat alur pola pikir al-Ghazali di atas, Ibrahim Hilal bahkan menyimpulkan bahwa al-Ghazali adalah seorang salaf  dalam pola pikirnya. Untuk memperkuat hipotesanya, Ibrahim Hilal mengutip pernyataan Brockelman: “Saya pernah menemukan buku Iljam al-‘Awam dengan judul lain, yakni Risalah fi Madzhab al-Salaf.”(Ibid, hal.104 )
Hipotesa di atas bukan hanya karena ada pernyataan Brockelman, melainkan ada pernyataan al-Ghazali yang memang mengindikasikan sebagai pengikut salaf. Dalam Iljam al-‘Awam, al-Ghazali menuturkan: “Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk yang paling mengetahui kemaslahatan hamba Allah di dunia dan di akhirat. Beliau melimpahkan kepada manusia apa pun yang diwahyukan kepadanya berkaitan dengan kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Beliau tidak pernah menyembunyikan sesuatu pun dari wahyu itu, karena tugas utamanya sebagai utusan Allah adalah penyampai risalahNya. Dan di sinilah letak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Selanjutnya, para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling mengetahui makna-makna sabda beliau dan yang paling layak pemahamannya tentang eksistensi beliau, karena mereka selalu menyaksikan wahyu dan senantiasa bersama dengannya (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam setiap kesempatan. Bahkan, siang dan malam, mereka selalu bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka memiliki pemahaman yang benar, tidak menyembunyikannya, dan tidak mengkhianati tugas penyampaian dan pelaksanaan risalah beliau.
Dari dasar-dasar pemikiran-pemikiran ini, kita dapat mengetahui dengan pasti bahwa apa yang mereka katakan adalah benar. Apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah memberikan pujian bagi mereka; “Sebaik-baik masa adalah masaku, kemudian masa berikutnya, kemudian masa berikutnya”. ….jalan hidup dan pola pikir mereka adalah metode yang paling baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Umatku akan terpecah ke dalam tujuh puluh lebih golongan. Yang selamat hanya satu golongan.” Sahabat bertanya, “Siapa mereka?” Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; “Mereka adalah Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah, yakni orang-orang yang memegang teguh apa yang kupegang dan juga para sahabatku” ( Ibid, 102-103 )

Pemaparan al-Ghazali di atas mencerminkan pola pikirnya dalam fase terakhirnya. Al-Ghazali seperti halnya Ibn Taimiyah yang sering disebut sebagai penganut Madhab Salaf, mendasarkan pikirannya, bahwa Rasulullah adalah sumber kedua setelah al-Quran, kemudian para sahabat sebagai pemahaman yang paling baik dalam memahami al-Quran dan hadits Nabi, dan tentunya mereka yang mengikuti dan sesuai dengan pemahaman Nabi dan para sahabat.
29.  Kritik  Ghazali terhadap filsafat dan filosof Yunani  dan filosof Ibnu Sina  dan Al-Farabi  (terutama ) dalam 20 masalah.
Seperti diketahui, sebelum melakukan kritiknya terhadap filsafat, al-Ghazali terlebih dahulu mempelajari filsafat (baca: filsafat Yunani) secara khusus. Hasilnya, dia mengelompokkan filsafat Yunani menjadi tiga aliran, yaitu: 1) Dahriyyun  (materialisme), 2) Thabi’iyyun ( naturalis), 3) Ilahiyyun ( Deisme). Menurut al-Ghazali, yang pertama, Dahriyyun, mengingkari keterciptaan alam. Alama ada dengan dirinya sendiri, tak ada yang menciptakan. Binatang tercipta dari sperma (nutfah) dan nutfah tercipta dari bintang, begitu.  Aliran ini disebut oleh al-Ghazali sebagai kaum Zindik.
Aliran yang kedua, yaitu Thabi’iyyun, aliran yang banyak meneliti dan mengagumi ciptaan Tuhan, mengakui adanya Tuhan tetapi justru mereka berkesimpulan “tidak mungkin yang telah tiada kembali”. Menurutnya, jiwa itu akan mati dan tidak akan kembali. Karena itu aliran ini mengingkari adanya akhirat, pahala-surga, siksa-neraka, kiamat dan hisab. Menurut al-Ghazali, meskipun aliran ini meng-imani Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tetapi juga temasuk Zanadiqah karena mengingkari hari akhir yang juga menjadi pangkal iman.
Aliran yang ketiga, Ilahiyyun, ialah kelompok yang datang paling kemudian diantara para filosof Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Socrates, Plato (murid Socrates) dan Aristoteles (murid Plato). Menurut al-Ghazali, Aristoteles-lah yang berhasil menyusuan logika (manthiq) dan ilmu pengetahuan. Tetapi masih terdapat beberapa hal dari produk pemikirannya yang wajib dikafirkan sebagaimana wajib mengkafirkan pemikiran bid’ah dari para filosof Islam pengikutnya seperti Ibnu Sina dan al-Farabi.
Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles, bahkan juga filsafat Ibnu Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya, bahkan kacau (tahafut). Malahan ada yang bertentangan dengan ajaran agama, hal yang membuat al-Ghazali mengkafirkan sebagian pemikiran mereka itu.
Seperti tertulis dalam kitab Tahafut al-Falasifah, kritik al-Ghazali terhadap para filosof itu terdapat dalam dua puluh (20) masalah yaitu: kelompok Pendapat para Filosof berisi tentang: 1. Alam qadim (tidak bermula); 2. Alama kekal (tidak berakhir); 3. Tuhan tidak mempunyai sifat; 4. Tuhan tidak diberi sifat al-jins (jenis) dan al-fashl (diferensia); 5. Tuhan tidak punya mahiyah (hakekat); 6. Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat (perincian yang ada di alam); 7. Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan; 8. Jiwa-jiwa planet mengetahui juz`iyyat; 9. Hukum alam tak berubah; 10. Jiwa manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan ‘ardh (accident); 11. Mustahilnya kehancuran jiwa manusia; 12. Tidak adanya pembangkitan jasmani; 13. Gerak planet-planet punya tujuan.
Kelompok kedua adalah kelompok Ketidaksanggupan Para Filosof membuktikan hal-hal berikut: 14. Bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan Tuhan; 15. Adanya Tuhan; 16. Mustahilnya ada dua Tuhan; 17. Bahwa Tuhan bukanlah tubuh; 18. Bahwa Tuhan mengetahui wujud lain; 19. Bahwa Tuhan mengetahui esensinya; 20. Alam yang qadim mempunyai pencipta.
Menurut al-Ghazali, dari dua puluh masalah tersebut, tiga di antaranya membawa kekufuran, sedang yang lain dekat dengan pendapat Muktazilah. (lihat: al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 15-16). Dan Muktazilah, kata al-Ghazali di tempat lain, karena mempunyai pendapat demikian tidak mesti dikafirkan.
30.  Ibnu Rusyd   ( 1126-1198 )
Riwayat hidup dan karyanya
Ibnu Rusyd bernama lengkap Abul Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Di Barat, ia dikenal sebagai Averrous, lahir tahun 1126 Masehi di Cordova, Spanyol. Keluarganya dikenal memberikan perhatian dan apresiasi besar pada ilmu pengetahuan dan tergolong masyhur di kota Cordova.
Ibnu Rusyd kecil menunjukkan kejeniusan yang luar biasa, sementara, ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Bakat ini pula yang menurun kepada Ibnu Rusyd, ketika ia diamanati menjabat sebagai qadi (hakim) di Sevilla (Spanyol) dan sebagai qadi al-qudaad (hakim agung) di Cordova. Masa kecil Ibnu Rusyd dihabiskan untuk belajar berbagai disiplin ilmu: Alquran, tafsir, hadits, fiqih, serta mendalami ilmu-ilmu eksakta seperti matematika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran.
Itulah sebabnya, Ibnu Rusyd dikenal sebagai ahli berbagai ilmu pengetahuan. Sebagai qadi al-qudaad, ia dekat dengan para amir (penguasa) Dinasti Al Muwahhidun yang memerintah saat itu, khususnya dengan Abu Yusuf Yakqub al Mansur, amir dinasti ketiga Muwahhidun.
Beberapa kalangan ulama yang tidak suka dengannya, karena ajaran filsafatnya, berupaya menyingkirkan Rusyd dengan cara memfitnah bahwa dia telah menyebar ajaran filsafat yang menyimpang dari ajaran Islam. Atas tuduhan itu, Rusyd diasingkan ke suatu tempat bernama Lucena.Tak hanya itu, karya-karyanya menyangkut filsafat dibakar dan diharamkan mempelajarinya.
Sejak saat itu, filsafat tak lagi mendapat tempat dan berkembang di dunia Islam. Namun, beberapa tahun kemudian, amir Al Mansur memaafkan dan membebaskannya. Ia lalu pergi ke Maroko dan menghabiskan sisa hidupnya di negeri tanduk Afrika UBuku-buku yang dikarang oleh Ibnu Rusyd banyak sekali dari berbagai disiplin ilmu: Filsafat, Kedokteran, Politik, Fikih, dan masalah-masalah agama. sebagian karya-karyanya banyak yang hilang dan ada juga yang dibakar dikeranakan beberapa sebab diantaranya. Pertama, tulisan-tulisannya yang asli bahasa arab mengandung anti filsafat dan filosof. Kedua, di Timur ilmu dan filsafat mulai dikurbankan demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis dan keagamaan, akibat dari pertarungan antara kaum agamawan dan filosof mengakibatkan Ibnu Rusyd mendapatkan celaan dan siksaan serta diusirnya dia dari tanah kelahirannya sampai-sampai beliau dianggap sebagai mulhid. Latar belakang dari pertarungan itu hanya untuk mendapatkan kekuasaan politik.
Makanya para ahli sejarah berbeda pendapat akan jumlah buku-buku hasil karyanya. Namun yang bisa diambil sebagai spirit perumusan dan pengembangan fikih emansipatoris, adalah tiga bukunya Fashl al-Maqâl, al-Kashf `an Manâhij al-Adillah dan Tahâfut al-Tahâfut (ditulis berturut-turut pada tahun 1178, 1179, dan 1180) merupakan karya terpenting. Ketiga buku ini memuat pandangan kontroversial Ibnu Rusyd yang pernah menggemparkan dunia Eropa pertengahan abad ke-13.
a.       Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî`ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl (terjemahan dalam bahasa Indonesia terbitan Pustaka Firdaus, Jakarta, dengan judul Kaitan Filsafat dengan Syariat) yang isinya menguraikan adanya keselarasan antara agama dan akal karena keduanya adalah pemberian Tuhan.
b.   Al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah fî `Aqâid al-Millah (Menyingkap pelbagai Ma        tode Argumentasi Ideologi Agama-agama) yang menjelaskan secara terinci masalah-    masalah akidah yang dibahas oleh para filsuf dan teolog Islam.
c.   Tahâfut al-Tahâfut (Kerancuan dalam Kitab Kerancuan karya al-Ghazâlî) yang  kandungan isinya membela kaum filsuf dari tuduhan kafir sebagaimana dilontarkan al-Ghazali dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan --Filsafat-filsafat- kaum Filosof)
d.  Buku lainnya yang juga penting dalam bidang hukum Islam/fiqh, adalah Bidâyah al-Mujtahid (permulaan bagi Mujtahid). Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, di mana di dalamnya diuraikan pendapat Ibn Rusyd dengan mengemukakanpendapat-pendapatimam-imammazhab.

Antara karya besar pernah dihasilkan Ibnu Rusyd ialah 'Kulliyah fit-Thibb' yang mengandungi 16 jilid ilmu perubatan secara umum; 'Mabadil Falsafah' (Pengantar Ilmu Falsafah); 'Tafsir Urjuza' yang membicarakan perubatan dan tauhid. Karya lain, 'Taslul' buku mengenai ilmu kalam; 'Kasyful Adillah' yang mengungkap persoalan falsafah dan agama; dan 'Muwafaqatil Hikmah Wal Syari'a' yang menyentuh persamaan antara falsafah dengan agama. Beliau juga telah menulis sebuah buku mengenai muzik yang diberi judul "De Anima Aristoteles" (Commentary on the Aristotle's De Animo).
Sebelum meninggal dunia, beliau telah menghasilkan bukunya yang terkenal Al Taysir. Buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Inggeris dengan judul Faclititation of Treatment. Kematiannya merupakan kehilangan yang cukup besar kepada kerajaan dan umat Islam di Sepanyol. Beliau tidak meninggalkan sebarang harta benda melainkan ilmu dan tulisan dalam pelbagai bidang seperti falsafah, perubatan, ilmu kalam, falak, fiqh, muzik, kaji bintang, tatabahasa, dan nahu.Karya tulisan beliau membuktikan penguasaan Ibnu Rusyd dalam berbagai bidang dan cabang ilmu sehingga usaha untuk menterjemahkan tulisannya dilakukan ke dalam bahasa lain.
Buku Kulliyah fit-Thibb diterjemahkan kendalam bahasa Latin pada 1255 oleh Bonacosa. Buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul General Rules ofnMedicine. Hasil pemikiran yang dimuatkan dalam tulisannya, terutama dalam bidang-falsafah,mempengaruhi-ahlifalsafah-Barat.
Kontribusi-Rasionalisme-IbnRusyd-dalamSyari’ah
Salah satu pandangan Ibnu Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang harmoni (perpaduan) agama dan filsafat (al-ittishâl baina al-syarî`ah wa al-hikmah). Ibn Rushd memberikan kesimpulan bahwa "filsafat adalah saudara sekandung dan sesusuan agama". Dengan kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan agama; para nabi dan Aristoteles, karena mereka semua datang dari asal yang sama. Ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan karakter filsafat sebagai ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada "pengetahuan yang lebih sempurna"(at-tâmmal-ma`rifah).
Mengenai hal ini dituangkan dalam buku kecilnya yang berjudul Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî’ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl (Kaitan filsafat dengan Syariat) ini menjelaskan tentang harmonitas antara `aql (akal/nalar) dengan naql (tranferensi) mengenai metode (manhaj) dan tujuan akhir (ghâyah) (Fasl al-Maqal,1968:58).
Menurutnya , belajar filsafat dan berfilsafat itu sendiri tidak dilarang dalam agama Islam, bahkan al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam berisi banyak ayat yang menghimbau agar mempelajari filsafat. Untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal serta filsafat dan teks al-Qur’an, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa teks al-Qur’an itu hendaknya diberi interpretasi sedemikian rupa atau dilakukan takwîl.
Takwîl ini lah merupakan salah satu bahasan penting dalam buku kecil ini. Yang satunya lagi mengenai masalah tingkatan manusia dalam menerima pembuktian kebenaran sesuai dengan watak dasar dan kapasitasnya masing-masing).tara ini hingga wafatnya pada 1198 M.
31.  Pemikiran filsafat Ibnu Rusyd
Seperti diketahui, bahwa Ibnu Rusyd hidup beberapa puluh tahun setelah al-Ghazali wafat (w. 505 H/ 1111 M). Dimasa hidupnya, Al-Ghazali mendalami ilmu filsafat dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang kajiannya terhadap ajaran ilmu filsafat, yang terkenal adalah bukunya tahafuth al-falasifah. Buku tersebut memang ditujukan untuk melakukan serangan terhadap filsafat dan membuktikan kekeliruan para filosof  khususnya filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dalam kesimpulannya, al-Ghazali menetapkan 20 masalah sebagai bathil dan pada akhir bukunya tiga masalah diantaranya adalah kafir, sehingga dari sini ia mengkafirkan para filoso, Tiga masalahl tersebut adalah:
a.        Pendapat filsuf bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past)
b.       Pendapat filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (hal-hal yang juz’i/ individual/ partikular).
c.        Paham filsuf yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
d.      Menurut Aziz Dahlan, itu berarti bahwa siapa saja yang menganut salah satu dari tiga paham tersebut, menurut Al-Ghazali, jatuh ke dalam kekafiran. Polarisasi dan kesimpulan ini mampu mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam terhadap filsafat dan filsuf. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan penolakan umat pada ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap ilmu-ilmu fisafat di dunia Islam.
e.       Tetapi, tentu tidak mudah bagi orang memahami dialog-dialog dan bantahan-bantangan yang di tulis Al-Ghazali dalam rangka memaparkan peliknya argumen dan materi kajian para filsuf, menurut yang dipahaminya dan argumen-argumen untuk menjatuhkan argumen para filsuf. Itu saja sudah cukup bukti kehujjahan dan pengaruh keilmuan Al-Ghazali pada pemahaman keagamaan umat saat itu. Begitu pula pelik dan resikonya memberi bantahan dan sanggahan terhadap serangan Al-Ghazali tersebut, seperti dilakukan Ibnu Rusyd.
f.       Dalam pada itu, Ibnu Rusyd melakukan tiga upaya sekaligus yaitu membela filosof yang dikafirkan Al-Ghazali, melakukan klarifikasi paham filsafat dan menyanggah paham Al-Ghazali. Pembelaan terhadap para filosof dilakukan dengan merumuskan harmonisasi agama dan filsafat, klarifikasi paham filsafat dilakukan dengan menguraikan maksud filsafat yang sebenarnya tentang soal-soal yang dikafirkan dan sanggahan terhadap Al-Ghazali dengan mengelaborasi “kesalahan” persepsinya.

32.  Keselarasan antara filsafat dan agama

Memulai pendapatnya, Ibnu Rusyd mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah mempelajari filsafat dan manthiq (logika) diperbolehkan menurut syara’, ataukah dilarang, ataukah diperintahkan –baik sebagai perintah anjuran ataupun perintah wajib?. Menurut Ibnu Rusyd, kegiatan filsafat tidak lain adalah mempelajari segala wujud dan merenungkannya sebagai bukti adanya pencipta. Disisi lain, syara’ menurutnya telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada. Disini ia ingin mengatakan bahwa menurut syara’, pengertian demikian menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah perintah wajib atau perintah anjuran.
Tetapi karena kegiatan mempelajari segala sesuatu adalah dengan akal (lihat al-Hasyr: 2; al-A’raf: 185; al-An’am: 75; al-Ghasiyah:17; Ali-Imran:191), yang berisi perintah tertulis untuk wajib dan pelakunya adalah terhormat. Disini kias (perenungan dan penyimpulan sesuatu pengertian yang tidak diketahui dari yang telah diketahui serta penarikan pengertian baru dari padanya) dilakukan, menurut kias wajib melakukan penelitian tentang segala yang ada menggunakan kias rasional. Artinya, syara’ menganjurkan dan memerintahkan mencari metode yang paling sempurna dengan menggunakan cara analogi yang paling sempurna pula, yang dinamakan burhan (demonstrasi). Sementara metode burhan adalah metode filsafat. Maka menurut syara’ mempelajari filsafat adalah perintah yang bersifat wajib.
Menurut Ibnu Rusyd, karena syari’at ini benar dan ia menyeru untuk mempelajari sesuatu kearah yang benar, maka pembahasan burhani tidak akan membawa pertentan
gan dengan apa yang diajarkan oleh syara’. Kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran yang lain, melainkan mencocoki dan menjadi saksi atasnya. Maka jika dari penjelasan burhani tidak disebutkan syari’at, berarti tidak ada pertentangan. Kalau syara’ menyebutkannya, jika berseuaian maka tidak ada persoalan. Tetapi jika berselisih maka harus dilakukan takwil (interpretasi) yang mungkin sehingga sesuai dengan pendapat akal.

33.  Tentang alam qadim
Tentang qadimnya alam atau dalam bahasa filsafat azalinya alam, menurut Ibnu Rusyd itu hanya perselisihan mengenai penamaan saja. Sebab kita bersepakat tentang adanya tiga wujud yaitu; pertama, wujud yang terjadi dari sesuatu selain dirinya, dan oleh sesuatu yang lain serta dari sesuatu bahan tertentu dan wujud ini didahului oleh waktu. Inilah wujud benda-benda seperti air, tanah dst. Kedua, lawannya adalah wujud yang adanya tidak berasal dari, maupun disebabkan oleh sesuatu yang lain serta tidak pula didahului oleh waktu. Inilah wujud al-Qadim. Baik yang pertama dan kedua tidak ada perbedaan antara umat, perbedaan itu pada wujud ketiga yaitu, wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu serta tidak pula didahului oleh waktu, tetapi terwujud oleh sesuatu, yakni oleh ­al-Qadim. Inilah alam keseluruhan, perselisihan disini berkenaan dengan waktu yang lalu dan wujud yang lalu. Plato berpendapat waktu dan wujud yang lalu adalah terbatas. Aristoteles sebaliknya berpendapat bahwa waktu dan wujud yang lalu tidak terbatas, sama halnya dengan waktu dan wujud mendatang. Wujud ini memiliki segi persamaan dengan wujud muhdats dan wujud al-Qadim. Maka mereka yang terkesan dengan persamaan wujud qadim akan menamakannya qadim pula, begitu pun mereka yang terkesan dengan wujud muhdats akan menamakan muhdats pula.
Makna – makna diatas menurut Ibnu Rusyd tidak bertentangan dengan al-Quran, sebab tidak ada perselisihan dalam menempatkan bahwa Allah adalah pencipta alam keseluruhan ini. Jadi menurut filsuf, qadimnya alam tidak sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-‘adam), adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada tidak bisa terjadi sesutau, oleh karena itu materi asal alam ini mesti kadim. Memperkuat pandangan ini, Ibnu Rusyd mengutip penjelasan al-Quran, surat Hud ayat 7, yang makna lahiriah ayat mengatakan bahwa terdapat wujud sebelum wujud ini, yaitu singgasana dan air. Begitu pula dikaitkan dengan bentuk wujud ini yang berupa bilangan gerak falak (Ibrahim: 48). Maka disini Ibnu Rusyd membuktikan paham qadim-nya alam tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran. Dalam hal ini kaum teolog yang menyatakan alam diciptakan Tuhan dari tiada, justeru tidak mempunyai dasar pijakan dalam ajaran al-Quran.
34.  Tidak ada kebangkitan jasmani
Menurut Ibnu Rusyd, filosof mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini. Jadi para filosof tidak berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa filosof mengatakan kebangkitan hanya bersifat rohani saja.
Sebaliknya, menurut Ibnu Rusyd justeru Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, dalam tahafuth al-falasifah dikatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani semata. Akan tetapi dalam bukunya yang lain, Al-Ghazali ketika menjelaskan persoalan tasawuf/sufi yang akan dibangkitkan diakhirat hanya rohani saja.

35.  Tentang ilmu Tuhan
Persoalannya adalah bagaimana Tuhan mengetahui perkara-perkara juz’iyat * particular. Cara Tuhan   berbeda  dengan cara manusia mengetahuinya, pengetahuan manusia kepada juz’iyat merupakan efek dari objek yang telah diketahui, yang tercipta bersamaan dengan terciptanya objek tersebut serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-Nya. Artinya, karena pengetahuan Tuhan bersifat qadim yakni semenjak azali Tuhan mengetahui hal tersebut ( perkara juz’iyat ), bahkan sejak sebelum  berwujud seperti wujud saat ini. Lebih dari itu, sebenarnya bukan hanya yang juz’i, tetapi juga yang kulliyat Tuhan tidak mengetahuinya seperti pengetahuan manusia. Kulliyat adalah juga efek dari sifat wujud ini, sedangkan pengetahuan Tuhan adalah kebalikan dari itu. Maka secara burhani, ilmu Tuhan sesungguhnya mengatasi kualifikasi yang kulliyat dan juz’iyat tersebut, sebab Tuhan yang mengadakannya.
Jadi, pengkafiran Al-Ghazali atas  filosof tidaklah definitif. Karena dalam bukunya “At-Tafriqah” bahwa mengkafirkan orang lain karena telah melanggar ijma’ hanya mengandung sifat tentatif belaka. Tapi ijma’ tidak mungkin terjadi dalam persoalan seperti ini, persoalan demikian sangat pelik dan sepenuhnya bergantung pada kemampuan kias rasional dan kemampuan burhani seseorang yang hanya bisa dilakukan oleh kaum rashikhun fi ‘ilm. Karena demikian keadaannya, maka mustahil terjadi ijma’ yang meyeluruh dalam bidang takwil. Maka penilaian yang tepat adalah bahwa orang-orang berselisih pendapat dalam persoalan yang pelik tersebut berhak mendapat pahala jika mereka benar, tetapi bisa dimaafkan jika mereka salah, demikian kata Ibnu Rusyd.

36.  Nashiruddin Thusi
Riwayat hidup dan karyanya
Nama Nasiruddin Thusi adalah Khawajah Nasir al-Din Abu Ja’far Muhammad. Beliau dilahirkan di kota Thus 597/1201 M. Setelah menerima pendidikan dasar dia mempelajari fiqh, ushul fiqh, hikmah dan kalam, terutama al-Isyaratnya Ibn Sina dari Mahdi Farid al-Din Damat, dan matematika dari Muhammad Nasib di Nishapur, kemudian dia pergi ke Baghdad untuk mempelajari ilmu pengobatan dan filsafat dari Qutb al-Din, di Baghdad beliau memperdalam ilmu matematikanya dari Kamal ibn Yunus dan fiqhnya dari Slim ibn Badrn.

Thusi mencapai kemasyhuran ketika dia mampu membujuk Khulagu Khan untumembangun observatorium yang terkenal di Marghah Azerbaijan pada tahun 658 H, yang dilengkapi dengan alat-alat yang baik. Kemudian beliau menjadi direktur pada observatorium Maraghah. Observatorium ini merupakan pusat penelitian yang tepat dari tiga pusat penelitian sastra dan astronomi di Timur setelah Dar al-Hikmah di Baghdad dan Baitul Hikmah di Kairo yang didirikan oleh dinasti Fatimiyah.

Observatorium Maraghah lebih daripada sekedar tempat pengamatan astronomis. Sebuah institusi ilmiah yang lengkap, tempat hampir setiap cabang ilmu diajarkan, dan melahirkan sebagian besar ilmuwan paling terkenal pada periode abad pertengahan. Institusi ini dilengkapi dengan perlengkapan astronomis terbaik. Disamping itu terdapat juga perpustakaan besar. Menurut Ibn Syakir, perpustakaan itu mengoleksi lebih dari 400.000 buah buku.

Thusi merupakan orang yang berwawasan luas di dalam berbagai disiplin ilmu, buku akhlak Nasiruddin Thusi mengklasifikasi pengetahuan ke dalam spekulasi dan praktek. Pengetahuan spekulasi termasuk di dalamnya metafisika, dan matematika (optik, meteorologi, botani, zologi dan psikologi). Dan yang kedua, pengetahuan praktis yang termasuk di dalamnya etika, ekonomi, domestik dan politik. Dengan itu Thusi dikenal sebagai seorang filosof sedangkan di Barat beliau dukenal sebagai seorang astronom dan matematikawan.
Selain itu Thusi juga merupakan seorang yang jenius dan kejeniusannya itu tersebar pada kritik-kritikannya terhadap Ptolemeus yang tulisan-tulisannya banyak mengulas berbagai hal, termasulk doktrin Ismailiyah ketika ia dinas pada kaum tersebut.

37.  Filsafat metafisika  Nashiruddin Thusi
Menurut Thusi metafisika terdiri atas dua bagian, ilmu ketuhanan (ilmu ilahi) dan filsafat pertama (falsafah ida). Pengetahuan tentang Tuhan, akal dan jiwa merupakan ilmu pengetahuan ketuhanan, pengetahuan tentang alam semesta dan hal-hal yang berhubungan alam semesta adalah filsafat pertama.
Bagi Thusi, Tuhan tidak dibuktikan secara logis, exsistensi Tuhan harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukannya dibuktikan. Karena mustahil bagi manusia yang sangat terbatas untuk memahami Tuhan di dalam keseluruhannya, termasuk pembuktian existensinya. Persoalan mengenai apakah dunia kekal (qadim) atau diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan (hadis), merupakan masalah yang paling membingungkan dalam filsafat muslim, Aristoteles berpendapat bahwa dunia ini kekal menyifatkan gerakannya pada penciptaan tuhan, sang penggerak utama.
Thusi dalam karyanya Tashawurat melakukan suatu upaya perujukan secara setengah hati antara Aristoteles dan Ibn Maskawaih. Dia memulai dengan mengecam doktrin creatio exnihilo, dengan mengatakan bahwa tuhan itu selamanya merupakan pencipta yang mengakaitkan eksistensi penciptaan pada dirinya. Dengan kata lain dunia ini merupakan suatu yang sama kekalnya dengan Tuhan. Di sini Thusi menutup pembahasan ini dengan mengemukakan bahwa dunia ini kekal karena kekuasaan tuhan yang menyempurnakan meski dalam hak dan kekuatan sendiri, ia tercipta Muhadats.

Dalam karyanya yang belakanganm, Thusi meninggalkan sikap seraya mendukung sepenuhnya doktrin creatio exnihilo dengan menggolongkan zat menjadi “yang pasti” dan “yang mungkin”, dia mengemukakan bahwa existensi “yang mungkin” bergantung pada “yang pasti”; dan karena ia maujud akibat sesuatu yang lain darinya , maka tidak dapat dikatakan bahwa ia dalam keadaan maujud, sebab penciptaan yang maujud itu tidak ada, maka begitu juga kemaujudan yang pasti itu menciptakan yang mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut penciptaan dan hal yang ada itu disebut yang tercipta (muhadats).

Mengenai sumber existensi Thusi berpendapat bahwa sumber existensi adalah satu, yaitu kehendak Allah yang Maha Tinggi, yang disebut dengan “kalam”. Makhluk pertama yang tercipta langsung dengan kehendak kreatif tersebut tanpa perantara apapun ialah akal pertama. Semua makhluk lain terjadi dari kehendak ilahi dengan berbagai perantara. Jadi, jiwa tercipta melalui akal dan hyle, alam dan benda lahir tercipta melalui jiwa.

Pendapat Thusi mengenai faskultas-fakultas jiwa cenderung kepada Ibnu Sina. Eksistensi jiwa rasional menurut beliau tidak memerlukan bukti, karena ia adalah identitas yang mewujud dengan dirinya sendiri, karena wujud rasional adalah essensi dan realitasnya, yang mengetahui tanpa perantara apapun. Keterlepasannya dari organ indrawi dibuktikan dengan fakta bahwa jiwa mengetahui dirinya dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, sebaliknya organ inderawi seperti tubuh lain, digunakan oleh jiwa sebagai instrument.

38.  Pemikiran At-Thusi tentang akhlak

Nasir al-Din Abd Rahman, gubernur Ismailiyah dari Quhistan pernah meminta pada  Nashir al-Din Thusi untuk menterjemahkan kitab Thaharah (Tahzibul Akhlaq) dari bahasa Arab ke bahasa Parsi, namun Thusi melihat pada karya Ibn Miskawaih terbatas pada moral, padahal yang penting tidak disinggung. Tetapi pada muqaddimahnya Thusi dengan terus terang mengemukakan niatnya membukukan rumusan etikanya sebagai persianisasi kitab Ibn Miskawaih tersebut. Beliau menambahkan dalam buku tersebut persoalan-persoalan manajemen rumah tangga dan politik.

Ada sedikit perbedaan antara Ibn Miskawaih dengan penerusnya Thusi. Bila Ibn Miskawaih lebih berkonsentrasi untuk mempopulerkan dan sistematisasi subjeknya, Thusi membahas relasi antara etika dengan sains-sains filosofis lainnya. Thusi mendefinisikan filsafat sebagai “ilmu tentang segala sesuatu sebagaimana adanya dan pemenuhan fungsi seseorang sebagaimana harusnya, sesuai dengan kapasitasnya sehingga jiwa manusia bisa sampai kepada kesempurnaan yang telah ditentukan”.

Pada pembahasan etika, Thusi mengatakan bahwa moral atau etika itu bertujuan mendapatkan kebahagiaan, dan hal itu ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia dalam evolusi kosmiknya serta diwujudkan lewat kesediannya pada disiplin dan patuh. Jadi seorang bisa dikatakan beretika bila ia siap disiplin dan komitmen pada peraturan yang berlaku. Selain daripada itu beliau pula mengemukakan hal yang menyangkut penyakit moral seperti kebodohan, kejahatan, kemarahan, kepengecutan dan ketakutan yang semuanya berasal dari tiga: kekurangan, kelebihan dan ketidakwajaran akal.

Kebodohan menurut Thusi adalah penyakit moral yang fatal, beliau membagi kebodohan tersebut ke dalam tiga tingkatan. Pertama, kebingungan. Kebingungan disebabkan jika untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan karena adanya dua bukti dan dua argumen yang saling bertentangan, dalam hal ini Thusi menyarankan agar orang yang bingung itu disadarkan bahwa tidak ada dua realitas yang berlawanan terjadi pada satu kesempatan. Kedua, kebodohan sederhana. Jahal basit ini terjadi karena kekurang tahuan manusia akan sesuatu hal. mengira bahwa ia mengetahui, kebodohan ini merupakan suatu keadaan yang biasa dijadikan titik tolak untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal bila manusia merasa puas dengan keadaan begitu. Ketiga, jahal murakkab; kebodohan ini akibat kekurang tahuan manusia akan satu hal akan tetapi dia merasa bahwa dirinya mengetahui hal tersebut.

Mengenai kemarahan, Thusi menganggap bahwa kemarahan, kepengecutan dan ketakutan adalah penyakit yang menonjol dari segi berlebihan.[5] Begitu pula keberlebihan nafsu disebabkan oleh keberlebihan hasrat, sedangkan sifat sembrono merupakan, akibat kekurangan, dan kesedihan serta cemburu itu merupakan ketidak wajaran kekuatan. Thusi telah mendefinisikan cemburu sebagai keinginan akan kebalikan nasib baik orang lain tanpa ingin memiliki nasib baik tersebut pada dirinya. Hal itu mengikuti definisi yang dilontarkan al-Ghazali yang membedakan antara cemburu dengan iri. Thusi menganggap masyarakat sebagai latar belakang moral dari kehidupan, sebab manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial dan kesempurnaannya terletak tindak tanduk dan patuh yang menunjukkan sifat sosial pada sesamanya.

39.  Pemikiran Politik Nashiruddin Thusi
Ide-ide politik Thusi sebagian besar mengambil pemikiran al-Farabi. Bahasan beliau mengenai ilmu politik berupaya mencari asosiasi yang tertib sebagai sebuah prakondisi kehidupan yang bahagia, yang ada dalam bagian “domestik”. Tanpa asosiasi yang terdiri dari kerja sama yang saling menguntungkan yang dikontrol oleh keanekaragaman kebutuhan, masyarakat berperadaban tidak mungkin terwujud. Hal inilah yang dimaksud para filosof bahwa manusia pada dasarnya ialah hewan politik.

Karena adanya konflik aspirasi, kerakusan dan kegilaan kekuasaan yang memaksa seseorang bertindak, maka satu model otoritas manajemen (tadbir) sangat essensial dan merupakan akar organisasi politik. Jika disesuaikan dengan rule of wisdom manajemen tersebut dinamakan pemerintahan Ilahi. Aristoteles membedakan tiga model pemerintahan: monarki, tirani dan demokrasi. Thusi menganggap yang pertama sebagai bentuk ideal mirip Plato, dia cenderung memilih aristokrasi atau pemerintahan orang utama, dengan penambahan ide-ide syiah. Jadi rajanya diperintah oleh “Petunjuk Ilahi”. Kedudukannya berada di bawah imam, atau pemimpin spiritual masyarakat, yang didefinisikan Plato sebagai pemimpin dunia.

Tingkatan asosiasi menurut Thusi berantai dari rumah tangga ke tingkat lokal, kemudian kota, bangsa dan seluruh dunia. Setiap tingkatan pasti memiliki seorang ketua, yang tunduk kepada tingkatan yang lebih tinggi, hingga mencapai “pemimpin dunia” atau yang dipertuan agung.

Akibat pentingnya asosiasi, menurut Thusi kehidupan menyendiri baik itu pertapa, asketik, berlawanan dengan moral, yang tidak hanya terdiri dari pematangan dari kesenangan manusia, tetapi hanya menghindarkan eksesnya dan ini merupakan esensi keshalehan. Orang-orang yang dengan sengaja memutuskan diri dari dunia kebersamaan tidak lebih baik dari pada objek tak bernyawa atau mayat. Faktor yang mengikat manusia untuk bersama dan mematri mereka dalam sebuah komunitas tunggal ialah ikatan cinta. Ikatan ini berdasarkan kesatuan alamiah, dan lebih superior dibandingkan dengan keadilan, dan hanya jika cinta hilang, maka kebutuhan akan keadilan muncul. Semua cinta itu dapat saja mengalami perubahan dalam perjalanan waktu dan diwarnai ego dan keangkuhan. Hanya cinta kepada Allah yang dimiliki oleh filosof sejati, yang bebas dari kekurangan yang diberikan kepada hamba-hamba Allah yang terpilih.

E.     Filsafat Islam  IV  ( Smester VI )

40.  Suhrawardi al-Maqtul  ( 1158-1191 M.)
Riwayat hidup dan karyanya
Suhrowardi al- Maqtul,  mempunyai nama lengkap, Abu al-Futuh Yahya bin Habsy bin Amrak, bergelar Syihabuddin, dikenal pula sebagai al-Hakim (Sang Bijak). Berasal dari Suhraward,  lahir pada 550 Hijriyah. Beliau meninggal dengan cara dibunuh di Halb (Aleppo), atas perintah Shalahuddin al-Ayyubi, pada tahun 587 Hijriyyah, karena peristiwa itu ia diberi gelar al-Maqtul (yang dibunuh). Ada Sufi lain yang mempunyai nama hampir sama yaitu Abu Najib al-Suhrowardi  (wafat 563 H) dan Abu Hafsh Syihabuddin al-Suhrowardi al-Baghdadi (wafat 632 H), penyusun kitab Awarif al-Ma’arif.
Suhrowardi al- Maqtul pergi ke kota Miragha, di Azerbaijan, untuk berguru ilmu Fiqih  kepada  Majduddin al-Jili, guru dari Fakhruddin al-Razi, dan belajar ilmu logika di Isfahan kepada Ibnu Sahlanal-Sawi, penyusun kitab al-Basha’ir al-Nashiriyyah. Ia pergi ke Halb belajar kepada al-Syafir Iftikharuddin, di kota Halb ini lah ia menjadi terkenal dan dekat dengan Pangeran al-Zhahir, putra dari Sholahuddin al-Ayyubi. Orang-orang yang dengki mengirim surat kepada Sholahuddin al-Ayyubi yang menjadi penguasa di Halb, yang berisi memperingatkan akan tersesatnya al-Zhahir seandainya terus berteman dekat dengan Suhrowardi al- Maqtul. Maka Sholahuddin al-Ayyubi memerintahkan untuk menggantung Suhrowardi. Penggantungan ini terjadi pada tahun 587 H di Halb, ketika Suhrowardi  baru berumur 38 tahun. Karya Suhrowardi al- Maqtul, Hikmah al-Isyroq, al-Talwihat, Hayakil an-nur, al-Muqomiwat, al-Muthoribat, al-Alwah al-’Imadiyyah, dan sebagian do’ a do’a. Diantara karyanya itu Hikmah al-Isyroq lah yang paling terkenal. Hikmah al-Isyroq berisi tentang pendapat-pendapatnya tentang Isyraqi (iluminatif) atau ilmu kasyf. Pada umumnya karyanya cenderung bercorak simbolis dan begitu samar.  Dalam Hikmah al-Isyroq, dia berkata, “Apa yang kukemukakan ini tidak kuperoleh lewat pemikiran, tapi kuperoleh lewat sumber lain (rasa). Dan aku pun segera mencari  argumentasinya. Jika argumentasinya itu telah benar-benar pasti, sedikit pun aku tidak ragu terhadapnya sekali pun orang meragukannya.”
Al-Suhrowardi memuji Abu Yazid al-Bustami dengan memberi gelar Sayyar Bustham, dan al-Hallaj diberi gelar Fata al-Baidha. Ia juga mengagumi Abu al-Hassan al-Kharqani (meninggal 425 H).
41.  Theosofi Suhrawardi
Pemikiran teosofi Suhrawardi berujung pada konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyyah) yang lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah Ishraqi sendiri sebagai simbol geografis mengandung makna timur sebagai dunia cahaya. Sementara mashriq yang berarti tempat matahari terbit merefleksikan sumber cahaya.
Sebelum menawarkan konsep iluminasi, Suhrawardi pada mulanya mengikuti pola emanasi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh peripatetik, terutama al-Farabi dan Ibn Sina, yang membagi arah pemikiran tiap akal yang dihasilkan ke dalam tiga posisi : 1) posisi akal-akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, 2) sebagai mumkin al-wujud lidhatihi, dan 3) sebagai mahiyah/zatnya sendiri. Akal pertama, dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai wajib al-wujud lighairihi memunculkan akal kedua, dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mumkin al-wujud lidhatihi memunculkan jirm al-falak al-aqsa, dan dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mahiyah menimbulkan nafs al-falak al-muharrik. Begitu seterusnya sampai akal X sebagai al-‘Aql al-fa’al yang menyebabkan adanya alam.
Sebagai pembanding dari teori emanasi di atas, Suhrawardi memformulasikan teori baru, yakni teori iluminasi, yang sebenarnya merupa-kan koreksi atas pembatasan akal sepuluh pada teori emanasi. Dalam teorinya ini Suhrawardi tampaknya keberatan dengan adanya posisi akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, mumkin al-wujud lidhatihi, dan mahiyah. Menurutnya, bagaimana mungkin dari satu akal memunculkan falak-falak dan kawakib yang tak terhitung banyaknya? Dengan menetapkan tiga posisi akal seperti yang disebutkan di atas, maka mustahil bagi akal tertinggi memiliki persambungan dengan falak-falak dan kawakib yang sangat banyak itu. Oleh karenanya, Suhrawardi menolak pembatasan akal hanya pada jumlah sepuluh.
Selanjutnya Suhrawardi mengganti istilah akal-akal dalam teori emanasi itu dengan istilah cahaya-cahaya. Secara teknis proses iluminasi cahaya-cahaya tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Proses iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur al-Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur al-Aqrab. Selain Nur al-Aqrab tidak ada lainnya yang muncul bersamaan dengan cahaya terdekat. Dari Nur al-Aqrab (cahaya pertama) muncul cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya kelima, dari cahaya kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak. Pada setiap tingkat penyinaran setiap cahaya menerima pancaran langsung dari Nur al-Anwar, dan tiap-tiap cahaya dominator meneruskan cahayanya ke masing-masing cahaya yang berada di bawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu menerima pancaran dari Nur al-Anwar secara langsung dan pancaran dari semua cahaya yang berada di atasnya sejumlah pancaran yang dimiliki oleh cahaya tersebut. Dengan demikian, semakin bertambah ke bawah tingkat suatu cahaya maka semakin banyak pula ia menerima pancaran.
Mengacu pada proses penerimaan cahaya yang digambarkan di atas, maka dari proses penyebaran cahaya menurut iluminasi Suhrawardi dapat diperoleh gambaran hasil jumlah pancaran yang dimiliki oleh tiap-tiap cahaya. Cahaya I (Nur al-Aqrab) memperoleh 1 kali pancaran, cahaya II memperoleh 2 kali pancaran, cahaya III memperoleh 4 kali pancaran, cahaya IV memperoleh 8 kali pancara, cahaya V memperoleh 16 kali pancaran, cahaya VI memperoleh 32 kali pancaran, cahaya, VII memperoleh 64 kali pancaran, cahaya VIII memperoleh 128 kali pancaran, cahaya IX memperoleh 256 kali pancaran, dan cahaya X memperoleh 512 kali pancaran, begitu seterusnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap cahaya yang berada di bawah akan menerima pancaran sebanyak dua kali jumlah pancaran yang dimiliki cahaya yang berada setingkat di atasnya.
Sejalan dengan teori emanasi, teori iluminasi ini juga membentuk susunan kosmologi yang terpancar dari cahaya-cahaya pada tiap tingkatan. Susunan tersebut, dari cahaya pertama sampai cahaya kesepuluh secara berturut-turut, adalah The great sphere of diurnal motion, the sphere of fixed stars, the sphere of Saturn, the sphere of Jupiter, the sphere of mars, the sphere of the sun, the sphere of venus, the sphere of mercuri, the sphere of moon, the sphere of ether, dan the sphere of zamharir yang dikenal sebagai ruang perbatasan dengan sfera bumi.
Memperhatikan pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini mengingatkan kita kepada sebuah firman Allah dalam Surat al-Nu>r ayat 35 berikut ini :
Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.Dalam konteks iluminasi Suhrawardi, posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan penjelmaan dari Nur al-Anwar yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan cahaya yang terpancar dari pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab sebagai cahaya yang pertama kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya cahaya yang terpancar dari Nur al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang kemudian menghasilkan banyak cahaya yang saling memancar dan menghasilkan cahaya lain. Dari proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya lahir.
42.  Mulla Shadra  ( 1571-1640 M.)
                  Riwayat hidup dan karyanya
Mulla Shadra adalah salah seorang filosof Islam yang paling terkenal, yang dilahirkan pada abad ke-10 H Syamsiyah (abad 16 M) di Syiraz, sebuah kota yang paling terkenal di Iran, di kawasan sekitar Persepolis (979 H.S./1571 M). Ia adalah anak tunggal dari salah satu bangsawan kota tersebut (tampaknya pejabat menteri di provinsi Fars), bernama Ibrahim Qawami. Ia dinamai Muhammad namun orang-orang memanggilnya Shadruddin atau shadra. Belakangan, ia terkenal sebagai Mulla Shadra, dan bahkan digelari Shadr al-Muta’alihin (gelar yang paling terkenal di kalangan filosof).

Selama masa pemerintahan dinasti Shafawi, Syiraz dianggap sebagai salah satu pusat ilmu dan filsafat terpenting di dunia. Kota ini pun merupakan pusat pelatihan bagi sebilangan ilmuwan besar selama dua abad lebih. Shadra muda amat berbakat sehingga mampu menyerap semua ilmu di zamannya dalam waktu relatif singkat. enam tahun setelah kelahiran Mulla Shadra, keluarga tersebut pindah ke kota Qazwin.
Kota tersebut telah berubah pesat menjadi sebuah pusat sains dan filsafat di era dinasti Shafawi. Ia menjadi tempat perkumpulan bagi para filosof masyhur, fakih, sastrawan, dan seniman. Sejak usia dini, Mulla Shadra –yang telah menguasai semua sains di zamannya selama kurang dari 20 tahun- bisa segera menjumpai dua guru terbaik di zamannya, yakni Syaikh Baha’i dan Mir Damad. Dua tokoh ini memiliki catatan brilian dalam sejarah dan dinilai sebagai dua pemikir dan tokoh politik yang paling istimewa di zaman mereka. Mulla Shadra meradukan pendidikannya di bawah tempaan kedua figur besar ini.
Di usia sekitar 30 tahun, ia telah menjadi filosof yang paling mahir, yang menguasai utuh semua mazhab filsafat di zamannya termasuk aliran Iluminasionisme, Peripatetisme, Teologi Islam, dan ’Irfan. Shadra pun telah sampai pada senarai inferensi dan kesimpulan melalui kajian-kajiannya dan mengembangkan ide-ide dan teori-teorinya sendiri, yang menjadi alasan mengapa ia dinilai sebagai seorang filsuf paling terkemuka di dunia belakangan ini.

Mulla Shadra menunjukkan kepiawaiannya di Syiraz –yang masih dihitung sebagai pusat penting filsafat dan teologi- dan menarik sejumlah besar murid dan pengikut. Buntutnya, sejumlah sejawatnya mencemburuinya dan menjadikannya sebagai sasaran tindakan dan kata-kata mereka yang kurang baik dan ofensif. Melihat kondisi demikian, Mulla Shadra memutuskan meninggalkan kotanya dan menemukan tempat uzlah di desa Kahak di sekitar pusat agama, Qum.
Jiwa Shadra tersiksa dan terluka sehingga ia menyerah untuk mengajar, menulis, dan mempelajari selama beberapa waktu dan lebih mencurahkan diri pada ibadah dan praktik-praktik kezuhudan sebagaimana telah dibiasakannya sejak usia muda. Tapi, ini tidak berlangsung selamanya. Mimpi-mimpi dan intuisi-intuisi mistisnya mengilhami Shadra untuk menyebarkan ide-idenya. Dari itu, ia kembali kepada kehidupan sosial dan bergaul di tengah orang-orang lagi serta mulai mengajar dan menulis buku-buku. Karya-karya terbaik dan terpentingnya digubah selama masa ini. Pada dasawarsa akhir hidupnya, Mulla Shadra kembali ke Syiraz dan mulai mengajar di sebuah sekolah yang secara khusus didirikan untuknya oleh penguasa kota tersebut. Ia menulis sejumlah ulasan al-Quran dan hadits selama periode itu.
Di tahun 1050 H/1648 M atau sebagian lain di tahun 1045 H/1630 M, ia jatuh sakit dalam perjalanannya untuk berhaji di Basrah, Irak dan akhirnya wafat. Ia disemayamkan di kota suci Najaf, Irak, tempat makam Imam Ali berada. Sumbangan filsafat Mulla Shadra sangatlah banyak, diantaranya karya filsafat yang paling berpengaruh adalah Al-Masyair (Keprihatinan), Kasr Asnam Al-Jahiliyah (Menghancurkan Arca-arca Paganisme), dan “Empat Pengembaraan” (Al-Asfar Al-Arbaah).
Lebih jauh ia berkata: “cahaya dunia Ilahi berkilat diatasku. . . dan dapat menyingkap segala
rahasia yang tak pernah kuduga sebelumnya”.
43.  Pemikiran Mulla Shadra
Banyak kalangan yang beranggapan bahwa pasca al-Ghozali filsafat Islam mengalami dekadensi dan penurunan, atau bahkan kematian. Namun, sebenarnya yang yang terjadi bukanlah kematian filsafat Islam, hanya filsafat Islam di kalangan Sunni, aliran terbesar pengikutnya, kurang mendapat perhatian. Sementara, di kalangan syiah justru filsafat Islam mendapat perhatian dan menemukan jati dirinya sebagai filsafat khas Islam, peripatetik. Tipe filsafat Islam yang khas ini, dikenal dengan sebutan hikmah حكمة (Arab), kemudian dalam bahasa barat diterjemahkan sebagai theosophia (Yunani) atau theosophy (Inggris). Adalah Mulla Shadra, tokoh yang lahir pada masa itu. Pengkajian pemikiran Mulla Shadra berarti salah satuupaya dalam menyangkal tuduhan tersebut dan dalam rangka memberikan informasi yang sesungguhnya. Pemikiran Mulla Shadra, terutama al-hikmah al-muta'aliyah-nya,  ada beberapakajian:
Pertama, prinsip utama al-hikmah al-muta'aliyah merupakan sintesis Shadra dari iluminasi intelektual (isyraq) yang kemudian diderifasikan sebagai ‘irfan. Penalaran dan pembuktian rasional (‘aql, burhan atau istidlal) atau filsafat, serta agama dan wahyu (syar’) melalui kombinasketigahaltersebutterciptaal-hikmahal-muta'aliyah.
Kedua, sumber utama dari konsep al-hikmah al-muta'aliyah adalah tradisi Islam itu sendiri, al-Qur'an dan hadits. Sebagai penganut Syiah kuat, Shadra juga tidak meninggalkan tradisinya, yakni selalu mengikut pendapat Imam. Al-hikmah al-muta'aliyah juga dipengaruhi oleh fatwa para Imam Syiah. Selain itu, Ibn Sina, Suhrawardi dan Ibn ‘rabi juga mempengaruhi-pemikirannya.
Ketiga, Perbedaan al-hikmah al-muta'aliyah dengan filsafat Islam Klasik dan Pertengahan (Sunny dan Syi’ah) adalah Al-hikmah al-muta'aliyah muncul tidak hanya sebagai penyambung ide tradisi hellenik, namun kemunculannya lebih didasarkan pada al-Qur'an, as-sunah, dan tradisi pemikiran Islam sebelumnya, seperti kalam (baik Syi’ah maupun Sunny). Sementara filsafat Islam Klasik dan Tengah, selain hikmah Ilahiyah-nya Suhrawardi, hanya merupakan penyambung tradisi filsafat Yunani yang disinkretiskan dengan ajaran Islam. Sedang perbedaan antara al-hikmah al-muta'aliyah-nya Shadra dengan hikmah Ilahiyah-nya Suhrawardi hanya terletak pada sumbernya, Suhrawardi hanya menggunakan al-Qur'an dan hadits nabi, sedang Shadra selain al-Qur'an dan hadits juga menggunakan ucapan-ucapan imam Syi’ah. Selain itu, Shadra lebih berhasil dalam meletakkan rasionalitas terhadap pengetahuanyangmunculdarivisipiritual.
Keempat, pengaruh pemikiran Shadra terhadap filosof muslim sesudahnya sangat terlihat, seperti dalam pemikiran Thabattaba’i dan Murtadla Mutahhari. Tentunya, Shadra lebih memiliki peran di kalangan Syiah sendiri. Sementara, di kalangan Sunni Shadra tidak banyak dikenal.
44.  Muhammad  Iqbal
Riwayat hidup dan karyanya
Nama lengkapnya adalah Dr. Muhammad  Iqbal.  Nenek moyangnya adalah keturunan ningrat Kasymir. (Tim penyusun,  Enseklopedi Islam, jilid 2, Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993,hal. 235).   
Mereka berasal dari kasta Brahma dan tentu  awalnya mereka beragama Hindu .  Ketika India  dikuasai oleh dinasti Mughal salah seorang di antara nenek moyangnya masuk agama Islam  di bawah bimbingan  Syah Hamdi, seorang ulama dan tokoh  Muslim India. Walaupun nenek moyangnya masuk agama Islam tiga abad sebelum Iqbal lahir, namun ia merasa bangga  sebagai seorang keturunan Brahma  yang mampu memahami  dan mengembangkan  realitas dan rahasia  kebesaran Islam.  (Abdul Wahab, Azam, Iqbal,Fikratuhu wa  al-Falsafatuhu wa-Syi’ruhu, alih bahasa  Rafi Usman, Bandung: Pustaka Salman, 1985, hal.13).
Iqbal dilahirkan di Silikot suatu kota tua bersejarah di perbatasan Punjab Barat dengan Kasymir. Mengenai tahun kelahirannya, terdapat perbedaan pendapat, pertama pendapat yang didukung oleh Miss Luce-Claude Maitre, Osman Raliby dan Bahrum Rangkuti yang mengatakan bahwa Iqbal lahir tanggal 22 Pebruari 1873. (Lih. Miss Luce dan Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqba,  Bandung: Mizan , 1996, hal. 13. Muhammad Iqbal, “The Reconstruction”, op.cit., hal. 13. Dan Bahrum Rangkuti, dalam. Pengantar terjemahan Asrori Hudi, Jakata: R.R. Pribadi, 1976, hal. 107).
 Sementara pendapat kedua dikemukakan W.C. Smith yang mengatakan bahwa Iqbal lahir tahun 1876. (W.C. Smith, Modern Islam in India,  New Jersey: Princeton Univ. Press, 1957, hal. 16). Sedangkan J. Mark dari Universitas Praha mengatakan bahwa Iqbal lahir pada tanggal 9 Nopember 1876.  (Annemarie Schimmel, “Gabriels Wing a Study in to the Religieus of Sir Muhammad Iqbal”, dalam. Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994, hal. 44).

Ayahnya bernama Muhammad Nur Ibn Muhammad Rafiq, seorang yang saleh dan taqwa serta seorang sufi yang berdisiplin tinggi. Ibunya, Imam Bibi juga terkenal sebagai wanita salehah.  (Abdul Wahab, ‘A Zam, op.cit., hal. 14).
Dari latar belakang keluarganya yang saleh dan taat kepada agama inilah Iqbal berasal. Sejak kecil hingga remaja, Iqbal ditempa dan belajar di bawah bimbingan ayah dan ibunya, kemudian setelah remaja ia dimasukkan ke suatu maktab  untuk belajar al-Qur’an. Selanjutnya Iqbal memasuki Scottish Mission School. Di sini ia berguru kepada Mirhasan, teman dekat ayahnya dan ditempa dengan ilmu-ilmu agama serta persoalan teologi. ( Tim Penyusun Ensiklopedi, op.cit., hal. 235).
Setelah menyelesaikan pendidikan di Silikot, Iqbal melanjutkan studi ke Lahore. Di kota ini Ia memasuki Government Collage hingga memperoleh gelar sarjana muda. Selanjutnya ia meneruskan pendidikannya sampai ke program Magister dalam bidang filsafat. Ketika kuliah di Program inilah Iqbal bertemu dan belajar dengan Sir Thomas Arnold. (Sir Thomas Arnold adalah seorang Guru Besar bahasa Arab dan Falsafat di Universitas London, aligharh dan Government Collage. Seorang Orientalis yang mempunyai perhatian positif terhadap Islam). yang memberikan kuliah Filsafat Islam. (Abdul Wahab ‘Azam, op.cit., hal. 19).
Pada tahun 1905, dalam usia 35 tahun, Iqbal melanjutkan studi ke Eropa. Ia memasuki Universitas Cambridge di Inggeris. Di sinilah ia belajar filsafat dengan Prof. Mac. Toggart dan memperoleh gelar Doktor dalam bidang filsafat moral, kemudian ia pergi ke Jerman dan belajar di Universitas Munich di bawah bimbingan Prof. Hommel, sehingga menerima gelar Doktor setelah mempertahankan disertasi yang berjudul The Development of Methaphysics in Persia.  Setelah itu Iqbal kembali ke London dan mempelajari hukum hingga lulus ujian keadvokatan. Di samping itu Iqbal memasuki School of Political Science. (Ibid., hal. 25. Juga. Ensiklopedi Islam, op.cit., hal. 236)
Dengan ini wajarlah ia muncul sebagai tokoh yang multi disiplin, baik sebagai filosof, advokad, politikus dan penyair. Sebelum kembali ke India, Iqbal banyak memberi ceramah bahkan sempat menjadi guru besar dalam bahasa Arab di Universitas London. (Miss Luce Claude Maitre, op.cit., hal. 14). Selain itu ia juga banyak menulis sajak mengenai agama Islam dan mengkritik kebudayaan Eropa. (Abdul Wahab ‘Azam, loc.cit.)
Pada tahun 1908 Iqbal kembali ke India dan disambut baik oleh para sahabat dan kaum kerabatnya. Di kampung halamannya ini ia lebih intent sebagai advokat. Namun tugas itu tidak menghalanginya untuk terus berkiprah sebagai seorang pujangga, filosof dan ahli politik. Iqbal wafat pada tanggal 22 April 1938, (Ensiklopedi Islam, op.cit., hal. 235). Banyak meninggalkan karya besar yang sangat berarti bagi perkembangan Islam selanjutnya. Karya-karya itu antara lain The Development of Metafysic in Persia (London 1908), Asrar-i Khudi (Rahasia Pribadi, Lahore, 1915), Rumz-i Bekhudi Payami Masyriq (Pesan dari Lahore,1923), The Reconstruction of Religious Thought in Islam, ( London,1934), dan lain-lain.
45.   Pemikiran filsafat Iqbal
Iqbal  adalah seorang filosof. Telah banyak filsafat yang dilontarkannya, tetapi pemikiran-pemikiran filsafatnya banyak perbedaannya dengan pemikiran filosof zaman klasik seperti al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Mereka pada umumnya mengembangkan filsafat Yunani kemudian mewarnainya dengan Islam. Sedangkan Iqbal menentang sistem pemikiran filsafat Yunani tersebut, karena ia menganggap filsafat Yunani tersebut meneggelamkan penglihatan para filosof Muslim pada al-Qur’an. (Muhammad Iqbal, op.cit., hal. 34).

Lebih lanjut ia menegaskan bahwa Socrates hanya memusatkan perhatian pada dunia manusia semata. Baginya studi yang wajar bagi manusia adalah manusia itu sendiri, bukan selain manusia. Padahal al-Qur’an juga berbicara tentang tawon, yang merupakan seekor binatang yang juga menerima ilham dan petunjuk dari Tuhan.  (Ibid., hal. 34. Lih juga. Q.S. 16:68).

Iqbal juga mengkritik pemikiran Plato yang mencemoohkan tanggapan indera. Menurut Plato, indera hanya memberikan opini semata, bukan pengetahuan sebenarnya. Padahal pandangan dan pendengaran itu merupakan anugerah Ilahi yang sangat berharga dan indera-indera bertanggung jawab kepada Tuhan dalam setiap aktivitasnya di dunia. (Ibid., hal. 35. Lih juga. QS. 36:65).

Penolakannya terhadap filsafat Yunani, berimplikasi pula pada kritikannya terhadap filosof Muslim yang banyak mengambil pemikiran-pemikiran filsafatnya dari Yunani. Ibn Rusyd misalnya, dianggap Iqbal sebagai telah kehilangan pandangan mengenai hal-hal yang bermanfaat dalam Islam, serta secara tidak sadar telah membantu pertumbuhan filsafat yang telah melemahkan dan mengaburkan pandangan manusia terhadap dirinya, Tuhan dan dunia. (Ibid., hal. 35)

Barangkali yang dimaksud Iqbal adalah dampak pemikiran Ibn Rusyd di Barat yaitu kecenderungan orang untuk menjadi sekuler dan materialis. Namun hal itu kurang pantas dibebankan kepada Ibn Rusyd karena terlepasnya semangat berpikir rasional dari poros agama adalah semata-mata kesalahan ilmuan Eropa.

Dengan pola pemikiran di atas, terlihat bahwa Iqbal menekankan pemikiran filsafat yang komprehensif. Artinya bila berbicara masalah manusia, maka harus melibatkan segala sesuatu yang terkait dengannya dan persoalannya, bukan hanya terfokus pada intuisi atau ide sehingga mengabaikan indera sebagai jalan mencapai pengetahuan. Iqbal menginginkan kajian yang lengkap dan utuh, yaitu antara satu dengan yang lain merupakan suatu sistem yang tidak terpisahkan. Berdasarkan fenomena ini dapat ditegaskan bahwa perbedaan yang mendasar antara Iqbal dengan filosof Yunani dan filosof Muslim klasik adalah terletak pada paradigma mereka masing-masing.

Pemikiran filsafat Iqbal berangkat dari al-Qur’an, sedangkan filosof Yunani berangkat dari rasio semata dan para filosof Muslim klasik mewarnainya dengan makna Qur’ani. Tetapi pada akhirnya ternyata pemikiran filsafat Iqbal lebih bersifat Qur’ani.
Kendatipun Iqbal telah banyak mengadakan kritikan terhadap pemikiran filsafat Plato, namun menurut analisis Gulafsyan terdapat empat butir kesesuaian antara Iqbal dengan Plato:
1.      Keduanya memiliki teori estetika yang sama.
2.      Bagi keduanya, peningkatan pribadi tergantung pada penerapan sifat ilahi.
3.      Keduanya menentang demokrasi yang hanya di kulit saja.
4.      Teori politiknya, keduanya memberi tempat penting kepada manusia super.
      (M.M. Syarif, Iqbal Tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil, Bandung: Mizan,1984, hal. 55).

Mengkaji sistem pemikiran Iqbal, sebenarnya cukup rumit karena pemikirannya itu mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga gagasan-gagasan awalnya mempunyai perbedaan yang cukup berarti dari gagasan yang ia lontakan pada tahun-tahun kehidupannya. Pertentangan itu diakui oleh Iqbal sendiri seperti yang dikuti oleh Mansur ahmad:

Saya tidak merasa malu untuk menakui bahwa cukup lama saya menganut gagasan yang secara khusus dianut oleh para sufi, dan setelah saya merenungkannya, saya menemukan bahwa gagasan tersebut sama sekali tidak Islami. Misalnya konsep Ibn Arabi tentang keabadian jiwa sempurna atau Panteisme atau konsep enam tingkat emanasi atau keyakinan-keyakinan lain yang telah dinyatakan Abdul Karim al-Jilli dalam kitabnya al-Insân al-Kâmil. (M. Iqbal, Metafisika Persia, terj. Jeobar Ayub, Bandung: Mizan,1990, hal. 55).

Sehubungan dengan kontradiksi pemikiran Iqbal ini, M.M. Syarif telah membagi perkembangan pemikiran pada tiga periode: (M.M. Syarif, op.cit., hal. 28).
1.      Periode pertama, berlangsung dari tahun 1901 sampai 1908. Iqbal meyakini Tuhan sebagai keindahan yang abadi. Dia menampakkan dirinya dalam segala sesuatu. Dia mengatakan dirinya di langit, di matahari, bulan, bintang, bumi dan seterusnya. Jadi, masa ini pemikiran Iqbal sejalan dengan konsep wahdat al-wujûd.
2.      Periode kedua, adalah bermula antara tahun 1908 sampai 1920. Pada masa ini terjadi perubahan sikap Iqbal ke arah perbedaan yang ia tarik antara keindahan sebagaimana tempat pada segala sesuatu, di satu pihak, dan cinta pada keindahan di pihak lain. Filsafatnya yang muncul pada priode ini merupakan filsafat pribadi ( Phylosophy of de the self ),
3.      Priode ketiga berlangsung dari tahun 1920 sampa 1938. Masa ini merupakan puncak pemikiran Iqbal. M.M Syarif menyebutkan dengan bahasa kedewasaan. Pada priode ini ditandai dengan munculnya filsafat perubahan.
Berikut ini akan dikemukakan pemikiran filsafat Muhammad Iqbal sebagai berikut:
1. Filsafat Pribadi (Philosophy of the self)
Pada tahun 1908 Iqbal menaruh simpati pada konsepsi keabadian pribadi. Hal ini bermula ketika ia belajar pada Mac Taggart, ia melihat adanya suatu ciri yang sama antara pluralisme-teistiknya Ward dan posisi metafisisnya Rumi. Maka melalui bimbingan seorang pemikir Timur kuno dan ditambah oleh beberapa pemikir Eropa Modern, Iqbal mulai mengembangkan filsafatnya sendiri yakni filsafat pribadi.(Filsafatnya yang baru ini mejauhkannya dari filsafat Platonisme dan mistik panteisme).

Menurut Iqbal, pribadi maujud (eksis), dalam waktu melainkan waktulah yang merupakan dinamisme dari pribadi. Menurut Iqbal, pribadi menuntut dari dirinya sendiri sesuatu yang bukan pribadi. Pribadi adalah aksi yang seperti pedang merambah jalannya dengan menaklukkan kesulitan, halangan dan tantangan. Waktu sebagai aksi adalah hidup dan hidup adalah pribadi. Karena itu waktu, hidup dan pribadi, ketiganya dibandingkan dengan pedang. Dunia yang terindera adalah ciptaan pribadi. Karena itu segala keindahan alam merupakan bentukan hasrat-hasrat kita sendiri. Hasrat menciptakan mereka, bukannya mereka yang mempunyai hasrat. Penciptaan sesuatu yang bukan pribadi itu adalah rangka penyempurnaan pribadi itu sendiri. (Ibid., hal. 23).

Secara jasmaniyah sebagaimana juga rohaniah manusia, adalah pusat yang mengandung diri. Akan tetapi dia belum merupakan pribadi yang sempurna. Orang yang paling dekat dengan Tuhan adalah orang yang paling sempurna, yaitu bukan dalam arti ia diserap ke dalam Tuhan, tetapi ia menyerap Tuhan sendiri ke dalam egonya. (Miss Luce dan Claude Maitre, op.cit., hal. 24).

Di sini kelihatan bahwa pemikiran Iqbal berangkat dari al-Qur’an. Hal ini dapat dibandingkan dengan surat al-Tin, misalnya gagasan-gagasan ini juga menggambarkan penolakannya terhadap khulul dalam pemikiran tasauf.

Menurut Iqbal, dilihat dari segi kejiwaan, kepribadian manusia itu adalah keadaan resah. Kelangsungan kepribadian adalah tergantung pada keadaan ini. Apabila keadaan ini sirna, maka timbullah keadaan santai yang membahayakan terhadap pribadinya. Dalam keadaan resah inilah terdapat kesempurnaan manusia. (Abdul wahab ‘Azam, op.cit., hal. 52).
Iqbal menuntut pribadi bekerja keras dan mengurangi suasana santai. Masalah ini dapat dilihat secara jelas dalam bait syairnya berikut ini:
Janganlah berkumpul dengan handai tolan di darat
Di sana melodi kehidupan berjalan lambat
Terjunlah ke tengah segera, lawanlah ombak gelombang
Keabadian adalah kemenangan dalam perjuangan
Dengan kerja keras membanting tulang
Kau capai prestasi hebat yang jarang,
Walaupun mungkin di sana terselip dosa
Ia akan memberikan ganjarannya sendiri.
(Miss Luce dan Claude Maitre, op.cit., hal. 26).

Tuhan adalah pribadi mutlak dan ego tertinggi. Dia tidak lagi dianggap sebagai keindahan luar. Tuhan dianggap sebagai kemauan abadi. Keindahan  merupakan sifatnya  yang mencakup nilai estetis  dan nilai-nilai moral sekaligus. Di samping itu keesaan menjadi tekanannya pula. Lebih lanjut Iqbal menjelaskan : “Tuhan menyatakan dirinya bukan dalam dunia yang terinderai melainkan dalam pribadi terbatas, dan karena itu usaha mendekatkan diri kepada-Nya hanya dimungkinkan lewat pribadi. Dengan demikian mencari Tuhan bersifat  kondisional  terhadap pencarian diri sendiri. (M.M. Starif, op.cit., hal. 35).

Penulis melihat bahwa pemikiran Iqbal  di atas merupakan buah dari makna ayat  : “… wafî  anfusikum afalâ tubshirûn”, (QS. Al-Zariyat ayat 21).

Yaitu  Allah mendorong manusia untuk mengkaji  dirinya sendiri  yang cukup unik. Dari kajian itu muncul pengetahuan tentang Tuhan dan selanjutnya dirasakan pula  kebutuhan  yang sangat kuat kepadanya. Untuk itu manusia harus mencapai martabat yang  yang paling tinggi dalam rangka mendekatkan  dirinya kepada Tuhan.

Di sini akan terjadi saling mendekatkan antara manusia dengan Tuhan. Tetapi setelah  menemukan Tuhan, orang tidak boleh membiarkan dirinya  terserap ke dalam Tuhan dan menjadi tiada. (M.M. Syarif, op.cit., hal. 36)

Di sinilah Iqbal dengan lantang  menolak teori  fana  dan baqa  Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj. Menurut Iqbal seharusnya manusialah  yang menyerap sebanyak mungkin sifat Tuhan kedalam dirinya.

2. Filsafat Perubahan

Filsafat perubahan ini muncul dan dikembangkan pada tahun 1920 hingga 1938, yaitu tahun-tahun terakhir dari kehidupa Iqbal. M.M. Syarif menyebut masa ini dengan masa kedewasaan.
Filsafatnya ini menjelaskan bahwa Tuhan adalah hakikatnya sebagai suatu keseluruhan, dan hakekat itu pada dasarnya bersifat spritual. Dia adalah Ego Mutlak, yaitu Dia meliputi segalanya dan tidak ada sesuatu di luar Dia.

Ego Mutlak itu tidaklah statis, tetapi dia merupakan jiwa kreatif yang bebas. Dia tidak terbatas, baik dalam ruangan ataupun tidak. Dia terus bergerak dengan kreatif tetapi gerak itu tidaklah berasal dari yang tidak bergerak, sebab gerak gerak bersifat asli dan statis adalah hasil proses turunan. (Ibid., hal. 38).

Berangkat dari uaraian ini, dapat dijelaskan bahwa ego tersebut berubah terus menerus dalam arti perubahan yang tidak serial yaitu perubahan di luar lingkaran waktu dan tempat atau di luar perubahan terjadi pada ego mutlak tidaklah dalam arti ketidaksempurnaan, tetapi dalam arti kreasi yang terus menerus, karena dia tidak dikelilingi oleh selain Dia. Filsafat ini kelihatannya tidak menerima syllogisme, al-alam mutaghoyyir wa kullu mutaghoyyir hadits, al-‘alam hadis.

Di dalam filsafatnya ini Iqbal menggambarkan bahwa Tuhan serba Maha. Bahkan dalam menyebut Tuhan sebagai ego yang terus berubah, ia maksudkan sebagai gambaran bahwa Tuhan itu tidak statis, karena statis itu sendiri merupakan suatu kekurangan. Pemikiran filsafat Iqbal mengenai Tuhan berangkat dari ayat-ayat al-Qur’an yang betul-betul menggambarkan Tuhan serba Maha, seperti yang terlihat dalam sifat-sifatNya pada al-asma al-husna.

Pemikiran Tasauf Iqbal

Memperbincangkan masalah pemikiran tasauf Iqbal, sangat sulit dipisahkan dari pemikiran filsafatnya terutama filsafat ketuhanan. Dengan latar belakang keluarga seperti dipaparkan sebelumnya, serta kondisi India ketika itu, Iqbal sangat menyukai tasauf. Ia menganggap para sufi sebagai pakar ilmu jiwa di kalangan Muslim. (Abdul Wahab ‘Azam, op.cit., hal. 5).

Kecintaannya terhadap tasauf terlihat dalam suratnya kepada Hasan Nizhami, seperti yang diikuti oleh Abdul Wahab ‘Azam berikut ini:
Sesuai dengan sifat dan pendidikan saya, saya cenderung pada tasauf. Filsafat Eropa membuat saya semakin cenderung kepadanya. Sebab filsafat Eropa mengarah kepada Panteisme. Namun pengkajian terhadap al-Qur’an yang mulia dan pentela’ahan terhadap sejarah Islam yang teliti membuat saya menyadari kesalahan saya. Demi al-Qur’an, saya berpaling dari pemikiran-pemikiran saya yang pertama, berusaha kepada kecenderungan saya yang asal.  Dan sayapun melepaskan diri dari jalan para orang tua saya. (Ibid., hal. 57).

Isi surat Iqbal di atas tidak saja memberikan gambaran mengenai kecintaannya kepada tasauf, tetapi sekaligus memberikan informasi tentang corak pemikiran tasaufnya. Iqbal menolak atau tidak menerima tasauf panteisme yang banyak berkembang di India. Penolakannya ini terlhat jelas dalam filsafat pribadinya. Lebih tegas ia mengatakan bahwa panteisme itu bertentangan dengan al-Qur’an.

Iqbal membagi tasauf kepada dua macam yaitu tasauf Islam dan mistik asing. Wahdat al wujud bukanlah bagian dari ajaran al-Qur’an, sebab al-Qur’an membedakan secara tegas antara khaliq dengan makhluk. Selanjutnya Mansoer Ahmad mengkritik sistem pemikiran tasauf Iqbal, karena ia menganggap Iqbal telah mengaburkan perbedaan mistisisme sebagai jalan pensucian jiwa di satu sisi dan mistisisme sebagai teori metafisika di sisi lain.

Masalah Iman dan Akal

Seperti yang telah dipahami bahwa tulisan Iqbal dalam The reconstruction of religious thought in Islam, merupakan buku filsafat yang menjelaskan tentang usaha mengembalikan bangunan filsafat Islam menjadi bangunan baru yang berpegang kepada nilai-nilai filsafat Islam dan berlandaskan kepada perkembangan pengetahuan manusia dalam berbagai segi.

Dalam buku tersebut Iqbal membahas tentang pengetahuan yang di dapat melalui pengalaman inderawi dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman agama atau ajaran sufi, kemudian membandingkannya. (Bustami Muhammad Said, Mafhum Tajdiduddin, terj. Ibn Marjan, Jakata: Wacana Lazuardi, 1995, hal. 150).

Jadi dapat dikatakan bahwa buku tersebut merupakan buah usaha Iqbal untuk mendamaikan dua kutub yang sering dipertentangkan dalam Islam yaitu agama dan filsafat.

Iqbal merupakan seorang pemikir filosofis Islam yang hidup di abad modern. Ia adalah tokoh sintesis yang mendasarkan diri pada watak spritual dan intelektual. Oleh karena itu ia menentang keras intelektualisme dan akal sebagai sesuatu yang kosong, tetapi harus diisi dan dipenuhi dengan iman. Hal ini terlihat dalam bait puisinya pada Bali-i  Jibri seperti yang dikutip Fazlur Rahman.

Iman memberikan kekuatan kekuatan untuk melawan api seperti Ibrahim
Iman adalah mabuk pemberian Tuhan yang berdaya guna sendiri
Dengarkan, wahai peradaban modern yang pikun
Kurang iman adalah lebih buruk dari perbudakan. (Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1984, hal 331).

Di sini terlihat bahwa menurut Iqbal iman itu harus berjalan dengan akal, namun  penggunaannya dalam porsi yang berbeda. Artinya bila ditelaah dari tulisan-tulisan Iqbal, kadang-kadang ditemukan ia memposisikan iman itu lebih penting dari akal dan pada lain tempat ia menekankan akal, tergantung pada konteks di mana ia berbicara dan jenis kelompok yang diajak berbicara.

Lebih lanjut Iqbal menawarkan tiga macam posisi yang menguhubungkan antara iman dan akal:
a.       Akal dan iman itu berbeda arah
b.      Akal lebih rendah kedudukannya dari iman
c.       Antara iman dan akal terdapat hubungan organis yang saling membutuhkan.
(Ibid., hal. 331).
Kemudian mengenai surga dan neraka, Iqbal mengatakan bahwa surga dan neraka itu merupakan suatu yang tidak bertempat. Keduanya digambarkan secara inderawi di dalam al-Qur’an hanyalah merupakan perkara kejiwaan, yaitu merupakan suatu sifat atau keadaan saja. (Busthami, loc.cit). Atau dengan lain surga dan neraka itu immaterial.
     















                                                                               
                       
       

2 komentar: